Membaca Puya ke Puya, Mengurai Kompleksitas Tradisi
Bagaimana caranya
merawat tradisi di tengah perubahan? Tentu tak semudah melafalkan al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal
akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik.
Adalah novel
Puya ke Puya karya Faisal Oddang yang
menggambarkan kompleksitas tradisi di tengah perubahan zaman. Bagaimana menyikapi
tradisi upacara pemakaman (Rambu Solo) di
Toraja yang berbiaya mahal pada satu sisi namun harus dilakukan atas nama adat,
leluhur dan kepercayaan, bahkan hari ini atas nama gengsi dan status sosial
juga.
Ini kover novelnya. Saya ambil foto ini dari ngadem.com |
Mahalnya
biaya Rambu Solo di Toraja menjadi
pemicu utama konflik dalam novel ini. “Tapi saya juga tidak sepakat jika adat
atau aluk, atau apalah namanya itu
membebani. Bukankah adat tidak boleh kaku. Batu saja bisa dipahat, masa iya
adat harus terus menjadi bongkahan batu, Ambe?” jawab Allu Ralla ketika ditanya
oleh ayahnya, Rante Ralla, perihal adat, terutama Rambu Solo.
Ketika Rante
Ralla meninggal dan harus di-Rambu Solo-kan
supaya bisa menuju ke Puya –semacam surga,
dunia arwah atau akhirat-- dengan
tenang, Allu, pada awalnya, menolaknya dan hendak membawa mayat ayahnya ke
Makassar untuk dimakamkan secara Kristen. Tentu kerabat dan kolega yang lain
menolak keinginan Allu atas nama adat dan kepercayaan.
Allu bukan
tanpa alasan dalam melakukan hal tersebut. Alasan utamanya adalah tiadanya uang
untuk membiayai Rambu Solo yang
mahal.[1]
Harta satu-satunya yang dimiliki keluarga Ralla adalah tanah warisan
turun-temurun yang saat ini sedang dijadikan tempat tinggal. Di sisi yang lain,
tanah tersebut sedang diincar oleh perusahaan tambang nikel untuk dijadikan
jalan bagi truk-truk pengangkut hasil tambang.
Apabila Allu,
sebagai pewaris sah sekaligus kepala adat kampung yang menggantikan ayahnya,
mau menjual tanah warisan satu-satunya tersebut, maka bisa dipastikan upacar Rambu Solo untuk ayahnya dapat
dilaksanakan. Pun, Allu menjual tanah tersebut, bukan karena untuk Rambu Solo ayahnya, tetapi karena ingin
menikahi Malena. Tepatnya karena cinta. Tidak mungkin bersuka cita (pesta
pernikahan) sebelum menuntaskan kedukaan (Rambu
Solo). Itulah yang diajarkan tradisi.
Membaca Puya ke Puya menghantarkan kita pada
persoalan tradisi yang sangat kompleks dan rumit. Ada persoalan relasi kuasa,
ekonomi-politik, hubungan tradisi dan perubahan zaman, dan status sosial. Semua
persoalan tersebut tergambarkan dan teruraikan secara gamblang dan rapi dalam setiap plot cerita
di novel ini.
[1] Perihal mahalnya biaya Rambu Solo yang bisa mencapai satu, dua atau
tiga miliyar rupiah dalam sekali upacara, Vice Indonesia mendokumentasikannya dalam
film dokumenter bertajuk Royal Blood: Uang,
Darah, dan Kematian di Toraja.
Comments
Post a Comment