Demokrasi Radikal Chantal Mouffe: Ikhtiar Melampaui Paradoks Demokrasi Liberal
Halaman awal artikel saya di Jurnal Mahasiswa Filsafat Cogito Vol. 5 No. 2 2019 |
Artikel ini bertujuan untuk mengetengahkan pemikiran Chantal
Mouffe tentang demokrasi radikal sebagai respon atas paradoks demokrasi
liberal. Menurut Mouffe, demokrasi radikal terjebak ke dalam kutukan moral
ketika memandang menguatnya fenomena illiberal, intoleransi, xenophobia,
sentimen agama dan rasial di pelbagai belahan dunia. Demokrasi liberal menjadi
lahan subur terciptanya ketidaksetaraan ekonomi dan mengeksklusi yang
irrasional dalam demokrasi dengan dalih politik konsensus. Demokrasi radikal
merupakan upaya mengatasi dan melampaui paradoks demokrasi dengan menjadikan
demokrasi sebagai arena konflik antar pelbagai kepentingan, ideologi dan
identitas yang saling berkontestasi dan mengkonstruksi satu sama lain untuk
merebut posisi hegemonik dalam ruang publik. Selain itu, demokrasi radikal
mengemban misi sosialisme dan emansipasi sebagai wujud perjuangan demokratik
melawan relasi opresi dan subordinasi.
Kata kunci: Chantal Mouffe, Demokrasi
Radikal, Demokrasi Liberal
Pendahuluan
Politik global, akhir-akhir ini, diwarnai dengan fenomena
illiberal yang dinilai mengancam sekaligus menodai nilai-nilai demokrasi.
Fenomena illiberal merujuk pada xenofobia, sentimen rasial, sentimen keagamaan
dan tindakan intoleransi terhadap perbedaan. Kemenangan Trump di Amerika
Serikat yang memanfaatkan isu anti-imigran dan islamofobia adalah salah satu
contohnya; sebuah pukulan telak bagi demokrasi.
Contoh yang lain adalah bangkitnya partai ektrem kanan di
Eropa yang mengkampanyekan semangat anti-imigran, islamophobia dan anti-Uni
Eropa. Kebangkitan tersebut ditandai dengan menguatnya posisi politik partai
ektrem kanan dalam politik Eropa seperti yang tersurat pada hasil pemilihan
umum:[1] partai ekstrem kanan pimpinan Geert Wilders
menempati urutan kedua pada pemilu Belanda; di Perancis, tokoh ekstrem kanan
Marine Le Pen masuk ke babak akhir pemilihan presiden meskipun akhirnya kalah;
di Jerman, partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) masuk ke parlemen
nasional sebagai partai politik terbesar ketiga dan meraih 90 kursi; dan di
Austria, partai ekstrem kanan, Partai Kebebasan, bersaing ketat di posisi kedua
dengan Partai Sosialis Demokratik (SPO) pada pemilu legislatif dan Partai
Rakyat (OVP) yang merupakan partai tengah pimpinan Sebastian Kurz unggul di
urutan pertama yang selama masa kampanye semangat yang digunakan ”sangat kanan”
terkait pelarangan imigran.
Di Indonesia, fenomena illiberal dalam demokrasi merujuk
pada menjamurnya fundamentalisme dan konservatisme keagamaan, misalnya Aksi
Bela Islam yang berjilid-jilid sebagai respon atas dugaan penodaan agama oleh
Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Pada waktu itu, Ahok merupakan calon gubernur
petahana dalam Pilkada DKI Jakarta 2014 yang memiliki minoritas ganda; beragama
Kristen dan beretnis Tionghoa. Hari-hari Pilkada DKI Jakarta 2014 diwarnai
dengan sentimen rasial, keagamaan dan retorika xenofobia; misalnya, pemimpin
kafir yang tidak boleh memimpin, ketakutan akan kuasa asing, bahkan ada
kejadian di mana suatu masjid tidak mensolatkan jenazah pendukung penista agama
(Ahok). Dalam konteks ini, tindakan
illiberal dalam demokrasi dimaknai sebagai a
damaged rule of law that cannot protect the equal freedom of all individuals,
karena demokrasi memiliki dua hal yang berbeda, yakni elektoral (pemilihan yang bebas dan adil) dan
liberal (aturan hukum dan perlindungan kebebasan) dan keduanya haruslah
terpenuhi.[2]
Demokrasi diartikan satu tarikan nafas dengan liberalisme; demokrasi liberal.
Selain itu, keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga
menjadi paradoks dalam demokrasi; pada satu sisi HTI tumbuh dan berkembang
karena sistem demokrasi, tetapi pada sisi lain menyatakan kontra demokrasi dan
hendak menggantikannya dengan sistem khilafah –negara agama, teokrasi atau
negara berbasis syariat Islam. Demokrasi memberi ruang kepada kekuatan-kekuatan
yang hendak membunuh dirinya sendiri. Atas nama kesetaraan (equality), kebebasan
berorganisasi, berpendapat dan berekspresi yang inheren dalam demokrasi[3],
organisasi semacam HTI melafalkan gagasan hendak membunuh demokrasi dengan
kerap kali bersikap undemocratic dan
illiberal. Oleh karena gagasan ideologinya, khilafahnya, alih-alih bertindak
demokratis, pemerintah Indonesia bersikap ultra-nasionalis, undemocratic dan illiberal dengan
membubarkan HTI melalui penerbitan Perppu Ormas yang kini telah menjadi
Undang-Undang Ormas. Dalih yang disampaikan oleh pemerintah adalah demi menjaga
keberagaman, meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan keutuhan NKRI.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan gambaran –dalam istilahnya Fareed
Zakaria-- ‘demokrasi yang tak liberal’, yaitu demokrasi sekadar menjalankan
pemilu (voting), namun setelah
pemilu, kepemimpinan dijalankan dengan sifat illiberal.[4]
Padahal yang terjadi bukanlah ‘demokrasi yang tak liberal’, melainkan paradoks
demokrasi liberal itu sendiri: bagaimana demokrasi menjawab persoalan
intoleransi, illiberal dan undemocratic;
haruskah bersikap toleran terhadap intoleransi mengingat intoleran[5]
terhadap intoleransi merupakan bentuk lain dari intoleransi dan begitu pula
pada illiberal dan undemocratic.
Menjawab sekaligus melampaui paradoks demokrasi tersebut,
Chantal Mouffe –seorang teoritikus politik cum
filsuf politik kontemporer— memajukan konsep demokrasi radikal;[6]
sebuah upaya radikalisasi demokrasi dengan meniscayakan keberadaan konflik dan
kontestasi terus menerus serta disensus dalam rangka memperdebatkan ideologi
dan gagasan untuk merebut wacana (discourse).
Dalam artian, demokrasi radikal menjadi ranah kontestasi hegemonik.
Dalam alam demokrasi radikal, segala bentuk gagasan dan
ideologi berkontestasi satu sama lain dengan menggunakan artikulasi politik
khas masing-masing; gagasan senantiasa diproduksi secara terus menerus.
Partisipasi menjadi salah satu hal utama dalam demokrasi radikal. Dengan kata
lain, demokrasi radikal menghendaki ‘kebisingan’ dan ‘keriuhan’ demi menyingkap
selubung stabilitas –ada sesuatu yang ter(di)sembunyi(kan) dalam
stabilitas—untuk terwujudnya politik emansipatoris.
Demokrasi dan Liberalisme
Banyak orang menganggap bahwa melafalkan demokrasi
berbanding lurus dengan mengucapkan liberalisme. Demokrasi dan liberalisme
dipandang sebagai satu kesatuan. Padahal keduanya memiliki masa lalu, proses
dan asumsi-asumsi dasar yang jauh dari frasa ‘satu kesatuan’. Hal ini
ditegaskan oleh Chantal Mouffe bahwa: “pada satu sisi tradisi demokrasi
memiliki nilai-nilai berupa kesetaraan, identitas antara yang memerintah dan
diperintah, dan kedaulatan rakyat; namun pada sisi lain, tradisi liberal
membawa nilai-nilai dan bersifat konstitutif terhadap peraturan hukum,
pembelaan hak-hak asasi manusia dan penghormatan kebebasan individual.”[7]
Baik demokrasi dan liberalisme memiliki nilai-nilai inheren
dalam dirinya sendiri yang akan selalu dipertahankan. Perbedaan keduanya
membawa implikasi teoritik bahwa esensi demokrasi adalah rakyat yang berkuasa
dan berdaulat dengan kesetaraan dan kebebasan sebagai prinsip fundamental.
Demokrasi menegaskan bahwa kekuasaan (kratos)
berada di tangan rakyat (demos) yang
merupakan konsekuensi –oleh apa yang Mouffe sebut sebagai—revolusi demokratik,
yakni kekuasaan tidak lagi menubuh pada diri raja atau ratu, pertalian darah
dan otoritas transedental, melainkan milik semua orang (rakyat).[8]
Dalam demokrasi, konsep rakyat (the people) menjadi konsep sentral; apa dan siapa itu rakyat
menjadi diskursus dalam ruang publik. Sebagian menerjemahkan rakyat sebagai citizenship dengan mengandaikan
kebebasan dan kesetaraan antar warga negara. Sebagian lain mengartikan rakyat
sebagai the oppressed people,
orang-orang yang termarjinalkan dan tertindas dalam stuktur sosial-politik yang
dinilai memang timpang. Konstruksi tentang konsep rakyat menjadi a contested concept dalam diskursus di
ruang publik demokrasi. Oleh karena itu,
pengabaian terhadap kehendak rakyat adalah persoalan serius dalam demokrasi
yang jika dibiarkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada institusi-institusi
demokrasi.
Berbeda dengan demokrasi, liberalisme memberi titik tekan
pada tegaknya hukum, penghormatan hak-hak asasi manusia dan perlindungan
kebebasan dan kepemilikan pribadi. Perbedaan tersebut kemudian disatu-padukan
ke dalam konsep ‘demokrasi liberal’ dan diartikulasikan –meminjam istilahnya C.B.
MacPherson—menjadi: liberalisme menjadi terdemokratiskan (liberalism was democratized) dan demokrasi terliberalkan (democracy liberalized).[9]
Penyatuan tersebut mengandaikan sekaligus menganggap
demokrasi adalah satu tarikan nafas dengan liberalisme; demokrasi adalah
demokrasi liberal itu sendiri, padahal semestinya tidak demikian. Anggapan
tersebut menemukan kelumrahannya hari ini karena berpijak pada peristiwa
historis, yakni paska runtuhnya
tembok Berlin di Jerman dan tercerai-berainya Uni Soviet menjadi beberapa
negara bagian, sebagai pertanda kekalahan kelompok Kiri (komunisme dan
sosialisme) dan liberalisme dengan demokrasi liberalnya keluar sebagai pemenang
dalam pertarungan Perang Dingin.
Kemenangan liberalisme dalam Perang Dingin, di mata Francis
Fukuyama, merupakan akhir sejarah (end of
history) yang bukan hanya akhir perang, melainkan akhir sejarah umat
manusia.[10]
Sebagai pemenang, demokrasi liberal menyebar ke sekaligus menjadi rujukan
demokratisasi di pelbagai negara di dunia, terutama negara berkembang.
Sebaliknya, tak hanya kalah secara ideologis dan politik, di Barat dan menyebar
juga ke pelbagai penjuru dunia, Kiri diasosiasikan dengan otoritarianisme dan
totalitarianisme yang tidak memiliki komitmen terhadap keberagaman.[11]
Dampaknya berupa dikotomi baik dan buruk: pilihan yang baik melekat pada
demokrasi liberal, dan pilihan yang buruk menempel pada sosialisme.[12]
Permasalahannya saat ini adalah penyatuan demokrasi dan
liberal tersebut menjadi bermasalah karena, pertama,
alih-alih ‘bersatu’, demokrasi liberal justru memperalat demokrasi untuk
mencapai tujuan-tujuan liberalisme. Hal ini ditegaskan oleh F.A. Hayek, salah
satu pemikir liberal terkemuka, bahwa “democracy
is essentially a means, a utilitarian device for safeguarding internal peace
and individual freedom.”[13] Demokrasi sekadar menjadi penjaga untuk
melindungi institusi dan ‘kepentingan’ liberal; dipakai jika berguna dan
dibuang jika membahayakan institusi liberal.
Hayek khawatir bahwa pemerintahan demokratik dapat jatuh
pada tirani mayoritas dan kediktatoran, yang mengancam kebebasan individu.
Sehingga, terjadi apa yang oleh Fareed Zakaria sebut demokrasi yang tak
liberal. Kekhawatiran Hayek tersebut justru mempersempit makna demokrasi
menjadi sebatas elektoral, people’s votes,
dan konsensus mayoritas serta mengabaikan people’s
voice. Padahal demokrasi –sebagaimana dinyatakan Chantal Mouffe—memiliki
nilai inheren berupa kedaulatan rakyat, prinsip kesetaraan dan kebebasan yang
akan selalu dipertahankan melalui mekanisme demokratik itu sendiri.
Alasan kedua mengapa
‘penyatuan’ demokrasi dan liberal bermasalah adalah kesetaraan antar rakyat
pada demokrasi liberal semata-mata diartikan sebagai kesetaraan politik, bukan kesetaraan
ekonomi. Kesetaraan politik dan konsepsi kebebasan individual yang dimajukan
oleh demokrasi liberal tersebut justru mentoleransi dan melahirkan
ketidaksetaraan tatanan sosial berupa kesenjangan sosial dan akumulasi kekayaan
pada segelintir orang serta mengabaikan relasi eksploitasi dan opresi yang
terjadi pada dunia modern.[14]
Dalam konteks ini, liberalisme sebagai ideologi politik menjadi lahan di mana
kapitalisme tumbuh subur; pembelaan terhadap pasar bebas berada dalam satu
garis dengan pembelaan terhadap hak dan kebebasan individu. Setiap individu
setara, bebas dan berkompetisi dalam kontestasi.
Relasi eksploitasi dan opresi yang membentuk dunia modern
diabaikan; bahwa kesenjangan dan ketidaksetaraan ada karena tatanan sosial yang
telah timpang, bukan karena tiadanya kerja keras untuk turut serta
berkontestasi. Sehingga yang terjadi adalah akumulasi kekayaan oleh segelintir
orang menjadi sah atas nama prinsip kesetaraan, kebebasan dan kepemilikan
individu (possessive individualism).
Kesetaraan politik yang tidak disertai dengan kesetaraan ekonomi berakibat pada
terjadinya struktur sosial-ekonomi yang timpang; gap kekayaan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Keadaan
yang demikian dapat melahirkan dominasi oligarki –baik oligarki politik maupun
oligarki ekonomi atau persekongkolan keduanya— dalam demokrasi, sehingga the will of the people ‘dibajak’ oleh the will of the most powerful.
Alasan ketiga mengapa
demokrasi liberal bermasalah, dan oleh karenanya harus dilampaui, adalah
perihal ajarannya tentang konsesus[15]
sebagai ‘tameng’ sekaligus wujud pluralisme dalam demokrasi. Alih-alih menjaga
pluralisme, demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe justru anti-pluralisme
karena menegasikan keniscayaan konflik antar pelbagai elemen yang beragam dan
mengeksklusi yang irasional demi tuntutan konsensus. Padahal, yang irasional
–katakanlah yang emosional, afeksi—merupakan hal niscaya ada dalam kenyataan
demokrasi. Bagi Mouffe, keterlibatan emosional dalam demokrasi untuk menuntut
keadilan bukan suatu masalah.[16]
Seharusnya, ruang demokrasi menjadi arena konfliktual sekaligus kontestasi
antar pelbagai elemen yang hendak menyuarakan kepentingan, bukan malah
meminggirkan ‘yang lain’.
Konflik yang Menubuh dalam Demokrasi
Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konflik; ia menubuh
dalam demokrasi. Kondisi pasca-demokrasi telah turut andil melepaskan konflik
dari demokrasi melalui ajaran politik konsensusnya. Menurut Chantal Mouffe,
kondisi paska-demokrasi ditandai dengan fenomena pasca-politik, yakni kaburnya
batas politik (political frontier)
antara kanan dan kiri akibat rezim konsensus sehingga yang dianggap sah dan
baik dalam demokrasi adalah sikap moderat.[17]
Hal ini tercermin dari terjadinya eufimisme ideologi menjadi kiri-moderat dan
kanan-moderat sebagai politik ‘jalan ketiga’ atau ‘jalan tengah’ di banyak
negara sehingga meniadakan alternatif (konter-hegemonik) atas tatanan hegemonik
saat ini, yakni demokrasi liberal. Konsekuensi dari kaburnya batas politik
tersebut adalah tersingkirnya konflik[18]
dari tubuh demokrasi, padahal konflik menjadi ‘ruh’ yang menggerakkan
demokrasi.
Selain mengaburkan batas politik dalam demokrasi, politik
konsensus bersifat anti-pluralistik lewat upaya penyeragaman. Pluralitas dalam
realitas sosial-politik diseragamkan melalui jalan kesepakatan dengan kredo
tentang persatuan-kesatuan dan harmoni. Keragaman identitas, misalnya, hanya
dipahami dalam konteks harmoni dan toleransi, bukan pada relasi konfliktual
antar identitas, sehingga tidak dapat merengkuh relasi kuasa dan relasi
subordinasi di tengah masyarakat serta terjebak pada urusan moral; baik dan
buruk bagi demokrasi (liberal). Pluralitas dalam demokrasi hanya bisa dipahami
dalam relasi konfliktual yang tanpanya politik demokrasi yang pluralis tidak
mungkin terjadi.[19]
Melalui demokrasi radikal, Mouffe hendak menghidupkan kembali batas politik
yang secara otomatis mengafirmasi keniscayaan konflik dalam demokrasi dan
menyatakan keberadaan alternatif atas demokrasi liberal serta menyelamatkan
pluralisme dari rengkuhan moral persatuan-kesatuan dan harmoni.
Demokrasi radikal berangkat dari ‘yang-politis’ (the political)[20]
sebagai ontologi politik. Mouffe membedakan antara ‘yang-politis’ dengan
‘politik’ (politics). ‘Yang-politis’
dimaksudkan sebagai dimensi antagonisme (konfliktual) yang bersifat konstitutif
terhadap koeksistensi manusia, termasuk relasi sosial, sedangkan ‘politik’
merujuk pada rangkaian praktik, diskursus dan institusi yang memproduksi
kebijakan dan mengorganisasi masyarakat yang selalu berada dalam konteks
dimensi konfliktual sebagai konsekuensi logis dari pengaruh dimensi
ontologisnya, ‘yang-politis’.[21] Jelasnya,
‘yang-politis’ merupakan ruang kekuasaan, konflik dan antagonisme yang
mempengaruhi politik empirik. Pada ‘yang-politis’ sebagai ruang kekuasaaan,
konflik dan antagonisme tersebut, demokrasi akan terus menciptakan disensus
(ketidaksepakatan) dan menyangkal konsensus; bahwa disensus dalam demokrasi
adalah sebuah keniscayaan dan konsensus adalah hal yang mustahil.
Selain karena dimensi konflik dan antagonisme pada tataran ‘yang-politik’,
kemustahilan konsensus dalam demokrasi dilandaskan pada tindakan eksklusi;
bahwa tidak ada kondisi di mana semua orang bersepakat secara total tanpa mengeliminasi
atau mengeksklusi yang-lain yang berbeda.[22]
Hal ini ditegaskan oleh Mouffe bahwa tidak ada konsensus dalam demokrasi, yang
ada hanyalah praktik hegemonik yang bersifat rentan dan terbuka untuk dilawan
melalui praktik kontra-hegemonik.[23]
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan ‘kesepakatan-kesepakatan’ atau keputusan
mayoritas di parlemen dan pemilihan umum yang merupakan hasil voting; bukankah hal tersebut merupakan
wujud dari konsensus dalam sistem demokrasi representatif. Mouffe, dengan
mengutip pernyataan Elias Canetti, menyatakan secara tegas bahwa kemenangan
dalam pemilihan umum atau voting di
parlemen bukanlah konsensus –tanda setuju kepada keputusan mayoritas— melainkan
semata-mata pengakuan oposisi atas kekalahannya sehingga oposisi senantiasa melakukan
praktik kontra-hegemonik melalui diskursus untuk melawan existing hegemonik.[24]
Demokrasi radikal menjadi arena konflik dan kontestasi antar
pelbagai kepentingan dan ideologi untuk memperebutkan hegemoni di ruang publik.
Konflik dan kontestasi tersebut dipahami dalam konteks yang positif; yakni
meradikalkan demokrasi, bukan saling meniadakan, membungkam dan memberangus
satu sama lain. Persoalannya adalah: bagaimana jika praktek konflik dan
kontestasi tersebut menyisakan luka di tengah masyarakat seperti provokasi
fisik, kekerasan, bahkan peperangan. Pada konteks ini perlu membedakan antara
relasi antagonisme dan agonisme serta melakukan transformasi dari relasi
antagonisme ke relasi agonisme.
Relasi antagonisme sebagai dimensi konfliktual dalam konteks
‘yang-politis’ menimbulkan relasi antara kita sebagai teman dan mereka sebagai
musuh (antagonistic friend/enemy relation)
dalam politik demokrasi.[25]
Relasi ini terbuka lebar akan implikasi ketidaksepakatan (disensus) berupa
provokasi fisik, kekerasan bahkan peniadaan eksistensi yang-lain yang berbeda
(misalnya, pembubaran dan pelarangan suatu ideologi atau golongan) sebagai
konsekuensi dari dikotomi antara teman dan musuh yang tidak saling berbagi
ruang demokrasi. Dalam konteks ini, musuh (enemy)
dimaknai sebagai entitas yang harus dihancurkan dan ditiadakan baik
ideologi maupun eksistensinya di ruang publik demokrasi. Relasi antagonistik
antara teman dan musuh inilah yang harus diatasi supaya konflik dan disensus
tidak bersifat merusak, destruktif.
Adalah tugas demokrasi radikal yang mampu melakukan
transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme; dari relasi antara
kita sebagai teman dan mereka sebagai musuh ke relasi adversarial yang
menganggap mereka sebagai ‘lawan’ (adversary),
agonistic friend/adversary relation.
Relasi agonisme tidak berpretensi menghapuskan dimensi konflik pada satu sisi
dan tidak terjebak pada negosiasi atau kompromi (konsensus) melalui deliberasi
pada sisi lain. Dengan kata lain, relasi agonisme membuat konflik tidak merusak
asosiasi politik dalam demokrasi. Mouffe menggunakan kata adversary untuk merujuk pada oposisi yang memiliki kesamaan posisi dalam
demokrasi tetapi ideologi, kepentingan dan gagasannya yang berbeda yang harus ditolak.
Pembedaan antara kategori musuh dan adversary
tersebut mendasarkan diri pada konsep
identitas yang relasional; bahwa identitas ke-“kita”-an senantiasa bersifat
korelasi dengan identitas ke-“mereka”-an.
Identitas yang Relasional
Konsep identitas yang relasional berarti menolak finalitas
dan totalitas identitas sekaligus menganulir esensialisme dalam identitas yang
mensimplifikasi dan mengkotak-kotakkan secara permanen ke dalam konsep-konsep
seperti “individual”, “class”, dan “society”.[26]
Mouffe memang secara tegas menolak esensialisme sebagai bagian dari proyek
pemikirannya yang dikenal dengan istilah post-marxisme. Secara garis besar,
post-marxisme berarti upaya merevisi dan memperbaharui ide-ide marxisme klasik
yang telah mengalami keterpurukan atau kekalahan politik pada satu sisi dan
kemunculan bentuk baru gerakan perjuangan pada sisi lain. Hélène Samanci
mencatat terdapat tiga kondisi kemunculan post-marxisme, yaitu: pertama, kemunculan bentuk baru perjuangan
yang tidak sesuai dengan perjuangan kelas seperti kelompok minoritas, gerakan
lingkungan, feminisme, dan lain-lain; kedua,
subjek politik tidak sekadar didefinisikan berdasarkan afilisasi kelas,
sehingga proletariat tidak lagi satu-satunya subjek historik yang melakukan
emansipasi karena ketertindasannya; dan
ketiga, fragmentasi politik identitas
atau keberagaman identitas menjadi prinsip analisis sosial.[27]
Pada konteks post-marxisme tersebut, kelas sebagai identitas
dalam marxisme klasik kehilangan keistimewaan ontologisnya dan identitas
semata-mata dimaknai sebagai sesuatu yang relasional, contingent dan negotiable.
Konsekuensinya, tidak ada hirarki identitas sebagaimana dalam marxisme klasik
melalui ajaran determinisme ekonomi atas suprastruktur. Identitas, apapun wujud
dan artikulasinya, memiliki posisi yang setara, bahkan individu bisa memiliki
lebih dari satu afiliasi identitas. Daniel Hutagalung mencontohkan perihal
pekerja kerah putih di Indonesia yang ketika di tempat kerja berposisi sebagai
kelas pekerja, namun ketika di rumah berposisi sebagai pemilik modal karena
memiliki pembantu rumah tangga.[28]
Selain memiliki konsekuensi pada kesetaraan antar pelbagai identitas, identitas
yang relasional juga berimplikasi pada temporalitas identitas; pada suatu waktu
individu digolongkan sebagai kelas pekerja, namun di waktu yang lain menjadi
golongan pemilik modal, pada suatu waktu menjadi pengusaha, namun di waktu yang
lain menjadi oposisi.
Mouffe mendasarkan konsep identitas yang relasional pada
konsep constitutive outside yang
diambil dari pemikiran Jacques Derrida. Konsep constitutive outside menegaskan bahwa perbedaan sebagai prasyarat
bagi setiap keberadaan identitas –selalu butuh ‘yang-lain’ (the other) yang bersifat eksterior atas identitas.[29]
Identitas bersifat relasional di atas fondasi perbedaan; bahwa, misalnya,
identitas ‘kita’ selalu dibentuk sekaligus membentuk identitas ‘mereka’;
terdapat kesalingmembentukkan antar pelbagai identitas yang berbeda sehingga
membuat finalitas dan totalitas menjadi mustahil. Pada identitas yang relasional,
penyegaraman identitas melalui peniadaan ‘mereka’ sebagai ‘yang-lain’ yang
berbeda berarti peniadaan terhadap ‘kita’ juga karena, meminjam istilah
Emmanuel Levinas, terdapat wajah ‘kita’ dalam wajah ‘yang-lain’ dan sebaliknya.
Politik adversarial --dikotomi antara teman dan lawan,
begitu pula batas politik antara kiri dan kanan-- sebagai wujud dari relasi
agonisme dalam demokrasi radikal melandaskan diri pada identitas yang
relasional tersebut. Sehingga, politik demokrasi tidak merusak asosiasi politik
pada satu sisi dan terjebak pada kompromi atau konsensus pada sisi lain.
Demokrasi Radikal dan Emansipasi
Proyek pemikiran Mouffe perihal demokrasi radikal merupakan
upaya membangkitkan kembali politik Kiri. Oleh karenanya, demokrasi radikal senantiasa
menyiratkan misi emansipasi dan dimensi sosialisme dalam menegakkan perjuangan
demokratik. Usaha bersama (aspirasi, tujuan dan cita-cita) untuk emansipasi
merupakan hal pokok dalam demokrasi radikal, dan post-marxisme secara umum. Hal
ini secara tegas disampaikan oleh Mouffe dalam buku yang ditulis bersama
Ernesto Laclau Hegemony and Socialist
Startegy: Toward a Radical Democratic Politic, bahwa: “Setiap proyek untuk
demokrasi radikal menyiratkan dimensi sosialis, karena itu perlu mengakhiri
relasi produksi kapitalis, yang merupakan akar dari banyaknya relasi
subordinasi. […]”[30]
Misi emansipasi dan dimensi sosialisme yang menubuh dalam
demokrasi radikal tidak hanya dipahami sebagai semata perjuangan kelas,
melainkan juga perjuangan demokratik yang mengafirmasi kemunculan bentuk baru
perjuangan seperti feminisme, kelompok minoritas dan gerakan lingkungan serta
lain sebagainya. Mouffe sadar bahwa revolusi sosialis yang berhasil yang
dihasilkan melalui perjuangan kelas semata dalam melawan kapitalisme tidak
lantas meniadakan bentuk opresi dan subordinasi seperti seksisme, homophobia,
xenophobia, rasisme dan lain-lain, meskipun bentuk relasi opresi dan
subordinasi tersebut merupakan konsekuensi yang bersifat kompleks dari
eksploitasi kapitalisme.[31] Demokrasi
radikal menjadi lokus di mana relasi opresi dan subordinasi disingkap dan
diartikulasikan dalam diskursus ruang publik sehingga menjadi hegemonik. Pada
multiplisitas identitas yang tersubordinasi tersebut, rantai kesamaan (chain of equivalence) bisa terbentuk.
Rantai kesamaan bisa dipahami dalam arti ‘kesamaan nasib’ sebagai
yang-tersubordinasi dan yang-teropresi akibat baik rezim kekuasaan maupun
kapitalisme. Kesamaan tersebut bersifat temporer karena merupakan universalitas
(titik temu) dari keberagaman tuntutan atau keluhan (partikularitas), sehingga
kesamaan tidak memiliki tendensi untuk menyeragamkan tetapi tetap
mempertahankan keberagaman tuntutan, keluhan maupun isu. Melalui rantai
kesamaan, blok hegemonik rakyat dapat terbentuk sebagai konter atas tatanan
hegemonik yakni, dalam term Mouffe, rezim opresif, neoliberalisme dan
kapitalisme. Dengan demokrasi radikal, Mouffe (juga Laclau) memimpikan
revitalisasi perjuangan sosialis melawan kapitalisme pada satu sisi dan
memajukan perjuangan gerakan sosial baru yang demokratik seperti
anti-otoritarianisme, anti-rasisme, feminisme, gerakan ekologis, kelompok
minoritas dan lain sebagainya.
Penutup
Apa yang dilakukan Mouffe melalui demokrasi radikal
merupakan ikhtiar melampaui paradoks demokrasi liberal yang: pertama, terjerumus pada kutukan moral
--baik dan buruk bagi demokrasi liberal-- ketika merespon persoalan illiberal,
intoleransi, sentimen agama dan rasial, serta xenophobia, kedua, demokrasi liberal berangkat dari kesetaraan (politik) tetapi
menimbulkan ketidaksetaraan (ekonomi), dan ketiga
ajaran tentang konsensus dalam demokrasi liberal bersifat penyeragaman dan
anti-pluralisme karena politik dimaknai semata-mata rasional.
Demokrasi radikal Mouffe berusaha melampaui paradoks
tersebut dengan mendasarkan pada prinsip kedaulatan dan kesetaraan dalam
demokrasi, konflik yang menubuh dalam demokrasi sehingga disensus adalah sebuah
keniscayaan dan relasi agonisme atau adversarial yang membuat konflik tidak
bersifat destruktif. Pada demokrasi radikal sebagai lokus tersebut, antar
pelbagai golongan, identitas dan kepentingan saling berkontestasi demi merebut
posisi hegemonik dalam diskursus politik.
Selain itu, demokrasi radikal selalu mensyiratkan misi
emansipasi dan dimensi sosialisme, namun tidak terjebak pada semata-mata
perjuangan kelas dalam merebut posisi hegemonik di ruang publik demokrasi.
Mouffe (dan juga Laclau), dengan demokrasi radikal, menginginkan perjuangan
kelas yang sekaligus beriringan dengan perjuangan demokratik.
Artikel ini dimuat di Jurnal Mahasiswa Filsafat Cogito Vol. 5 No. 2 2019. Dipublikasikan di blog ini sebagai upaya mengarsipkan bacaan.
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. “Akhir
Sejarah” dalam Amerika dan Dunia. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005.
Hayek, F.A. The Road to Serfdom. London: Rotledge,
2006 [cet. ke-6].
Hutagalung, Daniel.
“Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural: Membaca Laclau dan Mouffe” dalam Kata Pengantar untuk buku Ernesto Laclau dan
Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial
Baru. Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Laclau, Ernesto dan Chantal
Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy:
Towards a Radical Democratic Politic. London: Verso, 2001 [edisi ke-2].
Laksmana, Evan A. Is using the term ‘illiberal turn’
beneficial for Indonesia’s democracy? The Conversation, 29 November 2017.
Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso,
2000.
________, Chantal. Agonistics: Thinking The Word Politically.
London: Verso, 2013.
________, Chantal. Demonising Populism Won’t Work: Europe Needs
A Progressive Populist Alternative. HuffingtonPost, 18 September 2018.
________, Chantal. On the Political. New York: Roudledge,
2005.
________, Chantal. Populists are on the rise but this can be a
moment for progressives too. The Guardian, 10 September 2018.
Samanci, Hélène. The Political Ontology of Post-Marxism.
London: Queen Mary, University of London, 2012.
Sim, Stuart. Post-Marxism: An Intellectual History. London:
Routledge, 2000.
Sunaryo. “Kritik Chantal
Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi
Agonistik” dalam Jurnal Ultima Humaniora,
Volume 1, Nomor 1, Maret 2013.
Tajuk Rencana Kompas. Kurz dan Menguatnya Populisme. Tajuk Rencana
Kompas, 19 Oktober 2017.
Tajuk Rencana Kompas. Wajah Eropa Baru. Tajuk Rencana Kompas,
19 Desember 2017.
Wawancara Gie Goris dengan
Chantal Mouffe berujudul Democracy in
need of emotion and confrontation di MO* Magazine tertanggal 4 November
2013.
Wolff, Jonathan. Pengantar Filsafat Politik [terjemahan
M. Nur Prabowo Setyabudi]. Bandung: Nusamedia, 2013.
Zaenuri, Melfin. Konsep Populisme dalam Pemikiran
Post-Marxisme Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Yogyakarta: Skripsi
Fakultas Filsafat UGM, 2019.
Zakaria, Fareed.
“Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal” dalam Amerika dan Dunia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2005.
[1] Lih. Tajuk Rencana Kompas, Kurz
dan Menguatnya Populisme, (Tajuk Rencana Kompas, 19 Oktober 2017) dan Tajuk
Rencana Kompas, Wajah Eropa Baru
(Tajuk Rencana Kompas, 19 Desember 2017).
[2] Lih. Evan A. Laksmana, Is
using the term ‘illiberal turn’ beneficial for Indonesia’s democracy?, (The
Conversation, 29 November 2017) diakses melalui laman https://theconversation.com/is-using-the-term-illiberal-turn-beneficial-for-indonesias-democracy-87107.
[3] Lih. Jonathan Wolff, Pengantar
Filsafat Politik, terjemahan M. Nur Prabowo Setyabudi (Bandung: Nusamedia,
2013) hal. 125.
[4] Lih. Fareed Zakaria, “Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal” dalam Amerika dan Dunia, (Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2005) hal. 165-192.
[5] Sebagian kalangan menggunakan istilah ‘Zero Tolerance’ dan menerapkannya untuk intoleransi.
[6] Ada yang menyebut demokrasi plural-radikal. Ada pula yang
menggunakan istilah demokrasi agonistik.
[7] Lih. Chantal Mouffe, The
Democratic Paradox, (London: Verso, 2000) hal. 3 dan 18.
[8] Lih. Ibid., hal. 1-2.
[9] Lih. Ibid.
[10] Lih. Francis Fukuyama, “Akhir Sejarah” dalam Amerika dan Dunia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2005) hal. 1-34.
[11] Lih. Stuart Sim, Post-Marxism:
An Intellectual History, (London: Routledge, 2000) hal. 1-3.
[12] Lih. Anna Marie Smith, Laclau
And Mouffe: the Radical Democratic Imaginary, (London: Routledge, 1998)
hal. 12.
[13] Lih. F.A. Hayek, The Road to
Serfdom, (London: Rotledge, 2006 [cet. ke-6]) hal. 73.
[14] Lih. Anna Marie Smith, Op.Cit.,
hal. 11.
[15] John Rawls menggunakan istilah ‘overlapping
consensus’ yang dapat diartikan sebagai konsensus silang, yakni berupa
kesepakatan di tengah beragam sekaligus berbedanya doktrin dan pemikiran dalam
demokrasi. Overlapping consensus dicapai
melalui mekanisme netralisasi pelbagai doktrin dan pemikiran dalam ruang publik
serta rasionalitas dan kewarasan (reasonable)
sebagai patokan konsensus. Lih. Sunaryo, “Kritik Chantal Mouffe atas
Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik” dalam Jurnal Ultima Humaniora, Volume 1, Nomor 1,
Maret 2013, hal 84-95.
[16] Dalam sebuah wawancara dengan MO*
Magazine, Mouffe mengutip Spinoza untuk menjelaskan emosi, bahwa ada dua
jenis emosi: rasa takut (fear) dan
harapan (hope). Kedua-duanya ada
dalam demokrasi. Partai sayap kanan memanfaatkan ‘ketakutan’ untuk meraih
simpati publik, sedangkan partai sayap kiri memobilisasi massa dengan
janji-janji dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Berikut kutipan
lengkapnya: “According to Spinoza, there
are two main emotions: fear and hope. Right parties nearly always use fear to
mobilize voters. I think that left parties gain voters on the basis of hope,
sound projects for the future, alternatives to the establishment.” Diakses
melalui https://www.mo.be/en/article/democracy-need-emotion-and-confrontation
pada tanggal 19 Agustus 2018.
[17] Lih. Chantal Mouffe, Populists
are on the rise but this can be a moment for progressives too, (The
Guardian, 10 September 2018); Chantal Mouffe, Demonising Populism Won’t Work: Europe Needs A Progressive Populist
Alternative, (HuffingtonPost, 18 September 2018). Kedua artikel tersebut
bisa diakses di https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/sep/10/populists-rise-progressives-radical-right
dan https://www.huffingtonpost.co.uk/entry/populism-progressive-europe_uk_5ba0b5b7e4b013b0977ebc65).
Saya telah menerjemahkan dua artikel tersebut ke dalam bahasa Indonesia untuk
website lsfcogito.org.
[18] Chantal Mouffe menyebut konflik dengan istilah antagonisme dan
agonisme. Dua istilah ini berbeda dan akan dipaparkan perbedaannya pada bagian
berikutnya.
[19] Lih. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politic,
(London: Verso, 2001 [edisi ke-2]), hal. xvii.
[20] Saya menerjemahkan the
political sebagai ‘yang-politis’. Selanjutnya, ‘yang-politis’ akan
digunakan secara konsisten dalam tulisan ini untuk merujuk pada the political.
[21] Lih. Chantal Mouffe, On the
Political, (New York: Roudledge, 2005), hal. 8-9; Chantal Mouffe, Agonistics: Thinking The Word Politically, (London:
Verso, 2013), hal. 2-3.
[22] Lih. Melfin Zaenuri, Konsep
Populisme dalam Pemikiran Post-Marxisme Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, (Yogyakarta:
Skripsi Fakultas Filsafat UGM, 2019), hlm. 75.
[23] Lih. Chantal Mouffe, On the
Political, Op.Cit., hal. 18.
[24] Lih. Ibid., hal. 23.
[25] Lih. Ibid., hal. 20.
[26] Lih. Daniel Hutagalung, “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural:
Membaca Laclau dan Mouffe” dalam Kata Pengantar untuk buku Ernesto Laclau dan
Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi
Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru, (Yogyakarta: Resist Book,
2008).
[27] Lih. Hélène Samanci, The
Political Ontology of Post-Marxism, (London: Queen Mary, University of
London, 2012), hal. 9.
[28] Lih. Daniel Hutagalung., Op.Cit.
[29] Lih. Chantal Mouffe, Agonistics:
Thingking The World Politically, (New York: Verso, 2013), hal. 5.
[30] Lih. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Op.Cit., hal. 178.
[31] Lih. Anna Marie Smith, Op.Cit.,
hal. 25-26.
Comments
Post a Comment