Chantal Mouffe: Tantangan Populis
halaman publikasi di antinomi.org |
Akhir-akhir
ini, banyak suara yang mengingatkan kita tentang bahaya populisme yang
digambarkan sebagai ‘penyimpangan demokrasi’. Dengan kemenangan Brexit di
Inggris dan keberhasilan tidak terduga Trump di Amerika Serikat, celaan terhadap
populisme semakin nyaring. Para penguasa tampaknya mulai khawatir terhadap
potensi akan ketidakpuasan sosial yang sejauh ini mereka abaikan. Kita
dihantaui dengan pernyataan-pernyataan yang menggelisahkan yang menuntut
populisme harus dilenyapkan karena menjadi ancaman yang mematikan terhadap
demokrasi. Mereka –para penguasa—percaya bahwa demonisasi terhadap populisme
dan ketakutan terhadap kemungkinan kembalinya ‘fasisme’ dirasa cukup untuk
mencegah berkembanganya partai-partai dan gerakan-gerakan yang mempertanyakan
konsensus neoliberal.
Histeria
anti-populis tersebut penting untuk dibahas dengan menguji hal-hal apa yang
menopang kemunculan pelbagai gerakan yang disebut ‘populis’ tersebut. Hal ini
sangat penting untuk mengemukakan analisis yang terang tentang kondisi
demokrasi kita hari ini supaya terdapat gambaran cara memperkuat
institusi-institusi demokrasi untuk melawan bahaya-bahaya demokrasi yang
dikemukakan oleh para penguasa tersebut. Bahaya-bahaya tersebut memang nyata,
tetapi bahaya tersebut merupakan hasil dari pengabaian yang dilakukan oleh
partai-partai yang merepresentasikan diri mereka sebagai partai ‘demokratis’
dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang bersifat
konstitutif terhadap politik demokrasi. Dengan bangkitnya neoliberalisme,
prinsip-prinsip tersebut diasingkan menjadi sekadar kategori mati (zombie category), dan oleh karenanya
masyarakat kita hari ini memasuki era ‘post-demokrasi’.
(1) Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘post-demokrasi’?
Mari mulai dengan menjernihkan makna ‘demokrasi’. Seperti yang telah diketahui,
demokrasi, secara etimologis, berasal dari kata Yunani demos/kratos, yang berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Kekuasaan
rakyat tidak dipraktekan pada tataran abstrak, tetapi melalui institusi-institusi
tertentu. Ketika kita berbicara ‘demokrasi’ di Eropa, kita merujuk pada model
demokrasi tertentu: model Barat hasil dari gambaran ideal demokrasi dalam
konteks sejarah tertentu. Model ini –yang telah memperoleh banyak nama:
demokrasi modern, demokrasi representatif, demokrasi parlementer, demokrasi
konstitusional, demokrasi liberal, demokrasi pluralis— dicirikan oleh
artikulasi dari dua tradisi berbeda. Pada satu sisi, tradisi liberalisme
politik: penegakan hukum, pemisahan kekuasaan, dan pembelaan terhadap kebebasan
individu; dan pada sisi lain berupa tradisi demokrasi yang berlandaskan pada
ide kesetaraan dan kedaulatan rakyat. Berlawanan dengan pendapat umum, tidak
ada hubungan yang penting antara dua tradisi tersebut, tetapi sekadar kebersamaan
artikulasi dalam sejarah yang –seperti yang ditunjukkan oleh CB
MacPherson—berlangsung pada abad ke-19 melalui perjuangan bersama antara para
liberal dan para demokrat melawan rezim absolut.
Beberapa
penulis seperti Carl Schmitt mengafirmasi bahwa artikulasi tersebut –yang
menjadi asal muasal dari demokrasi parlementer—menghasilkan rezim yang tidak
mungkin berhasil karena liberalisme menyangkal demokrasi dan demokrasi
menyangkal liberalisme; sementara penulis lain –dengan mengikuti Jürgen
Habermas—mempertahankan co-orisinalitas prinsip kebebasan dan kesetaraan.
Schmitt benar dalam menunjukkan adanya pertentangan antara kesetaraan ala liberal –yang mempostulatkan
universalitas dan merujuk pada ‘kemanusiaan’--
dan kesetaraan ala demokrasi
yang mensyaratkan pembentukan rakyat dan batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Tetapi,
saya kira Schmitt keliru dalam menggambarkan bahwa pertentangan/konflik dalam
arti kontradiksi membawa demokrasi liberal yang pluralis kepada kehancuran
dirinya sendiri.
Dalam The Democratic Paradox,[1]
saya mengajukan konsep artikulasi dua tradisi tersebut –tentu saja keduanya
tidak dapat direkonsiliasikan—dengan mode konfigurasi yang paradoksal sebagai
lokus ketegangan yang menggambarkan orisinalitas demokrasi liberal dan menjamin
karakter pluralistiknya. Logika demokrasi perihal pembentukan rakyat dan
pembelaan atas laku kesetaraan merupakan hal yang penting untuk mendefinisikan demos (rakyat) dan menyingkirkan tendensi
diskursus liberal untuk mengabstraksikan universalisme; tetapi artikulasinya
dengan logika liberal memungkinkan kita untuk menantang bentuk-bentuk eksklusi
yang melekat dalam praktek politik penentuan rakyat yang akan memerintah. Politik
demokrasi liberal terdiri dari proses negosiasi –melalui konfigurasi hegemonik
yang berbeda— atas ketegangan tersebut. Ketegangan ini, yang dalam istilah
politik diekspresikan dengan batas antara kanan dan kiri, hanya dapat
distabilkan sementara melalui negosiasi pragmatis antar pelbagai kekuatan
politik. Negosiasi ini senantiasa membentuk hegemoni salah satu dari kekuatan
politik tersebut. Dengan meninjau kembali sejarah demokrasi liberal yang
pluralis, kita menemukan logika liberal berlaku pada suatu waktu, sementara
pada waktu yang lain berlaku logika demokrasi. Meskipun begitu, dua logika
tersebut tetap berada dalam ketegangan, dan kemungkinan negosiasi agonistik
antara kanan dan kiri –khususnya pada rezim demokrasi-liberal—senantiasa
terjadi.
(2) Apabila situasi saat ini disebut sebagai
situasi ‘post-demokrasi’, hal ini karena dalam beberapa tahun belakangan --dengan
melemahnya nilai-nilai demokrasi sebagai konsekuensi dari berlakunya hegemoni
neoliberal—ketegangan yang bersifat konstitutif terhadap demokrasi disingkirkan
dan ruang agonistik di mana kepentingan masyarakat yang berbeda-beda dapat
saling berkonfrontasi satu sama lain hilang. Dalam arena politik, evolusi ini
dimanifestasikan melalui apa yang saya majukan dalam On the Political sebagai ‘post-politik’ yang merujuk pada kaburnya
batas politik antara kanan dan kiri.[2]
Dengan isitilah ini, maksud saya adalah konsensus yang dibangun antara partai
kanan-moderat dan kiri-moderat tentang ide bahwa tidak ada alternatif atas
globalisasi neoliberal. Di bawah dalih ‘modernisasi’ yang dibawa oleh
globalisasi, partai-partai sosial-demokrat menerima diktat kapitalisme finansial dan batasan-batasan intervensi negara
terhadap pelbagai kebijakan redistributif. Peran parlemen dan institusi yang
memperkenankan warga negara untuk mempengaruhi keputusan-keputusan politik
dikurangi secara drastis, dan kemungkinan warga negara untuk
mengimplementasikan hak-hak demokratiknya telah dihilangkan. Pemilihan tidak
lagi menawarkan kesempatan untuk memberikan alternatif melalui partai-partai
tradisional ‘pemerintah/penguasa’. Politik telah menjadi sekadar isu teknis
perihal cara mengelola tatanan kekuasaan, sebuah ranah yang diperuntukkan untuk
para ahli saja. Satu-satunya yang diperbolehkan dalam kondisi post-politik
adalah pertukaran/pergantian kekuasaan antara partai kanan-moderat dan
kiri-moderat. Siapapun yang menolak ‘konsensus sebagai pusat’ dipersepsikan
sebagai ‘ekstrimis’ dan digambarkan sebagai ‘populis’. Kedaulatan rakyat telah
dianggap usang, dan demokrasi direduksi menjadi sekadar komponen liberal.
Dengan begitu, salah satu pilar fundamental dari ide demokrasi dilemahkan:
kekuasaan rakyat. Tentu saja, ‘demokrasi’ masih diimplementasikan, tetapi hanya
pelaksanaan pemilihan umum dan pembelaan hak-hak asasi manusia.
Perubahan
pada level politik tersebut terjadi dalam konteks mode baru pranata
kapitalisme, di mana kapital finansial menempati posisi sentral. Dengan
finansialisasi ekonomi, terdapat ekspansi besar-besaran pada sektor keuangan
dengan mengorbankan ekonomi produktif. Di bawah efek gabungan dari
de-industrialisasi, perubahan teknologi, dan proses relokasi ke negara di mana
upah buruh lebih murah, banyak pekerjaan hilang. Kebijakan privatisasi dan
deregulasi turut berkontribusi menciptakan situasi pengangguran endemik, dan
para pekerja berada dalam kondisi yang semakin hari semakin sulit. Jika kita
menambahkan efek kebijakan penghematan yang diperlakukan setelah krisis 2008,
maka kita bisa memahami penyebab terjadinya kenaikan ketidaksetaraan secara
signifikan yang kita saksikan di beberapa negara Eropa, terutama di bagian
Selatan. Ketidaksetaraan ini tidak hanya berdampak pada kelas-pekerja, tetapi
juga sebagian besar kelas menengah, yang telah memasuki proses pemiskinan dan
prekarisasi. Partai-partai sosial-demokrat telah membersamai perkembangan ini,
dan di banyak tempat partai tersebut memainkan peran penting dalam
mengimplementasikan kebijakan neoliberal. Kondisi ini berkontribusi pada fakta
bahwa pilar ideal demokrasi yang lain –pembelaan terhadap kesetaraan—telah
disingkirkan dari diskursus demokrasi-liberal. Yang saat ini menguasai adalah
visi liberal individualistik yang mengagungkan masyarakat konsumen dan
kebebasan yang ditawarkan oleh pasar.
(3) Hasil
dari hegemoni neoliberal adalah terbentuknya rezim oligarki, baik oligarki
sosial-ekonomi maupun politik. Kondisi oligarkisasi masyarakat Eropa inilah
yang menjadi asal muasal dari kesuksesan partai populis sayap-kanan. Pada
kenyataannya, partai populis sayap-kanan ini menjadi satu-satunya pihak yang
menggumamkan kondisi hari ini; berjanji membela rakyat melawan globalisasi dan
mengembalikan kekuasaan rakyat yang telah dirampas oleh para elite. Dengan
menerjemahkan persoalan-persoalan sosial ke ranah etik, di banyak negara partai
populis sayap-kanan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan rakyat –yang diabaikan
oleh partai-partai moderat karena dinilai tidak sesuai dengan proyek
neoliberal—dengan menggunakan retorika xenophobia. Partai-partai
sosial-demokrat, yang menjadi tawanan dari dogma post-politik dan enggan
mengakui kesalahan, menolak untuk mengakui bahwa segala tuntutan rakyat tersebut
merupakan tuntutan demokrasi yang absah, yang mana membutuhkan jawaban
progresif. Dengan demikian, partai moderat tersebut tidak mampu merengkuh
hakikat dari tantangan populis.
Untuk
memahami tantangan populis tersebut, perlu kiranya menolak pandangan simplistik
yang disebarluaskan oleh media, yang mencap populisme sebagai demagog murni. Perspektif
yang analitis dimajukan oleh Ernesto Laclau yang menawarkan pada kita perangkat
teoritik untuk menjawab persoalan tersebut. Laclau mendefinisikan populisme
sebagai cara mengkontruksi yang-politis, yang terdiri dari pembentukan batas
politik yang memisakan masyarakat menjadi dua kubu; mobilisasi rakyat (underdog) melawan ‘elite penguasa’. Hal
ini berkaitan apabila hendak mengkonstruksi subjek kolektif aksi model baru
–rakyat—yang dapat mengkonfigurasi ketidakadilan tatanan sosial. Populisme
bukan ideologi, dan tidak dapat diatribusikan pada program tertentu serta
bukanlah rezim politik. Populisme adalah cara berpolitik yang dapat mewujud
dalam pelbagai bentuk sesuai dengan konteks waktu dan tepat, dan kompatibel
dengan pelbagai bentuk institusi. Populisme merujuk pada dimensi kedaulatan
rakyat dan pembentukan demos yang
bersifat konstitutif terhadap demokrasi. Lebih tepatnya, dimensi yang
dicampakkan oleh hegemoni neoliberal, dan oleh sebab itu, perjuangan melawan
post-demokrasi mensyaratkan intervensi politik populis.
(4) ‘Momen
populis’ yang kita saksikan saat ini menawarkan pada kita kesempatan untuk
membangun kembali batas politik guna membangun kembali ketegangan agonistik
yang sesuai dengan tipikal demokrasi. Bahkan, beberapa partai populis
sayap-kanan telah mengimplementasikannya, yang mengindikasikan kemajuan populis
sayap-kanan akhir-akhir ini. Kekuatan populisme sayap-kanan dapat dipetakan
dengan tepat karena di banyak negara kekuatan tersebut mampu menarik sebuah
batas dan mengkonstruksi rakyat untuk menerjemahkan secara politis pelbagai
resistensi terhadap fenomena oligarkisasi yang disebabkan oleh hegemoni
neoliberal. Daya tarik populisme sayap-kanan sangat menonjol dalam
kelas-pekerja, tetapi juga tumbuh dalam kelas-menengah yang terpengaruh oleh
struktur dominasi baru yang terhubung dengan globalisasi neoliberal.
Sayangnya, sejauh
ini respon kekuatan progresif belumlah memadai. Kekuatan progresif terpengaruh
oleh diskursus kekuatan kekuasaan yang mendiskualifikasi populisme demi
mempertahankan dominasinya. Kekuatan progresif terus mengadvokasi dengan
menggunakan strategi politik tradisional yang senyatanya tidak cocok dengan
krisis legitimasi mendalam yang terjadi pada rezim demokrasi-liberal. Krisis
ini merupakan pengejawantahan dari tuntutan-tuntutan rakyat yang heterogen,
yang tidak bisa diformulasikan dengan pembelahan kanan/kiri seperti halnya
konfigurasi secara tradisional. Tidak seperti karakteristik perjuangan pada era
kapitalisme Fordist --ketika kelas-pekerja memperjuangkan kepentingan
spesifiknya-- di era kapitalisme neoliberal post-Fordist, resistensi telah
banyak berkembang di luar proses produktif. Tuntutan tersebut tidak lagi sesuai
dengan sektor sosial yang didefinsikan dalam istilah sosiologis dan oleh
posisinya dalam struktur sosial. Banyak tuntutan yang menyentuh pertanyaan
seputar kualitas hidup dan memiliki karakter transversal. Tuntutan yang
berhubungan dengan perjuangan melawan seksisme, rasisme dan bentuk-bentuk
dominasi yang lain menjadi semakin penting. Untuk mengartikulasikan keragaman
dalam kehendak kolektif, batas tradisional antara kiri dan kanan tidak lagi
berlaku. Untuk menyatukan perjuangan yang beragam ini butuh sinergi antara
gerakan sosial dan partai dengan tujuan membentuk aliansi ‘rakyat’, dan untuk
itu diperlukan batas yang dikonstruksikan dengan cara populis.
Hal tersebut
bukan berarti oposisi kiri/kanan tidak lagi relevan, tetapi oposisi tersebut
harus diartikulasikan dengan cara yang lain, yakni dengan mengacu pada suatu
jenis populisme dan rantai kesamaan (ekuivalensi) melalui konstruksi atas
identitas kolektif ‘rakyat’. Sebagai sebuah kategori politis, rakyat senantiasa
dihasilkan melalui proses konstruksi diskursif, dan identitas ‘kita’ dapat
terbentuk (terkonstruksi) dengan cara berbeda, tergantung pada elemen-elemen
pembentuknya dan pada bagaimana identitas ‘mereka’, yang merupakan lawan
rakyat/’kita’, didefinisikan. Di sinilah letak perbedaan antara populisme
sayap-kanan –seperti ditunjukan oleh Marine Le Pen yang mengkonstruksi rakyat
terbatas pada ‘pribumi’ (true nationals),
dengan mengecualikan imigran yang dianggapnya sebagai ‘mereka’, yang selaras dengan
kekuatan ‘anti-bangsa’ para elite—dan populisme sayap-kiri yang progresif. Di
Prancis, populisme progresif direpresentasikan oleh gerakan Jean-Luc Mélenchon
yang memiliki konsepsi ‘kita’ yang lebih luas meliputi para imigran, gerakan
lingkungan dan kelompak LGBT, dan mendefinisikan ‘mereka’ sebagai rangkaian
kekuatan politik yang mendukung ketidaksetaraan sosial. Pada kasus pertama,
kita dihadapkan dengan populisme otoritarian yang tujuannya adalah membatasi
demokrasi, sedangkan kasus yang kedua adalah populisme yang berkeinginan
memperluas dan meradikalkan demokrasi.
(5) Sebagai
tambahan perihal bagaimana rakyat dikonstruksikan, pertanyaan penting lainnya
harus dikemukakan untuk membedakan pelbagai bentuk populisme: dengan cara seperti
apa relasi antara rakyat dan mereka ‘yang berada dalam kekuasaan’ (penguasa)
dikonsepsikan. Identitas kolektif selalu mensyaratkan distingsi kita/mereka,
tetapi dalam medan politik, batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ mengindikasikan
adanya antagonisme, yakni konflik yang tidak memiliki solusi rasional. Antagonisme
tersebut dapat mewujud dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Ada yang mewujud dalam
bentuk konfrontasi teman/musuh yang mana tujuannya adalah untuk membasmi
‘mereka’ supaya dapat membangun tatanan baru secara radikal. Revolusi Prancis
merupakan contoh dari populisme ‘antagonistik’ jenis ini. Di sisi lain,
konfrontasi tersebut dapat mewujud dalam bentuk ‘agonistik’, di mana ‘mereka’
tidak dipandang sebagai musuh, tetapi sebagai adversari (lawan, friendly-enemy) yang sama-sama bertarung
melalui cara-cara demokratis. Agar gerakan populis kompatibel dengan demokrasi
pluralistik, konfrontasinya haruslah agonistik. Populisme agonistik tidak mendukung
penolakan penuh atas keberadaan suatu institusi. Tujuan dari populisme
agonistik bukanlah menghapus institusi demokrasi-liberal, melaikan melakukan
disartikulasi unsur-unsur yang membentuk tatanan hegemonik dan
mereartikulasikannya ke dalam hegemoni yang baru.
Populisme
kiri yang cocok dengan situasi Eropa harus dikonsepsikan sebagai ‘reformisme
radikal’ yang berjuang untuk memulihkan dan memperdalam demokrasi. Populisme
kiri merupakan perjuangan yang menjalankan cara-cara ‘perang posisi’ dalam
pelbagai institusi dengan tujuan mentransformasikan institusi tersebut. Sebuah
perjuangan yang mensyaratkan perubahan institusional yang signifikan yang memperkenankan
kehendak rakyat dapat diekspresikan, tetapi perubahan tersebut bukanlah
penolakan radikal terhadap institusi-institusi demokratik. Persoalannya
bukanlah mengakhiri demokrasi representatif, melainkan memperkuat institusi
tersebut agar menjadi ruang suara rakyat. Hal semacam ini adalah bentuk
‘republikanisme plebeian’ yang menubuh dalam warisan demokrasi dari tradisi
republik, yang pendahulunya adalah Machiavelli.
Krisis saat
ini adalah karena institusi-institusi kita tidak cukup representatif, bukan
karena fakta representasi itu sendiri. Solusinya tidak bisa dengan
menghilangkan sistem representasi dan pembentukan demokrasi 'langsung', seperti
klaim beberapa orang. Sebagaimana telah saya tekankan dalam Agonistics[3],
dalam masyarakat demokratis yang mengakui adanya kemungkinan antagonisme,
dan di mana pluralisme tidak dapat dikonsepsikan dengan cara yang harmonis dan
anti-politik, institusi-institusi representatif –dalam mewujudkan pembelahan
masyarakat—memainkan peran yang krusial karena institusi tersebut
memperkenankan institusionalisasi atas dimensi konflik. Saat ini, peran
tersebut hanya dapat dipenuhi melalui keberadaan sebuah konfrontasi agonistik.
Persoalan utama dari post-demokrasi adalah absennya konfrontasi agonistik dan
ketidakmampuan warga negara untuk memilih alternatif yang sebenarnya. Oleh
sebab itu, persoalan batas sangatlah menentukan.
Saya yakin
bahwa dalam beberapa tahun ke depan, poros utama dari konflik politik adalah
antara populisme sayap-kanan dan populisme sayap-kiri, dan sangat penting bagi
sektor-sektor progresif mengetahui pentingnya terlibat dalam perjuangan
tersebut. Untuk merancang populisme kiri membutuhkan visualiasi politik dengan
cara mengenali karakter partisannya. Kita harus memutus dominasi perspektif
rasionalis dalam pemikiran politik demokrasi liberal dan mengenali pentingnya
afeksi bersama (saya menyebutnya ‘renjana’, ‘passions’) dalam pembentukan identitas kolektif. Hal ini melalui
konstruksi atas rakyat dengan wujud lain, yakni kehendak kolektif yang dihasilkan
dari mobilisasi afeksi/renjana dalam rangka mempertahankan kesetaraan dan
keadilan sosial. Cara seperti ini akan mungkin untuk melawan
kebijakan-kebijakan xenophobik yang dimajukan oleh populisme sayap-kanan.
Dengan
menciptakan kembali batas-batas politik, ‘momen populis’ yang kita saksikan di
Eropa mengarah ke ‘kembalinya‘yang-politis’. Suatu kekembalian yang membuka
kemungkinan solusi otoritarian –melalui rezim yang memperlemah
institusi-institusi demokrasi liberal—tetapi juga dapat membawa pada reafirmasi
dan memperdalam nilai-nilai demokrasi. Semuanya akan tergantung pada jenis
populisme yang muncul sebagai pemenang dari perjuangan melawan post-politik dan
post-demokrasi.
Diterjemahkan dari tulisan Chantal Mouffe ‘The Populist
Challenge’ yang
terbit di Open Democracy (5 Desember 2016)
Translasi ini terbit di antinomi.org. Dipublikasikan di sini untuk arsip
[1] Chantal Mouffe, The Democratic
Paradox, (London: Verso, 2000)
[2] Chantal Mouffe, On the
Political, (Abigndon, 2005)
[3] Chantal Mouffe, Agonistics:
Thinking The World Politically, (London: Verso, 2013)
Comments
Post a Comment