Ada Puisi dalam Lukisan

Salah satu lukisan yang 'berangkat' dari Sajak Sebotol Bir
karya W.S. Rendra
Bagaimana mengguratkan puisi di atas kanvas? Laku seni yang satu ini mempertaruhkan interpretasi dan imajinasi pelukis atas teks puisi, pengalaman keseharian dan pengetahuan kesusastraan pelukis, serta medium yang berbeda.

Saya menjumpai laku seni ini di kegiatan Rupa Sastra Festival Literasi Yogyakarta 2019 pada 27 September 2019 di Musem Vredeburg Yogyakarta. Baru pertama kali saya menyaksikan langsung beberapa seniman melukis; melukiskan kata-kata. Sungguh pengalaman estetik yang sangat miskin. Pada laku seni ini, saya menjumpai banyak hal yang tersingkap –mungkin lebih tepat disebut sebagai rasa takjub laiknya seorang dari negara paska-kolonial menginjakkan kaki yang pertama kali di negara-negara Eropa atau Amerika.

Apa yang ada dalam pikiran pelukis ketika sedang melukis? Bagaimana melukis di tengah keramaian, di tengah orang-orang menyodorkan kamera smartphone-nya? Bagaimana pelukis ‘menyalin’ puisi ke kanvas? Apakah puisi bisa hadir di dalam lukisan?

Ada banyak tanya di dalam benak ketimbang jawaban-jawaban singkat.

Orang-orang mungkin berterus terang; puisi tidak akan hadir seutuhnya di dalam lukisan. Puisi adalah puisi, lukisan adalah lukisan. Dua medium berbeda, meskipun berangkat dari terminal yang sama: ide, imajinasi dan upaya mengekspresikan sesuatu. Saya pun berpikiran begitu. Laiknya kita menggungat novel yang diadaptasi menjadi film; “ah tidak sesuai dengan cerita di novel. Kurang rinci dan banyak adegan yang dipotong,” seloroh seorang penonton kepada temannya beberapa saat setelah keluar dari bioskop XXI.

Kita tak bisa menyalahkan penonton sepenuhnya. Begitupula pada sang sutradara. Bukankah kata ‘ah’ yang keluar dari rahang penonton adalah bentuk interpretasi laiknya sang sutradara memahami cerita-cerita dalam novel?

Tidak ada teks yang bisa dipahami seutuhnya. Kita, pembaca-penonton-pengamat-pemerhati, berada dalam semesta interpretasi.

Ada puisi dalam lukisan. Ada sebagian, lebih tepatnya. Seorang pelukis membaca puisi dengan cara yang berbeda seperti seorang penyair atau sastrawan membaca puisi. Tentu ada reduksi dan reduksi bukanlah dosa. Pada reduksi itu, saya kira, pada jeda antara membaca dan melukis –mungkin tidak pas disebut jeda karena butuh waktu yang tidak lama bagi pelukis melukiskan kata-kata-- kreatifitas hadir.

Lukisan lain yang saya lupa menginterpretasikan puisi
yang mana dan karya siapa
Ada enam pelukis yang umurnya masih sangat muda. Taksiran saya, lebih muda dari umur saya. Mereka khusuk menatap kanvas, menghadirkan warna dan bentuk serta makna pada kanvas.

Awalnya memang kanvas kosong; putih bersih. Tapi sebenarnya, tidak benar-benar putih. Pada benak pelukis, tidak ada kanvas kosong dihadapannya. Semua kanvas telah diwarnainya, diberikannya makna dan gagasan. Setidaknya dalam benak mereka. Sudah ada gambaran, rencana warna, bentuk dan isi terlebih dahulu. Apalagi, puisi mendahului lukisan.

Sesekali pelukis menjauh dari kanvas untuk sekadar bisa melihat sementara keseluruhan lukisan. Menghela nafas. Mengambil jarak. Menginterpretasikan kembali puisi, membayangkan lagi akhir dari lukisan. Memang ada rancangan, tetapi ia bukan batas. Ia adalah awal yang menentukan.

Saya turut membayangkan: pada saat memandang lukisannya yang belum jadi dari jarak yang cukup untuk kanvas terlihat semuanya, seorang pelukis bergulat dengan benaknya, idenya, interpretasinya atas puisi, warna-warna dan bayangan akan akhir dari sebuah lukisan.

Rumit. Tapi yang rumit selalu menghasilkan kepuasaan tersendiri apabila berhasil memecahkannya.     



Comments