Populisme yang Demokratis
Dunia
sedang dilanda gelombang populisme. Tidak sekadar dilanda, dunia, meminjam
pernyataan Ghita Ionescu dan Ernest Gellner dalam kata pengantar untuk buku Populism: Its Meaning and National Character
(1969), sedang dihantui populisme. Hari ini, tak ada yang lebih banyak
diperbincangkan dalam politik global selain populisme. Cas Mudde dan Cristóbal
Rovira Kaltwasser dalam Populism: A Very
Short Introduction (2017) menyebut
populisme sebagai political buzzword di
abad ke-21. Jelasnya, populisme telah menyehari dalam percakapan dan pengamalan
politik global.
Beberapa
fenomena politik di pelbagai belahan dunia bisa disebutkan untuk merujuk kepada
politik populisme. Ada Trumpisme di Amerika Serikat, Brexit di Inggris, Syriza
di Yunani, Podemos di Spanyol dan
Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid di Indonesia serta lain sebagainya.
Respon
terhadap gelombang populisme tersebut beragam. Namun lebih banyak kalangan yang
menyatakan kecaman terhadap populisme karena dianggap meresonansikan kegaduhan di
tengah masyarakat demokratis yang harmonis dengan melafalkan karakter illiberal
seperti xenophobia, intoleransi, anti-imigran dan pembedaan antara pribumi (authentic people) dan asing (non-authentic people). Populisme dinilai
sebagai preseden buruk bagi demokrasi.
Jan-Werner
Müller, seorang ilmuwan politik di Princeton University, dalam What Is Populism? (2016) menyatakan
bahwa populisme merupakan penyakit bagi demokrasi; ancaman berbahaya bagi
keberlangsungan demokrasi. Hal ini didasarkan karena klaim sepihak populisme
sebagai satu-satunya yang absah mewakili ‘rakyat’, sedangkan kompetitor politik
lain, entah golongan elite maupun ideologi lain, bukan bagian sah dari
‘rakyat’. Bagi Müller, populisme
hanya catatan penjelas bagi demokrasi liberal bahwa ada kelompok yang belum
terwakilkan dalam demokrasi liberal.
Tidak
hanya Müller, beberapa akademisi dan pemikir politik Indonesia juga
berpandangan bahwa populisme merupakan ancaman nyata terhadap demokrasi.
Sindhunata, seorang budayawan ternama, menyatakan secara gamblang bahwa
populisme jelas berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi karena pada populisme
terkandung otoritarianisme dan doktrin politik identitas.[1]
Sindhunata mencotohkan Trump di Amerika Serikat, Bolsonaro di Brazil, Rodrigo
Duterte di Filipina dan Vladimir Putin di Rusia sebagai wajah politik populisme
yang bersifat destruktif atas tatanan dan nilai-nilai demokrasi.
Senada
dengan Sindhunata, F. Budi Hardiman dalam opininya di Kompas, Gerakan Murka dalam Demokrasi (2 Maret
2017), memandang bahwa: “populisme bukan pasangan ideal demokrasi. Jika dipaksakan,
demokrasi populis tak lebih daripada “perkawinan tak bahagia” yang penuh
kegalauan nafsu dan perselingkuhan.”
Selain itu, Fathorrahman Ghufron, dalam tulisannya berjudul Lubang Hitam Populisme (Kompas, 27 Maret
2017), menyandingkan populisme dengan konservatisme dan fundamentalisme keagamaan,
sehingga, dalam demokrasi, populisme menyekap siapa pun yang rajin merajut konsolidasi
kebangsaan, melakukan restorasi keumatan, dan dialog antar agama.
Tak
pelak, populisme dianggap menunggangi demokrasi untuk semata-mata meraih
kemenangan politik elektoral. Hal ini karena populisme berhasil mengaktifkan
sentimen emosional rakyat untuk kemudian dimobilisasi dan dikonversi menjadi
suara dalam politik elektoral. Populisme menjadi jalan pintas demi memuaskan syahwat
berkuasa, sehingga emosi mendominasi dalam demokrasi. Donald Trump, misalnya,
menggunakan retorika ke-Amerika-an yang sangat sempit dalam pelbagai kampanye
dan kebijakan politiknya dengan mengeksklusi imigran dan muslim. Populisme,
dalam konteks Trumpisme, bersanding dengan ultra-nasionalis.
Di
Indonesia, populisme berkait kelindan dengan agama pada satu sisi dan
nasionalisme pada sisi lain. Vedi R Hadiz dan Richard Robison mencatat bahwa kompetisi
politik populisme di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru adalah antara
populisme sekuler-nasionalis dan populisme Islam.[2] Pada
Pemilu 2019 ini, segregasi antara populisme Islam dan populisme nasionalis
sangat kentara. Jurang antara keduanya semakin melebar. Bisa dilihat bagaimana
retorika Pancasila versus Khilafah, kriminalisasi ulama, anti-Islam, dan
anti-NKRI sangat mendominasi percakapan di ruang publik demokrasi Indonesia.
Populisme, di pelbagai tempat dan dalam banyak kesempatan, bersanding dengan
agama dan nasionalisme.
Populisme dan Demokrasi
Berdasarkan
deskripsi di atas, keberadaan populisme tidak diharapkan dalam demokrasi. Sebegitu
burukkah populisme untuk demokrasi? Betulkah populisme merupakan hantu yang
menjadi ancaman bagi demokrasi? Menjawab persoalan ini, perlu kiranya
mendudukkan secara jernih hubungan populisme dan demokrasi.
Selama
ini, perbincangan tentang populisme dan demokrasi terjebak pada pertama populisme sebagai semata-mata populisme
sayap kanan (right-wing populism) dan
kedua kutukan moral bahwa populisme
bersifat buruk bagi demokrasi. Hal ini diakui oleh Cas Mudde, seorang ilmuwan
politik dari Belanda, bahwa menjamurnya populisme kanan dengan retorika
xenophobia, anti-imigran dan anti-asing di pelbagai negara turut berkontribusi mempersempit
diskursus populisme sebatas ekstrem kanan,[3] sehingga
mendapat stigma negatif dan bersifat kontra demokrasi. Bahkan ada yang lebih
mempersempit populisme sebagai konservatisme dan fundamentalisme keagamaan
seperti yang dilakukan oleh Fathorrahman Ghufron di atas. Oleh Ghufron,
populisme direduksi menjadi sekadar perkawinan dengan sentimen keagamaan dalam
politik elektoral.
Padahal
terdapat populisme sayap kiri (left-wing
populism) yang menggemakan dan memajukan isu kesejahteraan rakyat, keadilan
sosial, kedaulatan ekonomi, anti-kapitalisme dan anti-neo-liberalisme serta
lain sebagainya. Pada populisme kiri tersebut, Ernesto Laclau dan Chantal
Mouffe menaruh fondasi teoritik sekaligus harapan akan masa depan
demokrasi. Menurut keduanya, merebaknya
populisme kanan harus dibaca juga sebagai absennya gerakan politik populis
kiri.[4] Hadiz
dan Robison menganalisis hal yang hampir sama dengan Laclau dan Mouffe bahwa
kompetisi antara populisme Islam dan populisme sekuler-nasionalis di Indonesia
merupakan implikasi dari absennya golongan liberal dan Kiri.[5]
Selain
terjebak pada populisme sebagai ekstrem kanan, pembahasan hubungan populisme
dan demokrasi terkerangkeng pada persoalan moral baik dan buruk; bahwa
demokrasi yang baik itu demikian dan populisme tidak mencerminkan demokrasi
yang baik itu. Müller, Sindhunata, F. Budi Hardiman dan Fathorrahman Ghufron
(dan banyak kalangan lainnya, terutama pendukung demokrasi liberal) mencerminkan
orang-orang yang melakukan kutukan moral dan demonisasi terhadap populisme ini.
Sikap ini tidak menjawab pokok persoalan, dan populisme, lebih-lebih populisme
kanan, yang selama ini dikutuk akan tetap ada dan bahkan hari ini memiliki
kecenderungan meningkat.
Moralisasi
politik terhadap populisme ini tidak terlepas dari anggapan yang diterima
begitu saja bahwa demokrasi berarti demokrasi liberal tanpa mendudukkan secara
jernih antara demokrasi dan liberalisme. Padahal keduanya mempunyai tradisi dan
nilai inheren yang berbeda dan kompleks. Chantal Mouffe menegaskan perbedaan
keduanya, bahwa: demokrasi memiliki nilai inheren berupa kesetaraan dan
kedaulatan rakyat (demos), sedangkan
liberalisme mendasarkan diri pada penegakan hukum, pembelaan terhadap hak asasi
manusia dan penghormatan pada kebebasan individual.[6]
Apabila mengacu kepada perbedaan ini, populisme justru sangat demokratis –dalam
istilah Mouffe, meradikalkan demokrasi—karena mengejawantahkan kedaulatan
rakyat, terlepas dari muatan isu, ideologi dan kepentingan di dalam populisme
merupakan persoalan lain.
Kedaulatan
rakyat sebagai elemen esensial dalam demokrasi diaktifkan kembali oleh (dan
melalui) populisme. Selama ini, perbincangan tentang demokrasi cenderung
meminggirkan kedaulatan rakyat. Lebih-lebih dalam rezim politik elektoral,
kedaulatan rakyat direduksi sebagai sekadar people
vote, bukan people voice. Hal ini
tidak terlepas dari dominasi demokrasi liberal yang menjadikan diskursus ruang
publik seputar hak asasi manusia, penegakan hukum, dan kebebasan individual. Melalui
pembedaan antara demokrasi dan liberalisme, populisme merupakan fenomena
politik yang demokratis.
Selain
itu, demokrasi meniscayakan konflik dan kontestasi antar pelbagai golongan dan
ideologi. Tidak ada demokrasi tanpa konflik dan kontestasi. Demokrasi merupakan
ruang konfliktual yang merupakan konsekuensi dari the political, ‘yang-politis’, sebagai ontologi politik. Singkatnya,
‘yang-politis’ merupakan dimensi konfliktual yang bersifat konstitutif terhadap
koeksistensi manusia beserta relasi sosialnya, yang kemudian dibedakan dengan
‘politik’. Bagi Mouffe, ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, diskursus dan
institusi yang memproduksi kebijakan dan mengorganisasi masyarakat yang selalu
berada dalam konteks dimensi konfliktual sebagai konsekuensi logis dari
pengaruh dimensi ontologisnya, ‘yang-politis’.[7]
Pada
‘yang-politis’ tersebut, demokrasi sebagai lokus di mana pelbagai aktor politik
saling berkompetisi, termasuk kontestasi antara golongan yang rasional dan
emosional. Pertanyaannya, adakah politik tanpa emosi (afeksi)? Kata Mouffe,
tidak ada. Politik dalam demokrasi senantiasa berpaut dengan emosi; partai
berhaluan kiri dengan politik harapan (politics
of hope) dan partai sayap kanan memanfaatkan politik ketakutan (politics of fear).[8]
Emosi adalah hal niscaya dalam politik demokrasi, begitupula dengan politik
identitas yang cenderung sangat emosional ketimbang rasional.
Dalam
konteks ini, populisme, yang selalu dilekatkan dengan politik emosi dan politik
identitas oleh para pendukung demokrasi liberal, merupakan hal absah dalam
demokrasi. Bahkan, pada politik demokrasi yang (katanya) harus rasional
terdapat elemen emosi di dalamnya, yakni menaruh harapan pada yang rasional
tersebut. Selebihnya adalah kompetisi dan kontestasi tiada akhir antar pelbagai
elemen, golongan dan ideologi demi merebut pengaruh di ruang publik demokrasi. Dengan
demikian, populisme sekadar ancaman bagi demokrasi liberal, tapi tidak bagi
demokrasi per se.
Tulisan ini dipublikasikan di antinomi.org dan Indoprogress. Di blog ini sebagai arsip saja.
[1] Lih. Sindhunata, Ancaman
Politik Populisme, (Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-67, 2018).
[2] Lih. Vedi R Hadiz dan Richard Robison, “Competing populisms in
post-authoritarian Indonesia” dalam International
Political Science Review 2017, Vol. 38(4) 488 –502.
[3] Lih. Cas Mudde, The Problems
with Populism, (The Guardian, 17 Februari 2015).
[4] Lih. Ernesto Laclau, Politics
and Ideology in Marxist Theory: Capitalism, Fascism, Populism, (London:
Verso, 1987), hal. 124; Chantal Mouffe, “The ‘End of Politics’ and the
Challenge of Right-wing Populism” dalam Populism
and the Mirror of Democracy, (London: Verso, 2005), hal. 50-71; Chantal
Mouffe, In defence of left-wing populism,
(The Conversation, 30 April 2016); Chantal
Mouffe, Demonising Populism Won’t Work:
Europe Needs A Progressive Populist Alternative, (The HuffingtonPost, 18
September 2018). Dua artikel terakhir dari Mouffe tersebut telah saya
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk website lsfcogito.org.
[5] Lih. Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Op.Cit.,
[6] Lih. Chantal Mouffe, The
Democratic Paradox, (London: Verso, 2000) hal. 3 dan 18.
[7] Lih. Chantal Mouffe, On the Political, (New York: Roudledge, 2005),
hal. 8-9.
[8] Lebih rincinya, silahkan baca hasil wawancara Gie Goris dengan
Chantal Mouffe berujudul Democracy in need of emotion and
confrontation di MO* Magazine tertanggal 4 November 2013.
Comments
Post a Comment