Preman Adalah Manusia!

Sampul muka buku 'Politik Jatah Preman'


Jika disuruh menunjuk organisasi yang tahan dalam segala cuaca dan medan, maka saya akan menunjuk ‘organisasi preman’. Begitulah kira-kira kesimpulan saya setelah membaca buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru karya Ian Douglas Wilson yang diterbitkan oleh Marjin Kiri. Buku ini membahas secara komprehensif bagaimana ‘organisasi preman’ dapat beradaptasi dengan lanskap politik nasional yang berubah dari sentralisasi pada Orde Baru ke era desentralisasi pada Orde Reformasi dengan mengambil Jakarta sebagai lokus kasus.

Tuntutan adaptif terhadap perubahan tersebut adalah tuntutan ekonomi ‘organisasi preman’ --jalan mengisi pundi-pundi uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yang memungkinkan ‘organisasi preman’ mustahil lenyap. Bagi saya sebagai pembaca, salah satu kesimpulan yang ditawarkan oleh Wilson dalam buku ini sangat menarik, bahwa: ‘organisasi preman’ diisi oleh orang-orang yang memiliki kebutuhan ekonomi, dan melalui keikutsertaan mereka dalam ‘organisasi preman’, mereka bisa mengakses sumber-sumber ekonomi. Bahkan, ‘organisasi preman’ menjadi wahana organisational masyarakat kelas bawah untuk meningkatkan kondisi material mereka, menegaskan hak mereka atas kota, dan mencapai hasil dalam perebutan ruang dan pasar (hal.164-169).   

Kata Wilson dalam kesimpulan buku ini: “Terlepas dari orientasi ideologis atau politiknya, kelompok-kelompok ini [organisasi preman, pen.] menyediakan jejaring solidaritas, identitas, dan struktur kesempatan untuk memenuhi kebutuhan material dalam koteks lingkungan sosial-ekonomi yang tak memberi banyak pilihan.” (hal. 290)

Kesimpulan Wilson tersebut yang me-humanizing preman banyak mendapat kritik dari aktivis pro-demokrasi yang menganggap ‘organisasi preman’ sebagai entitas perusak sendi-sendi demokrasi karena aksi sepihak mereka, bahkan dengan jalan kekerasan (predatoris).

Tentunya, ‘organisasi preman’ mewujud dalam pelbagai bentuk: organisasi masyarakat (ormas), jasa keamanan, organisasi paramilliter, milisi-milisi populis, dan lain sebagainya. Mereka semua terkoneksi dengan jejaring ekonomi dan politik elite yang sifatnya win-win, bukan sekadar patron-klien.

Selain itu, ‘organisasi preman’ menggunakan identitas etnis, agama, dan nasionalisme untuk menggapai tujuan mereka. Lebih-lebih penggunaan identitas etnis, seperti organisasi Betawi di Jakarta dan sekitarnya, dan identitas agama, seperti FPI, mengemuka pada era Reformasi seiring dengan berubahnya lanskap politik dari sentralisasi ke desentralisasi. Buku ini juga menjelaskan secara rinci perihal bentrok antar organisasi preman di Jakarta yang kerap kali terjadi dengan bungkus etnisitas (misalnya antar preman Ambon, Madura, Betawi, Batak, dsb.), padahal persoalan utamanya adalah rebutan wilayah sumber-sumber ekonomi.  

Jatah preman pada era sentralisasi Orde Baru dimonopoli oleh Soeharto dan yang di luar Soeharto dibasmi dengan pengerahan aparat keamanan lewat program Siskamling. Pada Orde Baru, kita mengenal istilah petrus (penembakan misterius) yang membunuh banyak preman di pelbagai daerah karena dianggap berpotensi menganggu keamanan.

Dengan pendekatan ekonomi-politik, buku ini memberikan wawasan tentang politik jatah preman yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi sendiri, yang salah satu upaya menggapai kepentingannya adalah dengan kongkalikong dengan elite –elite tak mesti pemerintah ataupun aparat, bisa juga parta politik dan pengusaha.

Deskripsi secara detail dan analisis yang dalam perihal jejaring, sumber-sumber ekonomi, konflik, aktor-aktor yang terlibat, dan isu-isu yang diangkat oleh ‘organisasi preman’ akan kamu dapatkan setelah merampungkan buku ini.    
            

Comments