Rosa Luxemburg, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi
Identitas Buku
Judul : Rosa Luxemberg: Sosialisme dan
Demokrasi (Buku 1)
Penulis : Dede Mulyanto
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun terbit: November 2019
Tebal : xx + 253 halaman
“Mahasiswa
paling mumpuni di antara siswa-siswaku selama aku di Zurich, meskipun dia
datang padaku dari Polandia sudah sebagai Marxis totok,” terang Julius Wolff,
salah seorang dosen sekaligus pembimbing disertasi Rosa Luxemburg di Fakultas
Filsafat Universitas Zurich, ketika menilai sosok Rosa Luxemburg (1871-1919)
(hlm. 40). Penilaian Julius Wolff terhadap Rosa sebagai Marxis totok tersebut
sangatlah tepat.
Sepanjang hidupnya
sebagai aktivis dan pemikir Kiri, Rosa konsisten menjangkarkan Marxisme pada
Karl Marx dan mempertahankannya dari tendensi revisionisme dan reformisme yang pada
waktu itu tumbuh subur dalam partai politik berhaluan Kiri di Eropa. Buku berjudul
Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi
(Buku 1) yang ditulis oleh Dede Mulyanto ini menggambarkan kiprah Rosa
sebagai aktivis dan pemikir Kiri yang konsisten pada Marxisme.
Sebagai seorang Marxis
ortodoks,[1] Rosa
berpegang teguh pada determinasi ekonomi terhadap suprastruktur, proletariat
sebagai subjek historis, dan perjuangan menuju sosialisme. Keteguhan Rosa
sebagai seorang Marxis ortodoks tersebut sangat berpengaruh terhadap pandangannya
tentang demokrasi dan sosialisme.
Demokrasi dan Sosialisme
Pertanyaan yang
penting diajukan untuk mengurai hubungan demokrasi dan sosialisme adalah:
apakah demokrasi kompatibel dengan sosialisme dan begitu pula sebaliknya? Tentu
saja, jawabannya tidak sesederhana ‘iya atau tidak’. Demokrasi dan sosialisme
merupakan dua konsep besar yang berasal dari tradisi pemikiran yang berbeda. Demokrasi
mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan rakyat dan kesetaraan,[2]
sedangkan sosialisme berlandaskan pada perjuangan revolusioner berbasis kelas
untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi yang diakibatkan
oleh rezim kapitalisme.
Perbedaan
tersebut menyisakan jurang yang sangat lebar, yang menyulitkan proses
‘kompromi’ (titik temu) antara demokrasi dan sosialisme. Jurang tersebut,
misalnya, mewujud dalam stigma yang berkembang di Barat ketika runtuhnya Uni
Soviet dan Blok Timur bahwa pilihan terbaik bagi sistem politik adalah
demokrasi dan yang buruk berupa sosialisme dengan sentralisme dan
totalitarianisme-nya.[3] Kita
tahu kemudian, demokrasi –lebih tepatnya demokrasi liberal—menjadi sistem
politik di hampir semua negara di belahan dunia.
Keberadaan jurang
antara demokrasi dan sosialisme juga diakui oleh Rosa. Menurutnya, demokrasi dapat
menjadi lahan bagi kekuasaan borjuasi yang kemudian menghalangi agenda
perjuangan proletariat; demokrasi bisa mewujud demokrasi rakyat sekaligus
demokrasi borjuasi. Demokrasi yang seperti ini disebut sebagai demokrasi
parlementer borjuis (hal. 126), yang mana, di atas prinsip kedaulatan rakyat
dan kesetaraan, para borjuasi menggapai kekuasaan untuk memproteksi kepentingan
kelasnya dan itu artinya melanggengkan dominasi politik borjuasi.
Dalam konteks
Indonesia hari ini, apa yang menjadi kekhawatiran sekaligus kritik Rosa
terhadap demokrasi benar-benar terjadi. Demokasi Indonesia dikuasai oleh
segelintir elite oligarki, baik itu oligarki politik maupun oligarki ekonomi.[4] Sehingga,
kekuasaan dan juga kekayaan berpusat pada segelintir orang saja. Kondisi ini
tentunya berdampak buruk bagi demokratisasi Indonesia; misalnya, kebijakan
publik diputuskan berdasarkan kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat,
dan pemilu sekadar formalitas demokratis untuk memilih calon pejabat publik
yang sebelumnya telah ditentukan oleh oligarki.
Kritik Rosa
terhadap demokrasi tersebut bukan pertanda ia anti-demokrasi seperti yang
dituduhkan oleh Eduard Bernstein (1850-1932), seorang tokoh revisonis di dalam
tubuh Partai Demokrasi Sosial Jerman (SPD). Bagi Rosa, demokrasi mempunyai arti
penting bagi perjuangan proletariat, yakni “membuka ruang yang memperluas
cakupan keikutsertaan kelas proletar di dalam jalannya politik kenegaraan dan menyibak
dominasi dan penindasan kelas yang sebelumnya tertutup kabut-kabut ideologis”
(hal. 133).
Di tangan Rosa,
demokrasi dan sosialisme bukanlah konsep yang harus dipertentangkan. Keduanya
harus berada dalam satu tarikan nafas. Hal ini ditegaskan oleh Rosa bahwa:
“Barangsiapa yang hendak memperkuat demokrasi, semestinya pula memperkuat dan
bukannya malah memperlemah gerakan sosialisme; dan dengan mencampakkan
perjuangan demi sosialisme berarti mereka sedang meruntuhkan gerakan pekerja
dan demokrasi sekaligus” (hal. 127). Pernyataan Rosa tersebut menyiratkan
‘titik temu’ antara demokrasi dan sosialisme; bahwa demokrasi mengandaikan
sosialisme dan begitupun sebaliknya. Jika tidak demikian, maka politik akan
terjebak pada demokrasi borjuis ataupun totalitarianisme.
Pemikiran Rosa tersebut
mengingatkan saya pada sosok Mohammad Hatta dengan Demokrasi Kita-nya. Dalam
karya yang awalnya terbit di Pandji
Masyarakat tahun 1960 tersebut, Hatta menyatakan dengan tegas
pentingnya mengimplementasikan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.
Hatta menjelaskan bahwa “demokrasi Indonesia harus sesuai dengan cita-cita
perjuangan yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar peri kemanusiaan dan
keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan
persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.”[5]
Hal ini karena ketidaksetaraan ekonomi –ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat
lebar antara yang kaya dan yang miskin—menyebabkan ketidaksetaraan politik, dan
itu artinya tidak berlaku kesetaraan dalam demokrasi. Jelasnya, demokrasi
haruslah bertopang pada kesetaraan politik dan ekonomi.
Untuk menggapai
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, Rosa berpandangan bahwa proletariat,
kelas pekerja, harus ambil bagian di dalamnya sebagai subjek historis.
Pandangan Rosa perihal proletariat sebagai subjek historis ini merupakan
konsekuensi dari prinsip determinasi ekonomi terhadap suprastruktur dalam Marxisme
ortodoks yang diyakininya, yang oleh Bernstein ‘diolok-olok’ sebagai “seorang
Kalvinis tanpa Tuhan”. Apabila Kalvinis –dengan tokohnya Yohanes
Kalvin—mendasarkan diri pada akidah Protestanianisme yang percaya pada doktrin
predestinasi –bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam telah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan pada saat penciptaan (hal. 97), maka Rosa dengan ‘akidah’
Marxisme ortodoksnya meyakini ekonomi sebagai ‘predestinasi’ tersebut yang
menentukan ranah suprastruktur –pandangan dan keperpihakan identitas, kelas,
politik, dan sosial budaya.
‘Olok-olok’
Bernstein terhadap Rosa tersebut berangkat dari perbedaan pemikiran tentang
subjek historis. Rosa tetap bersikukuh pada eksklusitas kelas pekerja sebagai
subjek historis, sedangkan Bernstein menempatkan basis ekonomi pada posisi
setara dengan suprastruktur yang implikasinya berupa penyejajaran kelas pekerja
dengan identitas lainnya dalam demokrasi seperti identitas berbasis gender,
orientasi seksual, lingkungan, nasionalisme, dan lain sebagainya.
Pada konteks
ini, saya setuju dengan pandangan Bernstein. Di tengah dunia yang semakin cair
dan demokrasi yang semakin ke Kanan, kelas pekerja tidak bisa menjadi aktor
tunggal dan bersifat eksklusif. Aliansi progresif –yang di dalamnya terdapat
elemen-elemen progresif seperti kelas pekerja dan kelompok pro demokrasi, HAM,
gender, lingkungan, dan orientasi seksual serta lain sebagainya-- sangat
dibutuhkan untuk menandingi diskurus dan gerakan politik Kanan yang
meresonansikan ultra-nasionalisme, xenophobia, dan rasialisme.
Perdebatan Rosa dan
Bernstein tersebut dijelaskan secara memadai oleh Dede Mulyanto dalam buku Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi
(Buku 1) ini, dan posisi Dede mendukung pemikiran Rosa dalam perdebatan
tersebut. Selain itu, sebagai sebuah pengantar untuk memahami pemikiran Rosa,
buku ini sangat tepat untuk dijadikan acuan. Selain penulisannya yang tidak
terjebak pada biografi, buku ini menghamparkan semesta pemikiran Rosa yang
tidak hanya tentang sosialisme dan demokrasi –meskipun dua topik ini
mendapatkan porsi yang banyak dalam buku ini—tetapi juga tentang posisi gerakan
perempuan dalam gerakan sosialisme dan hubungan agama dan sosialisme.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di rubrik kolom review berdikaribook.red. Dipublikasikan kembali di sini sebagai arsip
[1] istilah untuk menyebut pemikir Kiri yang tetap berpegang teguh pada
Marxisme an sich dan menolak
pembaharuan Marxisme sesuai konteks perkembangan zaman.
[2] Lih. Chantal Mouffe, The
Democratic Paradox, (London: Verso, 2000), hal. 2.
[3] Lih. Anna Marie Smith, Laclau
and Mouffe: the radical democratic imaginary, (London: Routledge, 1998),
hal. 12.
[4] Penelusuran lebih lanjut bisa dilihat di Jeffrey A. Winters, Oligarki, (Jakarta: Gramedia, 2011) atau
tonton kuliah umumnya di Youtube (https://www.youtube.com/watch?v=zmafYhM06bM&t=2451s).
[5] Mohammad Hatta, Demokrasi
Kita, (Jakarta: Pustaka Antara, 1966), hal. 23.
Comments
Post a Comment