Demokrasi Radikal Chantal Mouffe: Ikhtiar Melampaui Paradoks Demokrasi Liberal

Halaman awal artikel saya di Jurnal Mahasiswa
Filsafat Cogito Vol. 5 No. 2 2019
Intisari

Artikel ini bertujuan untuk mengetengahkan pemikiran Chantal Mouffe tentang demokrasi radikal sebagai respon atas paradoks demokrasi liberal. Menurut Mouffe, demokrasi radikal terjebak ke dalam kutukan moral ketika memandang menguatnya fenomena illiberal, intoleransi, xenophobia, sentimen agama dan rasial di pelbagai belahan dunia. Demokrasi liberal menjadi lahan subur terciptanya ketidaksetaraan ekonomi dan mengeksklusi yang irrasional dalam demokrasi dengan dalih politik konsensus. Demokrasi radikal merupakan upaya mengatasi dan melampaui paradoks demokrasi dengan menjadikan demokrasi sebagai arena konflik antar pelbagai kepentingan, ideologi dan identitas yang saling berkontestasi dan mengkonstruksi satu sama lain untuk merebut posisi hegemonik dalam ruang publik. Selain itu, demokrasi radikal mengemban misi sosialisme dan emansipasi sebagai wujud perjuangan demokratik melawan relasi opresi dan subordinasi.
Kata kunci: Chantal Mouffe, Demokrasi Radikal, Demokrasi Liberal

Pendahuluan

Politik global, akhir-akhir ini, diwarnai dengan fenomena illiberal yang dinilai mengancam sekaligus menodai nilai-nilai demokrasi. Fenomena illiberal merujuk pada xenofobia, sentimen rasial, sentimen keagamaan dan tindakan intoleransi terhadap perbedaan. Kemenangan Trump di Amerika Serikat yang memanfaatkan isu anti-imigran dan islamofobia adalah salah satu contohnya; sebuah pukulan telak bagi demokrasi.

Contoh yang lain adalah bangkitnya partai ektrem kanan di Eropa yang mengkampanyekan semangat anti-imigran, islamophobia dan anti-Uni Eropa. Kebangkitan tersebut ditandai dengan menguatnya posisi politik partai ektrem kanan dalam politik Eropa seperti yang tersurat pada hasil pemilihan umum:[1]  partai ekstrem kanan pimpinan Geert Wilders menempati urutan kedua pada pemilu Belanda; di Perancis, tokoh ekstrem kanan Marine Le Pen masuk ke babak akhir pemilihan presiden meskipun akhirnya kalah; di Jerman, partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) masuk ke parlemen nasional sebagai partai politik terbesar ketiga dan meraih 90 kursi; dan di Austria, partai ekstrem kanan, Partai Kebebasan, bersaing ketat di posisi kedua dengan Partai Sosialis Demokratik (SPO) pada pemilu legislatif dan Partai Rakyat (OVP) yang merupakan partai tengah pimpinan Sebastian Kurz unggul di urutan pertama yang selama masa kampanye semangat yang digunakan ”sangat kanan” terkait pelarangan imigran.

Di Indonesia, fenomena illiberal dalam demokrasi merujuk pada menjamurnya fundamentalisme dan konservatisme keagamaan, misalnya Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid sebagai respon atas dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Pada waktu itu, Ahok merupakan calon gubernur petahana dalam Pilkada DKI Jakarta 2014 yang memiliki minoritas ganda; beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Hari-hari Pilkada DKI Jakarta 2014 diwarnai dengan sentimen rasial, keagamaan dan retorika xenofobia; misalnya, pemimpin kafir yang tidak boleh memimpin, ketakutan akan kuasa asing, bahkan ada kejadian di mana suatu masjid tidak mensolatkan jenazah pendukung penista agama (Ahok).  Dalam konteks ini, tindakan illiberal dalam demokrasi dimaknai sebagai a damaged rule of law that cannot protect the equal freedom of all individuals, karena demokrasi memiliki dua hal yang berbeda, yakni  elektoral (pemilihan yang bebas dan adil) dan liberal (aturan hukum dan perlindungan kebebasan) dan keduanya haruslah terpenuhi.[2] Demokrasi diartikan satu tarikan nafas dengan liberalisme; demokrasi liberal.

Selain itu, keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menjadi paradoks dalam demokrasi; pada satu sisi HTI tumbuh dan berkembang karena sistem demokrasi, tetapi pada sisi lain menyatakan kontra demokrasi dan hendak menggantikannya dengan sistem khilafah –negara agama, teokrasi atau negara berbasis syariat Islam. Demokrasi memberi ruang kepada kekuatan-kekuatan yang hendak membunuh dirinya sendiri. Atas nama kesetaraan (equality), kebebasan berorganisasi, berpendapat dan berekspresi yang inheren dalam demokrasi[3], organisasi semacam HTI melafalkan gagasan hendak membunuh demokrasi dengan kerap kali bersikap undemocratic dan illiberal. Oleh karena gagasan ideologinya, khilafahnya, alih-alih bertindak demokratis, pemerintah Indonesia bersikap ultra-nasionalis, undemocratic dan illiberal dengan membubarkan HTI melalui penerbitan Perppu Ormas yang kini telah menjadi Undang-Undang Ormas. Dalih yang disampaikan oleh pemerintah adalah demi menjaga keberagaman, meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan keutuhan NKRI.

Fenomena-fenomena tersebut  merupakan gambaran –dalam istilahnya Fareed Zakaria-- ‘demokrasi yang tak liberal’, yaitu demokrasi sekadar menjalankan pemilu (voting), namun setelah pemilu, kepemimpinan dijalankan dengan sifat illiberal.[4] Padahal yang terjadi bukanlah ‘demokrasi yang tak liberal’, melainkan paradoks demokrasi liberal itu sendiri: bagaimana demokrasi menjawab persoalan intoleransi, illiberal dan undemocratic; haruskah bersikap toleran terhadap intoleransi mengingat intoleran[5] terhadap intoleransi merupakan bentuk lain dari intoleransi dan begitu pula pada illiberal dan undemocratic.

Menjawab sekaligus melampaui paradoks demokrasi tersebut, Chantal Mouffe –seorang teoritikus politik cum filsuf politik kontemporer— memajukan konsep demokrasi radikal;[6] sebuah upaya radikalisasi demokrasi dengan meniscayakan keberadaan konflik dan kontestasi terus menerus serta disensus dalam rangka memperdebatkan ideologi dan gagasan untuk merebut wacana (discourse). Dalam artian, demokrasi radikal menjadi ranah kontestasi hegemonik.  

Dalam alam demokrasi radikal, segala bentuk gagasan dan ideologi berkontestasi satu sama lain dengan menggunakan artikulasi politik khas masing-masing; gagasan senantiasa diproduksi secara terus menerus. Partisipasi menjadi salah satu hal utama dalam demokrasi radikal. Dengan kata lain, demokrasi radikal menghendaki ‘kebisingan’ dan ‘keriuhan’ demi menyingkap selubung stabilitas –ada sesuatu yang ter(di)sembunyi(kan) dalam stabilitas—untuk terwujudnya politik emansipatoris.

Demokrasi dan Liberalisme

Banyak orang menganggap bahwa melafalkan demokrasi berbanding lurus dengan mengucapkan liberalisme. Demokrasi dan liberalisme dipandang sebagai satu kesatuan. Padahal keduanya memiliki masa lalu, proses dan asumsi-asumsi dasar yang jauh dari frasa ‘satu kesatuan’. Hal ini ditegaskan oleh Chantal Mouffe bahwa: “pada satu sisi tradisi demokrasi memiliki nilai-nilai berupa kesetaraan, identitas antara yang memerintah dan diperintah, dan kedaulatan rakyat; namun pada sisi lain, tradisi liberal membawa nilai-nilai dan bersifat konstitutif terhadap peraturan hukum, pembelaan hak-hak asasi manusia dan penghormatan kebebasan individual.”[7]

Baik demokrasi dan liberalisme memiliki nilai-nilai inheren dalam dirinya sendiri yang akan selalu dipertahankan. Perbedaan keduanya membawa implikasi teoritik bahwa esensi demokrasi adalah rakyat yang berkuasa dan berdaulat dengan kesetaraan dan kebebasan sebagai prinsip fundamental. Demokrasi menegaskan bahwa kekuasaan (kratos) berada di tangan rakyat (demos) yang merupakan konsekuensi –oleh apa yang Mouffe sebut sebagai—revolusi demokratik, yakni kekuasaan tidak lagi menubuh pada diri raja atau ratu, pertalian darah dan otoritas transedental, melainkan milik semua orang (rakyat).[8]

Dalam demokrasi, konsep rakyat (the people) menjadi konsep sentral; apa dan siapa itu rakyat menjadi diskursus dalam ruang publik. Sebagian menerjemahkan rakyat sebagai citizenship dengan mengandaikan kebebasan dan kesetaraan antar warga negara. Sebagian lain mengartikan rakyat sebagai the oppressed people, orang-orang yang termarjinalkan dan tertindas dalam stuktur sosial-politik yang dinilai memang timpang. Konstruksi tentang konsep rakyat menjadi a contested concept dalam diskursus di ruang publik demokrasi.  Oleh karena itu, pengabaian terhadap kehendak rakyat adalah persoalan serius dalam demokrasi yang jika dibiarkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada institusi-institusi demokrasi.

Berbeda dengan demokrasi, liberalisme memberi titik tekan pada tegaknya hukum, penghormatan hak-hak asasi manusia dan perlindungan kebebasan dan kepemilikan pribadi. Perbedaan tersebut kemudian disatu-padukan ke dalam konsep ‘demokrasi liberal’ dan diartikulasikan –meminjam istilahnya C.B. MacPherson—menjadi: liberalisme menjadi terdemokratiskan (liberalism was democratized) dan demokrasi terliberalkan (democracy liberalized).[9]

Penyatuan tersebut mengandaikan sekaligus menganggap demokrasi adalah satu tarikan nafas dengan liberalisme; demokrasi adalah demokrasi liberal itu sendiri, padahal semestinya tidak demikian. Anggapan tersebut menemukan kelumrahannya hari ini karena berpijak pada peristiwa historis, yakni paska runtuhnya tembok Berlin di Jerman dan tercerai-berainya Uni Soviet menjadi beberapa negara bagian, sebagai pertanda kekalahan kelompok Kiri (komunisme dan sosialisme) dan liberalisme dengan demokrasi liberalnya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan Perang Dingin.

Kemenangan liberalisme dalam Perang Dingin, di mata Francis Fukuyama, merupakan akhir sejarah (end of history) yang bukan hanya akhir perang, melainkan akhir sejarah umat manusia.[10] Sebagai pemenang, demokrasi liberal menyebar ke sekaligus menjadi rujukan demokratisasi di pelbagai negara di dunia, terutama negara berkembang. Sebaliknya, tak hanya kalah secara ideologis dan politik, di Barat dan menyebar juga ke pelbagai penjuru dunia, Kiri diasosiasikan dengan otoritarianisme dan totalitarianisme yang tidak memiliki komitmen terhadap keberagaman.[11] Dampaknya berupa dikotomi baik dan buruk: pilihan yang baik melekat pada demokrasi liberal, dan pilihan yang buruk menempel pada sosialisme.[12]

Permasalahannya saat ini adalah penyatuan demokrasi dan liberal tersebut menjadi bermasalah karena, pertama, alih-alih ‘bersatu’, demokrasi liberal justru memperalat demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan liberalisme. Hal ini ditegaskan oleh F.A. Hayek, salah satu pemikir liberal terkemuka, bahwa “democracy is essentially a means, a utilitarian device for safeguarding internal peace and individual freedom.”[13] Demokrasi sekadar menjadi penjaga untuk melindungi institusi dan ‘kepentingan’ liberal; dipakai jika berguna dan dibuang jika membahayakan institusi liberal.

Hayek khawatir bahwa pemerintahan demokratik dapat jatuh pada tirani mayoritas dan kediktatoran, yang mengancam kebebasan individu. Sehingga, terjadi apa yang oleh Fareed Zakaria sebut demokrasi yang tak liberal. Kekhawatiran Hayek tersebut justru mempersempit makna demokrasi menjadi sebatas elektoral, people’s votes, dan konsensus mayoritas serta mengabaikan people’s voice. Padahal demokrasi –sebagaimana dinyatakan Chantal Mouffe—memiliki nilai inheren berupa kedaulatan rakyat, prinsip kesetaraan dan kebebasan yang akan selalu dipertahankan melalui mekanisme demokratik itu sendiri. 

Alasan kedua mengapa ‘penyatuan’ demokrasi dan liberal bermasalah adalah kesetaraan antar rakyat pada demokrasi liberal semata-mata diartikan sebagai kesetaraan politik, bukan kesetaraan ekonomi. Kesetaraan politik dan konsepsi kebebasan individual yang dimajukan oleh demokrasi liberal tersebut justru mentoleransi dan melahirkan ketidaksetaraan tatanan sosial berupa kesenjangan sosial dan akumulasi kekayaan pada segelintir orang serta mengabaikan relasi eksploitasi dan opresi yang terjadi pada dunia modern.[14] Dalam konteks ini, liberalisme sebagai ideologi politik menjadi lahan di mana kapitalisme tumbuh subur; pembelaan terhadap pasar bebas berada dalam satu garis dengan pembelaan terhadap hak dan kebebasan individu. Setiap individu setara, bebas dan berkompetisi dalam kontestasi.

Relasi eksploitasi dan opresi yang membentuk dunia modern diabaikan; bahwa kesenjangan dan ketidaksetaraan ada karena tatanan sosial yang telah timpang, bukan karena tiadanya kerja keras untuk turut serta berkontestasi. Sehingga yang terjadi adalah akumulasi kekayaan oleh segelintir orang menjadi sah atas nama prinsip kesetaraan, kebebasan dan kepemilikan individu (possessive individualism). Kesetaraan politik yang tidak disertai dengan kesetaraan ekonomi berakibat pada terjadinya struktur sosial-ekonomi yang timpang; gap kekayaan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Keadaan yang demikian dapat melahirkan dominasi oligarki –baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi atau persekongkolan keduanya— dalam demokrasi, sehingga the will of the people ‘dibajak’ oleh the will of the most powerful.

Alasan ketiga mengapa demokrasi liberal bermasalah, dan oleh karenanya harus dilampaui, adalah perihal ajarannya tentang konsesus[15] sebagai ‘tameng’ sekaligus wujud pluralisme dalam demokrasi. Alih-alih menjaga pluralisme, demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe justru anti-pluralisme karena menegasikan keniscayaan konflik antar pelbagai elemen yang beragam dan mengeksklusi yang irasional demi tuntutan konsensus. Padahal, yang irasional –katakanlah yang emosional, afeksi—merupakan hal niscaya ada dalam kenyataan demokrasi. Bagi Mouffe, keterlibatan emosional dalam demokrasi untuk menuntut keadilan bukan suatu masalah.[16] Seharusnya, ruang demokrasi menjadi arena konfliktual sekaligus kontestasi antar pelbagai elemen yang hendak menyuarakan kepentingan, bukan malah meminggirkan ‘yang lain’.

Konflik yang Menubuh dalam Demokrasi

Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konflik; ia menubuh dalam demokrasi. Kondisi pasca-demokrasi telah turut andil melepaskan konflik dari demokrasi melalui ajaran politik konsensusnya. Menurut Chantal Mouffe, kondisi paska-demokrasi ditandai dengan fenomena pasca-politik, yakni kaburnya batas politik (political frontier) antara kanan dan kiri akibat rezim konsensus sehingga yang dianggap sah dan baik dalam demokrasi adalah sikap moderat.[17] Hal ini tercermin dari terjadinya eufimisme ideologi menjadi kiri-moderat dan kanan-moderat sebagai politik ‘jalan ketiga’ atau ‘jalan tengah’ di banyak negara sehingga meniadakan alternatif (konter-hegemonik) atas tatanan hegemonik saat ini, yakni demokrasi liberal. Konsekuensi dari kaburnya batas politik tersebut adalah tersingkirnya konflik[18] dari tubuh demokrasi, padahal konflik menjadi ‘ruh’ yang menggerakkan demokrasi.

Selain mengaburkan batas politik dalam demokrasi, politik konsensus bersifat anti-pluralistik lewat upaya penyeragaman. Pluralitas dalam realitas sosial-politik diseragamkan melalui jalan kesepakatan dengan kredo tentang persatuan-kesatuan dan harmoni. Keragaman identitas, misalnya, hanya dipahami dalam konteks harmoni dan toleransi, bukan pada relasi konfliktual antar identitas, sehingga tidak dapat merengkuh relasi kuasa dan relasi subordinasi di tengah masyarakat serta terjebak pada urusan moral; baik dan buruk bagi demokrasi (liberal). Pluralitas dalam demokrasi hanya bisa dipahami dalam relasi konfliktual yang tanpanya politik demokrasi yang pluralis tidak mungkin terjadi.[19] Melalui demokrasi radikal, Mouffe hendak menghidupkan kembali batas politik yang secara otomatis mengafirmasi keniscayaan konflik dalam demokrasi dan menyatakan keberadaan alternatif atas demokrasi liberal serta menyelamatkan pluralisme dari rengkuhan moral persatuan-kesatuan dan harmoni.

Demokrasi radikal berangkat dari ‘yang-politis’ (the political)[20] sebagai ontologi politik. Mouffe membedakan antara ‘yang-politis’ dengan ‘politik’ (politics). ‘Yang-politis’ dimaksudkan sebagai dimensi antagonisme (konfliktual) yang bersifat konstitutif terhadap koeksistensi manusia, termasuk relasi sosial, sedangkan ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, diskursus dan institusi yang memproduksi kebijakan dan mengorganisasi masyarakat yang selalu berada dalam konteks dimensi konfliktual sebagai konsekuensi logis dari pengaruh dimensi ontologisnya, ‘yang-politis’.[21] Jelasnya, ‘yang-politis’ merupakan ruang kekuasaan, konflik dan antagonisme yang mempengaruhi politik empirik. Pada ‘yang-politis’ sebagai ruang kekuasaaan, konflik dan antagonisme tersebut, demokrasi akan terus menciptakan disensus (ketidaksepakatan) dan menyangkal konsensus; bahwa disensus dalam demokrasi adalah sebuah keniscayaan dan konsensus adalah hal yang mustahil.

Selain karena dimensi konflik dan antagonisme pada tataran ‘yang-politik’, kemustahilan konsensus dalam demokrasi dilandaskan pada tindakan eksklusi; bahwa tidak ada kondisi di mana semua orang bersepakat secara total tanpa mengeliminasi atau mengeksklusi yang-lain yang berbeda.[22] Hal ini ditegaskan oleh Mouffe bahwa tidak ada konsensus dalam demokrasi, yang ada hanyalah praktik hegemonik yang bersifat rentan dan terbuka untuk dilawan melalui praktik kontra-hegemonik.[23] Pertanyaannya adalah bagaimana dengan ‘kesepakatan-kesepakatan’ atau keputusan mayoritas di parlemen dan pemilihan umum yang merupakan hasil voting; bukankah hal tersebut merupakan wujud dari konsensus dalam sistem demokrasi representatif. Mouffe, dengan mengutip pernyataan Elias Canetti, menyatakan secara tegas bahwa kemenangan dalam pemilihan umum atau voting di parlemen bukanlah konsensus –tanda setuju kepada keputusan mayoritas— melainkan semata-mata pengakuan oposisi atas kekalahannya sehingga oposisi senantiasa melakukan praktik kontra-hegemonik melalui diskursus untuk melawan existing hegemonik.[24]

Demokrasi radikal menjadi arena konflik dan kontestasi antar pelbagai kepentingan dan ideologi untuk memperebutkan hegemoni di ruang publik. Konflik dan kontestasi tersebut dipahami dalam konteks yang positif; yakni meradikalkan demokrasi, bukan saling meniadakan, membungkam dan memberangus satu sama lain. Persoalannya adalah: bagaimana jika praktek konflik dan kontestasi tersebut menyisakan luka di tengah masyarakat seperti provokasi fisik, kekerasan, bahkan peperangan. Pada konteks ini perlu membedakan antara relasi antagonisme dan agonisme serta melakukan transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme.

Relasi antagonisme sebagai dimensi konfliktual dalam konteks ‘yang-politis’ menimbulkan relasi antara kita sebagai teman dan mereka sebagai musuh (antagonistic friend/enemy relation) dalam politik demokrasi.[25] Relasi ini terbuka lebar akan implikasi ketidaksepakatan (disensus) berupa provokasi fisik, kekerasan bahkan peniadaan eksistensi yang-lain yang berbeda (misalnya, pembubaran dan pelarangan suatu ideologi atau golongan) sebagai konsekuensi dari dikotomi antara teman dan musuh yang tidak saling berbagi ruang demokrasi. Dalam konteks ini, musuh (enemy) dimaknai sebagai entitas yang harus dihancurkan dan ditiadakan baik ideologi maupun eksistensinya di ruang publik demokrasi. Relasi antagonistik antara teman dan musuh inilah yang harus diatasi supaya konflik dan disensus tidak bersifat merusak, destruktif.

Adalah tugas demokrasi radikal yang mampu melakukan transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme; dari relasi antara kita sebagai teman dan mereka sebagai musuh ke relasi adversarial yang menganggap mereka sebagai ‘lawan’ (adversary), agonistic friend/adversary relation. Relasi agonisme tidak berpretensi menghapuskan dimensi konflik pada satu sisi dan tidak terjebak pada negosiasi atau kompromi (konsensus) melalui deliberasi pada sisi lain. Dengan kata lain, relasi agonisme membuat konflik tidak merusak asosiasi politik dalam demokrasi. Mouffe menggunakan kata adversary untuk merujuk pada oposisi yang memiliki kesamaan posisi dalam demokrasi tetapi ideologi, kepentingan dan gagasannya yang berbeda yang harus ditolak. Pembedaan antara kategori musuh dan adversary tersebut  mendasarkan diri pada konsep identitas yang relasional; bahwa identitas ke-“kita”-an senantiasa bersifat korelasi dengan identitas ke-“mereka”-an.

Identitas yang Relasional

Konsep identitas yang relasional berarti menolak finalitas dan totalitas identitas sekaligus menganulir esensialisme dalam identitas yang mensimplifikasi dan mengkotak-kotakkan secara permanen ke dalam konsep-konsep seperti “individual”, “class”, dan “society”.[26] Mouffe memang secara tegas menolak esensialisme sebagai bagian dari proyek pemikirannya yang dikenal dengan istilah post-marxisme. Secara garis besar, post-marxisme berarti upaya merevisi dan memperbaharui ide-ide marxisme klasik yang telah mengalami keterpurukan atau kekalahan politik pada satu sisi dan kemunculan bentuk baru gerakan perjuangan pada sisi lain. Hélène Samanci mencatat terdapat tiga kondisi kemunculan post-marxisme, yaitu: pertama, kemunculan bentuk baru perjuangan yang tidak sesuai dengan perjuangan kelas seperti kelompok minoritas, gerakan lingkungan, feminisme, dan lain-lain; kedua, subjek politik tidak sekadar didefinisikan berdasarkan afilisasi kelas, sehingga proletariat tidak lagi satu-satunya subjek historik yang melakukan emansipasi karena ketertindasannya; dan ketiga, fragmentasi politik identitas atau keberagaman identitas menjadi prinsip analisis sosial.[27]

Pada konteks post-marxisme tersebut, kelas sebagai identitas dalam marxisme klasik kehilangan keistimewaan ontologisnya dan identitas semata-mata dimaknai sebagai sesuatu yang relasional, contingent dan negotiable. Konsekuensinya, tidak ada hirarki identitas sebagaimana dalam marxisme klasik melalui ajaran determinisme ekonomi atas suprastruktur. Identitas, apapun wujud dan artikulasinya, memiliki posisi yang setara, bahkan individu bisa memiliki lebih dari satu afiliasi identitas. Daniel Hutagalung mencontohkan perihal pekerja kerah putih di Indonesia yang ketika di tempat kerja berposisi sebagai kelas pekerja, namun ketika di rumah berposisi sebagai pemilik modal karena memiliki pembantu rumah tangga.[28] Selain memiliki konsekuensi pada kesetaraan antar pelbagai identitas, identitas yang relasional juga berimplikasi pada temporalitas identitas; pada suatu waktu individu digolongkan sebagai kelas pekerja, namun di waktu yang lain menjadi golongan pemilik modal, pada suatu waktu menjadi pengusaha, namun di waktu yang lain menjadi oposisi.

Mouffe mendasarkan konsep identitas yang relasional pada konsep constitutive outside yang diambil dari pemikiran Jacques Derrida. Konsep constitutive outside menegaskan bahwa perbedaan sebagai prasyarat bagi setiap keberadaan identitas –selalu butuh ‘yang-lain’ (the other) yang bersifat eksterior atas identitas.[29] Identitas bersifat relasional di atas fondasi perbedaan; bahwa, misalnya, identitas ‘kita’ selalu dibentuk sekaligus membentuk identitas ‘mereka’; terdapat kesalingmembentukkan antar pelbagai identitas yang berbeda sehingga membuat finalitas dan totalitas menjadi mustahil. Pada identitas yang relasional, penyegaraman identitas melalui peniadaan ‘mereka’ sebagai ‘yang-lain’ yang berbeda berarti peniadaan terhadap ‘kita’ juga karena, meminjam istilah Emmanuel Levinas, terdapat wajah ‘kita’ dalam wajah ‘yang-lain’ dan sebaliknya.

Politik adversarial --dikotomi antara teman dan lawan, begitu pula batas politik antara kiri dan kanan-- sebagai wujud dari relasi agonisme dalam demokrasi radikal melandaskan diri pada identitas yang relasional tersebut. Sehingga, politik demokrasi tidak merusak asosiasi politik pada satu sisi dan terjebak pada kompromi atau konsensus pada sisi lain.

Demokrasi Radikal dan Emansipasi

Proyek pemikiran Mouffe perihal demokrasi radikal merupakan upaya membangkitkan kembali politik Kiri. Oleh karenanya, demokrasi radikal senantiasa menyiratkan misi emansipasi dan dimensi sosialisme dalam menegakkan perjuangan demokratik. Usaha bersama (aspirasi, tujuan dan cita-cita) untuk emansipasi merupakan hal pokok dalam demokrasi radikal, dan post-marxisme secara umum. Hal ini secara tegas disampaikan oleh Mouffe dalam buku yang ditulis bersama Ernesto Laclau Hegemony and Socialist Startegy: Toward a Radical Democratic Politic, bahwa: “Setiap proyek untuk demokrasi radikal menyiratkan dimensi sosialis, karena itu perlu mengakhiri relasi produksi kapitalis, yang merupakan akar dari banyaknya relasi subordinasi. […]”[30]

Misi emansipasi dan dimensi sosialisme yang menubuh dalam demokrasi radikal tidak hanya dipahami sebagai semata perjuangan kelas, melainkan juga perjuangan demokratik yang mengafirmasi kemunculan bentuk baru perjuangan seperti feminisme, kelompok minoritas dan gerakan lingkungan serta lain sebagainya. Mouffe sadar bahwa revolusi sosialis yang berhasil yang dihasilkan melalui perjuangan kelas semata dalam melawan kapitalisme tidak lantas meniadakan bentuk opresi dan subordinasi seperti seksisme, homophobia, xenophobia, rasisme dan lain-lain, meskipun bentuk relasi opresi dan subordinasi tersebut merupakan konsekuensi yang bersifat kompleks dari eksploitasi kapitalisme.[31] Demokrasi radikal menjadi lokus di mana relasi opresi dan subordinasi disingkap dan diartikulasikan dalam diskursus ruang publik sehingga menjadi hegemonik. Pada multiplisitas identitas yang tersubordinasi tersebut, rantai kesamaan (chain of equivalence) bisa terbentuk.

Rantai kesamaan bisa dipahami dalam arti ‘kesamaan nasib’ sebagai yang-tersubordinasi dan yang-teropresi akibat baik rezim kekuasaan maupun kapitalisme. Kesamaan tersebut bersifat temporer karena merupakan universalitas (titik temu) dari keberagaman tuntutan atau keluhan (partikularitas), sehingga kesamaan tidak memiliki tendensi untuk menyeragamkan tetapi tetap mempertahankan keberagaman tuntutan, keluhan maupun isu. Melalui rantai kesamaan, blok hegemonik rakyat dapat terbentuk sebagai konter atas tatanan hegemonik yakni, dalam term Mouffe, rezim opresif, neoliberalisme dan kapitalisme. Dengan demokrasi radikal, Mouffe (juga Laclau) memimpikan revitalisasi perjuangan sosialis melawan kapitalisme pada satu sisi dan memajukan perjuangan gerakan sosial baru yang demokratik seperti anti-otoritarianisme, anti-rasisme, feminisme, gerakan ekologis, kelompok minoritas dan lain sebagainya.

Penutup

Apa yang dilakukan Mouffe melalui demokrasi radikal merupakan ikhtiar melampaui paradoks demokrasi liberal yang: pertama, terjerumus pada kutukan moral --baik dan buruk bagi demokrasi liberal-- ketika merespon persoalan illiberal, intoleransi, sentimen agama dan rasial, serta xenophobia, kedua, demokrasi liberal berangkat dari kesetaraan (politik) tetapi menimbulkan ketidaksetaraan (ekonomi), dan ketiga ajaran tentang konsensus dalam demokrasi liberal bersifat penyeragaman dan anti-pluralisme karena politik dimaknai semata-mata rasional.

Demokrasi radikal Mouffe berusaha melampaui paradoks tersebut dengan mendasarkan pada prinsip kedaulatan dan kesetaraan dalam demokrasi, konflik yang menubuh dalam demokrasi sehingga disensus adalah sebuah keniscayaan dan relasi agonisme atau adversarial yang membuat konflik tidak bersifat destruktif. Pada demokrasi radikal sebagai lokus tersebut, antar pelbagai golongan, identitas dan kepentingan saling berkontestasi demi merebut posisi hegemonik dalam diskursus politik.

Selain itu, demokrasi radikal selalu mensyiratkan misi emansipasi dan dimensi sosialisme, namun tidak terjebak pada semata-mata perjuangan kelas dalam merebut posisi hegemonik di ruang publik demokrasi. Mouffe (dan juga Laclau), dengan demokrasi radikal, menginginkan perjuangan kelas yang sekaligus beriringan dengan perjuangan demokratik.

Artikel ini dimuat di Jurnal Mahasiswa Filsafat Cogito Vol. 5 No. 2 2019. Dipublikasikan di blog ini sebagai upaya mengarsipkan bacaan.

Daftar Pustaka

Fukuyama, Francis. “Akhir Sejarah” dalam Amerika dan Dunia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005.
Hayek, F.A. The Road to Serfdom. London: Rotledge, 2006 [cet. ke-6].
Hutagalung, Daniel. “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural: Membaca Laclau dan Mouffe” dalam Kata Pengantar untuk buku Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politic. London: Verso, 2001 [edisi ke-2].
Laksmana, Evan A. Is using the term ‘illiberal turn’ beneficial for Indonesia’s democracy? The Conversation, 29 November 2017.
Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso, 2000.
________, Chantal. Agonistics: Thinking The Word Politically. London: Verso, 2013.
________, Chantal. Demonising Populism Won’t Work: Europe Needs A Progressive Populist Alternative. HuffingtonPost, 18 September 2018.
________, Chantal. On the Political. New York: Roudledge, 2005.
________, Chantal. Populists are on the rise but this can be a moment for progressives too. The Guardian, 10 September 2018.
Samanci, Hélène. The Political Ontology of Post-Marxism. London: Queen Mary, University of London, 2012.
Sim, Stuart. Post-Marxism: An Intellectual History. London: Routledge, 2000.
Sunaryo. “Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik” dalam Jurnal Ultima Humaniora, Volume 1, Nomor 1, Maret 2013.
Tajuk Rencana Kompas. Kurz dan Menguatnya Populisme. Tajuk Rencana Kompas, 19 Oktober 2017.
Tajuk Rencana Kompas. Wajah Eropa Baru. Tajuk Rencana Kompas, 19 Desember 2017.
Wawancara Gie Goris dengan Chantal Mouffe berujudul Democracy in need of emotion and confrontation di MO* Magazine tertanggal 4 November 2013.
Wolff, Jonathan. Pengantar Filsafat Politik [terjemahan M. Nur Prabowo Setyabudi]. Bandung: Nusamedia, 2013.
Zaenuri, Melfin. Konsep Populisme dalam Pemikiran Post-Marxisme Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Filsafat UGM, 2019.
Zakaria, Fareed. “Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal” dalam Amerika dan Dunia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005.




[1] Lih. Tajuk Rencana Kompas, Kurz dan Menguatnya Populisme, (Tajuk Rencana Kompas, 19 Oktober 2017) dan Tajuk Rencana Kompas, Wajah Eropa Baru (Tajuk Rencana Kompas, 19 Desember 2017).
[2] Lih. Evan A. Laksmana, Is using the term ‘illiberal turn’ beneficial for Indonesia’s democracy?, (The Conversation, 29 November 2017) diakses melalui laman https://theconversation.com/is-using-the-term-illiberal-turn-beneficial-for-indonesias-democracy-87107.
[3] Lih. Jonathan Wolff, Pengantar Filsafat Politik, terjemahan M. Nur Prabowo Setyabudi (Bandung: Nusamedia, 2013) hal. 125.
[4] Lih. Fareed Zakaria, “Bangkitnya Demokrasi yang Tak Liberal” dalam Amerika dan Dunia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005) hal. 165-192.
[5] Sebagian kalangan menggunakan istilah ‘Zero Tolerance’ dan menerapkannya untuk intoleransi.
[6] Ada yang menyebut demokrasi plural-radikal. Ada pula yang menggunakan istilah demokrasi agonistik.
[7] Lih. Chantal Mouffe, The Democratic Paradox, (London: Verso, 2000) hal. 3 dan 18.
[8] Lih. Ibid., hal. 1-2.
[9] Lih. Ibid.
[10] Lih. Francis Fukuyama, “Akhir Sejarah” dalam Amerika dan Dunia, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005) hal. 1-34.   
[11] Lih. Stuart Sim, Post-Marxism: An Intellectual History, (London: Routledge, 2000) hal. 1-3.
[12] Lih. Anna Marie Smith, Laclau And Mouffe: the Radical Democratic Imaginary, (London: Routledge, 1998) hal. 12.
[13] Lih. F.A. Hayek, The Road to Serfdom, (London: Rotledge, 2006 [cet. ke-6]) hal. 73.
[14] Lih. Anna Marie Smith, Op.Cit., hal. 11.
[15] John Rawls menggunakan istilah ‘overlapping consensus’ yang dapat diartikan sebagai konsensus silang, yakni berupa kesepakatan di tengah beragam sekaligus berbedanya doktrin dan pemikiran dalam demokrasi. Overlapping consensus dicapai melalui mekanisme netralisasi pelbagai doktrin dan pemikiran dalam ruang publik serta rasionalitas dan kewarasan (reasonable) sebagai patokan konsensus. Lih. Sunaryo, “Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik” dalam Jurnal Ultima Humaniora, Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hal 84-95.
[16] Dalam sebuah wawancara dengan MO* Magazine, Mouffe mengutip Spinoza untuk menjelaskan emosi, bahwa ada dua jenis emosi: rasa takut (fear) dan harapan (hope). Kedua-duanya ada dalam demokrasi. Partai sayap kanan memanfaatkan ‘ketakutan’ untuk meraih simpati publik, sedangkan partai sayap kiri memobilisasi massa dengan janji-janji dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Berikut kutipan lengkapnya: “According to Spinoza, there are two main emotions: fear and hope. Right parties nearly always use fear to mobilize voters. I think that left parties gain voters on the basis of hope, sound projects for the future, alternatives to the establishment.” Diakses melalui https://www.mo.be/en/article/democracy-need-emotion-and-confrontation pada tanggal 19 Agustus 2018.
[17] Lih. Chantal Mouffe, Populists are on the rise but this can be a moment for progressives too, (The Guardian, 10 September 2018); Chantal Mouffe, Demonising Populism Won’t Work: Europe Needs A Progressive Populist Alternative, (HuffingtonPost, 18 September 2018). Kedua artikel tersebut bisa diakses di https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/sep/10/populists-rise-progressives-radical-right dan https://www.huffingtonpost.co.uk/entry/populism-progressive-europe_uk_5ba0b5b7e4b013b0977ebc65). Saya telah menerjemahkan dua artikel tersebut ke dalam bahasa Indonesia untuk website lsfcogito.org. 
[18] Chantal Mouffe menyebut konflik dengan istilah antagonisme dan agonisme. Dua istilah ini berbeda dan akan dipaparkan perbedaannya pada bagian berikutnya.
[19] Lih. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politic, (London: Verso, 2001 [edisi ke-2]), hal. xvii.
[20] Saya menerjemahkan the political sebagai ‘yang-politis’. Selanjutnya, ‘yang-politis’ akan digunakan secara konsisten dalam tulisan ini untuk merujuk pada the political.
[21] Lih. Chantal Mouffe, On the Political, (New York: Roudledge, 2005), hal. 8-9; Chantal Mouffe, Agonistics: Thinking The Word Politically, (London: Verso, 2013), hal. 2-3.
[22] Lih. Melfin Zaenuri, Konsep Populisme dalam Pemikiran Post-Marxisme Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Filsafat UGM, 2019), hlm. 75.
[23] Lih. Chantal Mouffe, On the Political, Op.Cit., hal. 18.
[24] Lih. Ibid., hal. 23.
[25] Lih. Ibid., hal. 20.
[26] Lih. Daniel Hutagalung, “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural: Membaca Laclau dan Mouffe” dalam Kata Pengantar untuk buku Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru, (Yogyakarta: Resist Book, 2008).
[27] Lih. Hélène Samanci, The Political Ontology of Post-Marxism, (London: Queen Mary, University of London, 2012), hal. 9.
[28] Lih. Daniel Hutagalung., Op.Cit.
[29] Lih. Chantal Mouffe, Agonistics: Thingking The World Politically, (New York: Verso, 2013), hal. 5.
[30] Lih. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Op.Cit., hal. 178.
[31] Lih. Anna Marie Smith, Op.Cit., hal. 25-26.

Comments