Tidur-Pikiran-Bangun dan Seterusnya


0ramai0
Beberapa hari terakhir, saya selalu tidur kelewat larut. Sangat larut bahkan. Tidak bisa di bawah jam 12 malam atau setidaknya di atasnya sedikit, jam setengah satuan. Selalu menjelang tarkhim subuh atau setelah shalat subuh.

Pada siang harinya, saya selalu meyakinkan diri: “ntar malem, saya harus tidur sebelum jam 12 malem.” Dan bisa ditebak, keyakinan saya keliru. Entah apa yang membuat keyakinan saya untuk bisa tidur sesuai anjuran kesehatan selalu patah.

Tak hanya dengan kebulatan niat, saya berusaha untuk membuat badan ini lelah dengan olahraga, dengan menyibukkan diri. Supaya ketika malam tiba, saya bisa lekas-lekas tidur.

Setiap hendak tidur, ketika lampu saya matikan, dan badan telah rebah di atas kasur, pikiran tiba-tiba hidup. Segala ingatan, keinginan, pengalaman, dan apapun itu terpanggil. Mula-mula perihal terjemahan yang tak kunjung rampung, kemudian buku yang belum selesai dibaca, lalu esai yang tak kunjung ditulis, lalu keinginan untuk melanjutkan kuliah, lalu keinginan berwirausaha, lalu keluarga, lalu list aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu dekat.

Semua itu berseliweran dalam pikiran yang membuat saya tak kunjung tidur. Ujungnya, saya bangun, ngidupin lampu, buka hp dan bisa ditebak apa yang dilakukan selanjutnya oleh seorang millenial biasa-biasa saja yang sebagian hidupnya lekat dengan hal-hal berbau digital; scroll timeline Twitter dan nonton Youtube sampai tiba-tiba speaker masjid depan kontrakan berbunyai, tanda subuh akan segera tiba.

Tubuh sudah lelah dan pikiran tak ingin diajak kompromi. Apakah ini tanda-tanda quarter life crisis yang banyak dibincangkan dan dirasakan oleh anak-anak muda di luar sana? Apakah saya mengalaminya juga karena sudah 1 tahun lulus kuliah dan tak kunjung memperoleh beasiswa untuk lanjut studi atau kerja dengan penghasilan yang lumayan buat menghidupi diri saya di Jogja yang biaya hidupnya murah namun UMRnya tak kalah jauh murah juga?

Saya sendiri tak mengenal life crisis, apalagi quarter life crisis. Dan memang tak ada keinginan untuk mengetahuinya. Bagi saya, life crisis merupakan kosa kata yang sangat urban. Tak ada kosa kata itu di pedesaan. Di kampung, hidup adalah bertahan hidup.

Dan saya, hari ini, mungkin, terjebak dalam kosa kata yang sangat urban itu sementara keseharian saya mencengkram kampung.

Mungkin itu-itu-itu yang membuat saya tidak bisa tidur cepat-cepat. Mungkin juga karena yang lain. Halah-halah, mungkin-mungkin terus-terusan.   

Comments