Memang, Diam Itu Emas

Seorang kawan, Mokhsa, berbalas komentar dengan saya di sebuah postingan Facebook. Pada satu komentarnya, saya berhenti cukup lama. Mengeja dari huruf ke kata ke kalimat ke semesta kontekstual.

Bunyi komentarnya begini: “Memang media sosial dan media teknologi komunikasi seperti bisa membuat kita menjadi intelektual-bajing-loncat”

Membaca komentar tersebut, saya mengingat-ingat apa yang terjadi dengan saya belakangan ini. Sekitar 2 tahun-an inilah. Komentar itu menggambarkan saya, bukan sebagai intelektual-bajing-loncat, tetapi sebagai seseorang yang tidak bisa diam karena penetrasi media sosial dan teknologi informasi.

Sulit bagi saya untuk melewati hari-hari dengan tanpa bermain handphone. Bahkan, saya bisa menghabiskan waktu lebih lama bertatap muka dengan handphone ketimbang bertatap muka dengan manusia.

Jika ini terjadi terus-terusan dalam skala yang lebih luas –artinya lebih banyak orang menghabiskan kesehariannya seperti saya— apakah skill komunikasi tatap manusia akan juga berkurang? Apakah akan berkurang juga kosa kata percakapan manusia? Apakah bahasa lisan akan mengalami titik kemandekan? Bukankah komunikasi, perkembangan kosa kata dan bahasa adalah soal keaktifan melakukan komunikasi?

Entah. Mungkin ada bentuk komunikasi, kosa kata dan bahas baru yang berkembang di era digital seperti ckckc, wkwkw, wikwik, mutualan, dsb.

Semakin hari, saya menyadari, saya sulit untuk diam. Bahkan untuk duduk santai di teras kontrakan sambil merokok dan melihat lalu lalang tetangga pun sangat jarang. Di toilet sekalipun, saya masih sibuk scroll timeline Twitter dan Instagram. Kadang juga menonton video di Youtube.

Saya tidak bisa meninggalkan handphone barang sesaat. Selagi saya masih sadar, handphone harus ada di radius terdekat. Ada rasa ketakutan dalam diri ini: takut ketinggalan informasi, terutama yang viral; takut ntar ada teman yang menghubungi; takut kelewatan cuitan dan postingan orang-orang; dan takut-takut yang lain.

Padahal informasi itu tidak penting-penting amat. Padahal cuitan dan postingan orang itu sangat tidak relevan dengan hidup kita.

Pernyataan ‘diam itu emas’ menjadi sangat relevan hari ini. Kalaupun ada waktu diam, itu saat saya membaca buku, menulis dan tidur. Itupun bagi saya bukan diam, tapi aktivitas. Diam sediam-diamnya atau paling tidak aktivitas merenung menjadi barang mahal. Kiranya perlu berjarak dengan handphone, dengan media sosial dan remah-remahnya.

Di 2020 ini, saya harus menjadwalkan diri untuk, minimal, puasa handphone dan media sosial pada senin-kamis. Mulai subuh dan berakhir saat bedug. Seperti lazimnya puasa. Untuk menikmati diam, untuk merenung.

Comments