Memperbincangkan Tipologi Islam Indonesia (Catatan #1 atas Buku Ideologi Islam dan Utopia karya Luthfi Assyaukanie)
Nah ini cover bukunya |
Selalu
ada yang tak terpayungi dalam kategorisasi. Ada yang gagal untuk direngkuh ke
dalam tipologi. Belum lagi, kebanyakan tipologi memiliki tendensi untuk
menyederhanakan, juga menghakimi, dan saya kira begitulah kerja tipologi:
menyederhanakan realitas yang kompleks dan melakukan penghakiman terhadap
rumitnya keadaan. Meskipun ada bias, penyederhanaan dan yang tertinggal,
tipologi perlu dan penting untuk menjelaskan kompleksitas realitas. Sebagai pintu
masuk memahami kehidupan yang mengalir.
Itulah
yang dirasakan oleh Luthfi Assyaukanie, penulis buku ini Ideologi dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia
(Freedom Institute, 2011), ketika menjelaskan Islam Indonesia melalui gerbang
pekembangan pemikiran politik Islam Indonesia; “bagaimana kaum Muslim Indonesia
membayangkan negara dan pemerintahan ideal.”
Tentunya,
hendak merumuskan tipologi Islam Indonesia harus berangkat dari tipologi yang
terdahulu. Meskipun keadaan sudah berubah, tetapi tipologi terdahulu penting
untuk dibaca secara kontekstual. Semisal, tipologi Islam Jawa menurut Clifford
Geertz, yang membagi masyarakat ke dalam tiga kategori: santri, priyayi dan
abangan, penting dibaca saat ini untuk melihat pergesaran masyarakat dari waktu
ke waktu. Sekalipun tipologi tersebut tidak bisa menjelaskan orang-orang ‘divergent’; yaitu orang-orang, yang kata
Harsja W. Bachtiar dalam The Religion of
Java: A Commentary (1985), tergolong abangan tetapi mengumpulkan uang dengan
bertani demi naik haji berkali-kali dan para priyayi yang santri seperti Sultan
Agung dan Pangeran Diponegoro.
Begitu
pula kategorisasi yang dilakukan oleh Deliar Noer yang membagi masyarakat
muslim menjadi dua; modernis dan tradisionalis, tidak memadai ketika
menjelaskan Islam hari ini. Nahdlatul Ulama, yang (dulunya) dilekatkan sebagai
golongan tradisionalis, kini banyak melahirkan cendekiawan muslim yang justru mengadopsi
modernitas. Hal ini mungkin karena cendekiawan muslim NU tidak hanya menimba
ilmu di pesantren dan timur tengah, melainkan juga di barat seperti Eropa dan
Amerika. Menurut saya, ini perubahan yang menarik dalam tubuh NU yang semakin
hari semakin cair saja. Timur Tengah tidak lagi menjadi primadona, dan
pendidikan Barat mungkin lebih berkilau.
Oleh
karena keterbatasan tipologi Deliar Noer dalam menjawab Islam kini yang semakin
kompleks, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy mengajukan empat kelompok Islam
Indonesia di masa kini: Neomodernis, sosial demokrat, internasionalis atau
universalis Islam dan modernis. (halaman 7 dan 8)
Demikianlah
tipologi Islam Indonesia yang selalu berubah seiring waktu. Tipologi akan
selalu berjumpa dengan batas, yang padanya tipologi-tipologi lain muncul. Pada tipologi,
pembacaan kontekstual adalah sebuah keniscayaan. Tipologi Geertz dan Deliar
Noer serta banyak Indonesianis lainnya tidak berlaku sepanjang zaman; ia akan
berbenturan dengan perubahan yang ada.
Pada
tipologi yang menyisakan ruang tersebut, Luthfi Assyaukanie, lewat disertasinya
di Universitas Melbourne Australia yang telah dibukukan ini, hendak mengisi
ruang tersebut dengan kacamata Muslim Indonesia dalam melihat negara dan
pemerintahan ideal. Hasilnya sudah tentu tipologi, yaitu: negara demokrasi
Islam, negara demokrasi agama dan negara demokrasi liberal atau sekular.
Mengapa
demokrasi? “Bahwa intelektual dan pemimpin Muslim yang terlibat dalam wacana
politik modern menganggap demokrasi adalah sistem politik paling baik yang
tersedia, walaupun konsep mereka tentang demokrasi tidak sama,” tulis
Assyakanie pada halaman 16 buku ini.
Comments
Post a Comment