Politisi Muda, Demokrasi dan Privilege

Hillary Brigitta Lasut, salah satu politisi muda yang
dilantik menjadi anggota DPR RI 2019-2024
Anggota DPD, DPR dan MPR RI periode 2019-2024 baru saja dilantik. Ada yang menarik dari proses pelantikan tersebut, yakni keberadaan sosok Hillari Brigita Lasut sebagai pimpinan sidang paripurna. Hillari Brigita merupakan anggota termuda DPR terpilih yang berumur 23 tahun dan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang MD3, berhak menjadi pimpinan sementara DPR bersanding dengan anggota tertua, yakni Abdul Wahab Dalimunte yang berumur 80 tahun.

Umur Hillari yang masih muda membuatnya jadi sorotan publik; mulai dari diberitakan di pelbagai media mainstream hingga diperbincangkan di media sosial. Sebagai anggota parlemen terpilih yang berumur muda, Hillari tidak sendirian. Terdapat nama-nama lain yang menyandang status yang sama dengannya sebagai anggota parlemen muda, yakni Farah Puteri Nahlia (23 tahun), Muhammad Rahul (23 tahun), Fachri Pahlevi Konggoasa (24 tahun), Arkanata Akram (24 tahun), Rizki Aulia Rahman Natakusumah (25 tahun), dan Adrian Jopie Paruntu (25 tahun). Di samping itu, ada Jialika Maharani (22 tahun) sebagai anggota DPD termuda yang terpilih dari Sumatra Selatan.

Selain sama-sama penghuni senayan yang masih berumur muda, mereka juga memiliki kesamaan lain yaitu: sama-sama berasal dari keluaga politisi atau setidaknya dekat dengan kekuasaan. Hanya Farah Puteri Nahlia yang kedua orang tuanya bukan politisi, melainkan perwira tinggi Polri.

Melihat latar belakang politisi muda yang kental akan aroma dinastinya, bisakah kita menaruh harapan masa depan kehidupan publik Indoneisa? Bisakah mereka terlepas dari bayang-bayang politik keluarganya? Bisakah mereka melakukan gebrakan politik progresif di parlemen mengingat, kata Bre Redana dalam esainya berjudul ‘Ketika Bangun di Pagi Bulan September’ di Kompas tertanggal 6 Oktober 2019, “tak ada pemuda yang tidak memberontak.”    
Demokrasi Kita

Wajah politisi muda di parlemen merupakan bagian dari cerminan demokrasi kita; bahwa kekuasaan di Indonesia berputar-putar di ‘orang-orang itu’ saja. Padahal demokrasi sejatinya merupakan distribusi kekuasaan yang menyeluruh pada semua rakyat tanpa pandang bulu. Ia berasal dari kata Yunani demos, yang artinya rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan menubuh dalam diri rakyat, bukan melekat pada segelintir elite. Demokrasi, terang Chantal Mouffe dalam salah satu bukunya berjudul The Democratic Paradox (2000), adalah hilangnya kekuasaan dalam otoritas transendental dan tubuh segelintir orang seperti personal raja. Jelasnya, kekuasaan bersifat inheren dalam tubuh rakyat.

Memang, demokrasi berhasil mengurai sentralisasi kekuasaan pada otoritas ilahiah dan tubuh personal raja atau ratu. Tapi tak sepenuhnya terurai. Demokrasi melahirkan pusat-pusat kekuasaan baru pada skala lokal. Di Indonesia, bisa kita jumpai dengan mudah penguasa daerah atau lokal yang merawat dinasti politiknya masing-masing. Ada yang satu keluarga secara bergantian menjadi kepala daerah; pada awalnya sang ayah, lalu sang ibu dan kemudian dilanjutkan oleh sang anak. Bahkan, pada periode yang bersamaan, satu keluarga menempati jabatan eksekutif dan legislatif. Pada dinasti politik yang demikian, kita sulit membayangkan terealisasinya fungsi checks and balances dalam sistem demokrasi.

Politisi-politisi muda yang baru terpilih di atas adalah bagian dari sentra kekuasaan baru tersebut; bagian dari upaya suatu keluarga melanggengkan dinasti politiknya. Tentunya, tak ada yang keliru dengan hal tersebut karena hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi dalam sistem demokrasi. Setiap warga negara, apapun profesi dan latar belakangnya –termasuk anak, istri dan cucu dari politisi atau penguasa— berhak untuk dipilih dengan ikut kontestasi elektoral.

Persoalannya tidak terletak pada hak-hak tersebut. Permasalahannya adalah pada apa yang membuat anggota dinasti politik bisa dengan mudah meraih jabatan politik, sedangkan yang lain tidak; apa yang memungkinkan jabatan politik mudah ‘diwariskan’ kepada sanak keluarga dan saudara? Jawaban atas pertanyaan ini setidaknya dapat menelaah peristiwa politik ini.
Adalah privilege; suatu keistimewaan yang dimiliki oleh anggota dinasti politik yang tidak dimiliki oleh rakyat pada umumnya. Keistimewaan itu berupa banyak hal; aspek struktural berupa akses pada kekuasaan, modal ekonomi, dan pengetahuan politik, dan aspek kultural berupa modal ekonomi dan popularitas.  

Privilege dan Konsekuensi bagi Demokrasi

Politisi-politisi muda yang melenggang ke senayan, dan banyak juga di pelbagai daerah –dengan melihat latar belakangnya yang merupakan bagian dari dinasti politik dan kekuasaan—memiliki privilege tersebut. Mereka bagian dari elite politik yang kesehariannya sangat lekat dengan kekuasaan. Mereka mewarisi akses pada kekuasaan, modal sosial dan ekonomi, pengetahuan politik, dan popularitas dari keluarganya. Bantahan atas privilege tersebut adalah cuap-cuap politik saja.

Rantai dinasti politik ini memang sulit diputus, tapi tidak mustahil. Karena, mengutip Machiavelli dalam Sang Pangeran (Narasi, 2008), kekuasaan bukan hanya soal menggapainya, melainkan juga melanggengkannya dengan pelbagai cara, termasuk mewariskannya pada sanak keluarga dan saudara di bawah payung dinasti politik.

Selain checks and balances yang akan tidak maksimal, konsekuensi lain dari dinasti politik bagi demokrasi adalah potensi untuk korupsi yang sangat besar. Kata Lord Acton yang sudah menjadi sangat klise “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, dan dinasti politik merupakan salah satu wujud melanggengkan power tersebut. Saya tidak menuduh dinasti politik itu selalu corrupt, tapi ada potensi yang sangat besar ke arah sana. Dinasti Atut di Banten adalah salah satu contohnya.

Konsekuensi lain dari adanya privilege dalam dunia politik bagi demokrasi adalah tidak adanya kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai pejabat politik. Walaupun ada, itu hanya sebatas kesempatan yang sama secara administratif saja. Privilege –dengan pelbagai bentuk dan variannya— mengantarkan para politisi-politisi muda tersebut start jauh lebih awal ketimbang rakyat pada umumnya.

Kembali ke pertanyaan awal dalam tulisan ini: bisakah para politisi muda lepas dari bayang-bayang dinasti politiknya? Bisakah mereka menjadi politisi yang menggemakan agenda-agenda progresif dalam kehidupan publik? Saya membayangkannya sangat sulit. Karena, bagi politisi sendiri sangat sulit ‘menggigit’ tangan orang yang membukakan padanya pintu kekuasaan.


Artikel ini diterbitkan di Kolom Detik.com. Dipublikasikan ulang di blog ini sebagai arsip.

Comments