Politisi Muda, Demokrasi dan Privilege
Hillary Brigitta Lasut, salah satu politisi muda yang dilantik menjadi anggota DPR RI 2019-2024 |
Umur
Hillari yang masih muda membuatnya jadi sorotan publik; mulai dari diberitakan
di pelbagai media mainstream hingga diperbincangkan di media sosial. Sebagai
anggota parlemen terpilih yang berumur muda, Hillari tidak sendirian. Terdapat
nama-nama lain yang menyandang status yang sama dengannya sebagai anggota
parlemen muda, yakni Farah Puteri Nahlia (23 tahun), Muhammad Rahul (23 tahun),
Fachri Pahlevi Konggoasa (24 tahun), Arkanata Akram (24 tahun), Rizki Aulia
Rahman Natakusumah (25 tahun), dan Adrian Jopie Paruntu (25 tahun). Di samping
itu, ada Jialika Maharani (22 tahun) sebagai anggota DPD termuda yang terpilih
dari Sumatra Selatan.
Selain
sama-sama penghuni senayan yang masih berumur muda, mereka juga memiliki
kesamaan lain yaitu: sama-sama berasal dari keluaga politisi atau setidaknya
dekat dengan kekuasaan. Hanya Farah Puteri Nahlia yang kedua orang tuanya bukan
politisi, melainkan perwira tinggi Polri.
Melihat
latar belakang politisi muda yang kental akan aroma dinastinya, bisakah kita
menaruh harapan masa depan kehidupan publik Indoneisa? Bisakah mereka terlepas
dari bayang-bayang politik keluarganya? Bisakah mereka melakukan gebrakan
politik progresif di parlemen mengingat, kata Bre Redana dalam esainya berjudul
‘Ketika Bangun di Pagi Bulan September’ di Kompas tertanggal 6 Oktober 2019,
“tak ada pemuda yang tidak memberontak.”
Demokrasi Kita
Wajah
politisi muda di parlemen merupakan bagian dari cerminan demokrasi kita; bahwa
kekuasaan di Indonesia berputar-putar di ‘orang-orang itu’ saja. Padahal
demokrasi sejatinya merupakan distribusi kekuasaan yang menyeluruh pada semua
rakyat tanpa pandang bulu. Ia berasal dari kata Yunani demos, yang artinya
rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan menubuh dalam diri rakyat, bukan melekat
pada segelintir elite. Demokrasi, terang Chantal Mouffe dalam salah satu
bukunya berjudul The Democratic Paradox (2000),
adalah hilangnya kekuasaan dalam otoritas transendental dan tubuh segelintir
orang seperti personal raja. Jelasnya, kekuasaan bersifat inheren dalam tubuh
rakyat.
Memang,
demokrasi berhasil mengurai sentralisasi kekuasaan pada otoritas ilahiah dan
tubuh personal raja atau ratu. Tapi tak sepenuhnya terurai. Demokrasi
melahirkan pusat-pusat kekuasaan baru pada skala lokal. Di Indonesia, bisa kita
jumpai dengan mudah penguasa daerah atau lokal yang merawat dinasti politiknya
masing-masing. Ada yang satu keluarga secara bergantian menjadi kepala daerah;
pada awalnya sang ayah, lalu sang ibu dan kemudian dilanjutkan oleh sang anak. Bahkan,
pada periode yang bersamaan, satu keluarga menempati jabatan eksekutif dan
legislatif. Pada dinasti politik yang demikian, kita sulit membayangkan
terealisasinya fungsi checks and balances
dalam sistem demokrasi.
Politisi-politisi
muda yang baru terpilih di atas adalah bagian dari sentra kekuasaan baru
tersebut; bagian dari upaya suatu keluarga melanggengkan dinasti politiknya. Tentunya,
tak ada yang keliru dengan hal tersebut karena hak untuk memilih dan dipilih
merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi dalam sistem
demokrasi. Setiap warga negara, apapun profesi dan latar belakangnya –termasuk
anak, istri dan cucu dari politisi atau penguasa— berhak untuk dipilih dengan
ikut kontestasi elektoral.
Persoalannya
tidak terletak pada hak-hak tersebut. Permasalahannya adalah pada apa yang
membuat anggota dinasti politik bisa dengan mudah meraih jabatan politik,
sedangkan yang lain tidak; apa yang memungkinkan jabatan politik mudah ‘diwariskan’
kepada sanak keluarga dan saudara? Jawaban atas pertanyaan ini setidaknya dapat
menelaah peristiwa politik ini.
Adalah
privilege; suatu keistimewaan yang
dimiliki oleh anggota dinasti politik yang tidak dimiliki oleh rakyat pada
umumnya. Keistimewaan itu berupa
banyak hal; aspek struktural berupa akses pada kekuasaan, modal ekonomi, dan
pengetahuan politik, dan aspek kultural berupa modal ekonomi dan
popularitas.
Privilege
dan
Konsekuensi bagi Demokrasi
Politisi-politisi
muda yang melenggang ke senayan, dan banyak juga di pelbagai daerah –dengan
melihat latar belakangnya yang merupakan bagian dari dinasti politik dan
kekuasaan—memiliki privilege tersebut.
Mereka bagian dari elite politik yang kesehariannya sangat lekat dengan
kekuasaan. Mereka mewarisi akses pada kekuasaan, modal sosial dan ekonomi,
pengetahuan politik, dan popularitas dari keluarganya. Bantahan atas privilege tersebut adalah cuap-cuap
politik saja.
Rantai
dinasti politik ini memang sulit diputus, tapi tidak mustahil. Karena, mengutip
Machiavelli dalam Sang Pangeran (Narasi,
2008), kekuasaan bukan hanya soal menggapainya, melainkan juga melanggengkannya
dengan pelbagai cara, termasuk mewariskannya pada sanak keluarga dan saudara di
bawah payung dinasti politik.
Selain
checks and balances yang akan tidak
maksimal, konsekuensi lain dari dinasti politik bagi demokrasi adalah potensi
untuk korupsi yang sangat besar. Kata Lord Acton yang sudah menjadi sangat
klise “Power tends to corrupt and
absolute power corrupts absolutely”, dan dinasti politik merupakan salah
satu wujud melanggengkan power tersebut.
Saya tidak menuduh dinasti politik itu selalu corrupt, tapi ada potensi yang sangat besar ke arah sana. Dinasti
Atut di Banten adalah salah satu contohnya.
Konsekuensi
lain dari adanya privilege dalam
dunia politik bagi demokrasi adalah tidak adanya kesempatan yang sama untuk
dipilih sebagai pejabat politik. Walaupun ada, itu hanya sebatas kesempatan
yang sama secara administratif saja. Privilege
–dengan pelbagai bentuk dan variannya— mengantarkan para politisi-politisi muda
tersebut start jauh lebih awal
ketimbang rakyat pada umumnya.
Kembali
ke pertanyaan awal dalam tulisan ini: bisakah para politisi muda lepas dari
bayang-bayang dinasti politiknya? Bisakah mereka menjadi politisi yang
menggemakan agenda-agenda progresif dalam kehidupan publik? Saya membayangkannya
sangat sulit. Karena, bagi politisi sendiri sangat sulit ‘menggigit’ tangan
orang yang membukakan padanya pintu kekuasaan.
Artikel ini diterbitkan di Kolom Detik.com. Dipublikasikan ulang di blog ini sebagai arsip.
Comments
Post a Comment