Mempertahankan Populisme Kiri
Artikel ini
merupakan alih bahasa dari tulisan Chantal Mouffe berjudul In Defence of Left-Wing
Populism yang terbit di The Conversation pada 29 April 2016. Artikel yang merupakan bagian
dari seri Democracy Futures ini
memajukan populisme sayap-kiri sebagai lawan atas menjamurnya populisme
sayap-kanan sekaligus alternatif atas
hegemoni neoliberal.
___________________
Kita sedang
menyaksikan krisis demokrasi representatif yang terjadi di banyak negara Eropa.
Sebagaimana telah saya sampaikan dalam On
the Political, krisis tersebut merupakan akibat dari konsepsi “konsensus
sebagai pusat” yang didirikan di bawah hegemoni neoliberal antara partai
kanan-moderat dan kiri-moderat.
Situasi pasca-politik ini telah menyebabkan tenggelamnya
ide diskursus politik bahwa ada alternatif atas globalisasi neoliberal. Hal ini
menutup kemungkinan perdebatan agonistik dan secara radikal mereduksi pilihan
yang ditawarkan pada warga negara melalui pemilihan.
Terdapat
orang-orang yang merayakan konsensus. Mereka memajukan konsensus sebagai tanda
bahwa politik adversarial telah menjadi usang, sehingga demokrasi menjadi
dewasa atau matang. Saya tidak setuju.
Hak Pilih dan Suara
Situasi “pasca-politik” telah menimbulkan sebuah kondisi
yang menguntungkan bagi partai-partai populis dengan klaim mewakili orang-orang
yang merasa tak didengar dan diabaikan dalam sistem representatif. Daya tarik
mereka –partai-partai populis-- adalah pada “rakyat” melawan ketidakpedulian
“kekuasaan politik” yang, telah mengabaikan sektor-sektor populer, hanya
berkonsentrasi secara eksklusif dengan kepentingan-kepentingan elite.
Persoalannya,
bagaimanapun juga, adalah bahwa secara umum populisme pada partai-partai
tersebut memiliki karakter sayap kanan. Kerap kali, cara mereka membawa
serangkaian tuntutan sosial yang heterogen dengan menggunakan retorika xenophobia. Hal ini membentuk kesatuan “rakyat”
melalui peng-eksklusi-an imigran.
Jadi, krisis
demokrasi representatif bukanlah semata-mata krisis demokrasi representatif itu
sendiri, tetapi krisis inkarnasi pasca-demokrasi saat ini. Sebagaimana protes Indignados di Spanyol: Kita punya
hak pilih, tapi kita tidak punya suara.
Rupa-rupanya,
jalan terbaik untuk mengembalikan sifat dasar partisan politik dan dengan
demikian memperbaiki kekurangan perdebatan agonistik adalah dengan menghidupkan
kembali dimensi adversarial dalam oposisi kiri-kanan yang telah disingkirkan oleh politik “jalan ketiga”.
Bagaimanapun, hal ini tidak serta merta memungkinkan untuk diterapkan di banyak
negara. Strategi-strategi lain dibutuhkan.
Ketika kita
menguji partai kiri-moderat di Eropa, kita sadar bahwa mereka telah jauh terlibat dalam cara kerja hegemoni neoliberal
untuk menawarkan alternatif. Hal ini menjadi jelas selama krisis 2008. Meskipun dalam kesempatan mereka,
partai-partai tersebut tidak bisa mendapatkan kembali inisiatif dan menggunakan
kuasa negara untuk memajukan sebuah politik yang lebih progresif.
Sejak saat
itu, kompromi kiri-moderat dengan sistem semakin mendalam. Partai-partai ini
tidak hanya menerima tetapi juga berkontribusi pada politik penghematan (the politics of austerity).
Tindakan-tindakan pembawa petaka yang dihasilkan telah membawa kesengsaraan dan
pengangguran di Eropa.
Jika
kiri-moderat mengadvokasi apa yang Stuart Hall sebut “versi sosial-liberal dari
neo-liberalisme”, maka tidak mengejutkan perihal perlawanan terhadap
tindakan-tindakan tersebut, ketika perlawanan tersebut akhirnya datang dari
kubu progresif, hanya bisa diekspresikan melalui gerakan protes seperti
Indignados dan Occupy, yang menyerukan penolakan terhadap lembaga-lembaga
perwakilan.
Sementara
gerakan-gerakan ini memunculkan potensi meluasnya ketidakpuasaan dengan tatanan neoliberal, penolakan
mereka (gerakan-gerakan protes) untuk terlibat dengan lembaga-lembaga politik
membatasi dampaknya. Tanpa artikulasi dengan politik parlementer, mereka segera
mulai kehilangan dinamisme mereka.
Jalan Baru Politik Progresif
Untungnya, dua
pengecualian bertahan terus. Mereka, dua pengecualian tersebut, mengindikasikan
bagaimana sebuah politik progresif baru dapat dibayangkan.
Di Yunani,
Syriza, lahir sebuah koalisi dari gerakan kiri yang berbeda-beda di sekitar Synaspismos, bekas partai komunis
Eropa, berhasil dalam membentuk partai radikal tipe baru. Tujuannya jelas tidak
untuk menghancurkan institusi demokrasi liberal, melainkan sebagai wahana
transformarsi untuk ekspresi tuntutan-tuntutan rakyat.
Di Spanyol,
bangkitnya Podemos pada 2014 adalah berkat kapasitas sebuah kelompok
intelektual muda dalam rangka mengambil manfaat dari kondisi yang ditimbulkan
oleh Indignados untuk mengorganisasi sebuah gerakan partai. Kelompok tersebut
diniatkan untuk menghentikan kebuntuan politik konsensual yang dibangun melalui
transisi ke demokrasi tetapi kenyataannya hari ini mengalami kelesuan. Strategi
mereka (Syriza dan Podemos) adalah membentuk kehendak kolektif populer dengan
mengonstruksi sebuah batas antara kekuasaan elite dan “rakyat”.
Di banyak negara
Eropa kita sekarang mengalami apa yang disebut sebagai “situasi populis”.
Politik demokratik yang dinamis tidak lagi bisa dipahami dalam poros kiri-kanan
tradisional.
Hal ini
tidak hanya disebabkan oleh pasca-politik
yang mengaburkan ragam batas, melainkan juga fakta bahwa transformasi
kapitalisme yang ditimbulkan oleh pasca-Fordisme dan dominasi kapital finansial merupakan asal muasal dari
multiplisitas tuntutan demokratik baru. Hal ini (tuntutan demokratik baru yang
beragam) tidak bisa lagi ditangani dengan cukup mengaktifkan kembali
konfrontasi kiri-kanan: mereka membutuhkan pembentukan sebuah tipe batas yang
berbeda.
Apa yang
dipertaruhkan adalah hubungan pelbagai tuntutan demokratik dengan potensi untuk
membentuk sebuah “kehendak kolektif” yang berjuang untuk hegemoni yang lain.
Hal ini jelas bahwa tuntutan demokratik dalam masyarakat kita tidak bisa semua
terekspresikan melalui bentuk partai “vertikalis” yang mensubordinasi gerakan
massa.
Sekalipun
jika partai vertikalis tersebut telah tereformasi, tidak selalu mungkin atau dikehendaki untuk memaksakan tuntutan-tuntutan demokratik yang terekspresikan melalui gerakan sosial horizontal ke bentuk vertikalis yang
hierarkis.
Kita butuh
bentuk baru organisasi politik yang bisa mengartikulasikan kedua bentuk
tersebut, di mana persatuan rakyat progresif tidak akan dibentuk secara konstitutif,
sebagaimana dalam kasus populisme sayap-kanan, oleh peng-eksklusi-an imigran, tetapi dengan penentuan lawan (adversary) yang diwakili oleh kekuatan
neoliberal. Inilah yang saya pahami dengan “populisme sayap-kiri”.
Membangun kembali populisme kiri
“Populis” pada umumnya digunakan dalam arti
negatif. Ini adalah sebuah kekeliruan, karena populisme merepresentasikan
dimensi penting dari demokrasi. Demokrasi dipahami sebagai “kekuasaan rakyat”
yang mengharuskan keberadaan “demos” –“rakyat”. Daripada menolak istilah
populis, kita harus mengklaimnya kembali.
Perjuangan
agonistik lebih dari sekadar perjuangan antara proyek hegemonik yang saling
berkonflik. Ini adalah perjuangan tentang mengonstruksi rakyat.
Hal ini
penting bagi gerakan kiri untuk memahami sifat dasar dari perjuangan ini.
Sebagaimana istilah “kehendak kolektif”, “rakyat” selalu merupakan konstruksi
politik.
Tidak ada
“kita” tanpa “mereka”. Demikianlah adversary (lawan) didefinisikan, yang itu akan menentukan
identitas rakyat. Dalam hubungan ini terletak salah satu perbedaan utama antara
populisme sayap-kanan dan populisme sayap-kiri.
Banyak
tuntutan yang ada dalam masyarakat tidak memiliki esensi reaksioner atau
karakter progresif. Ini tergantung bagaimana mereka (tuntutan masyarakat yang
banyak) diartikulasikan, yang itu menentukan identitas mereka.
Hal ini mengemukakan
peran bahwa representasi bermain dalam pembentukan kekuatan politik.
Representasi bukanlah proses satu arah yang berjalan dari yang direpresentasikan
ke representatif (perwakilan), karena itu identitas yang direpresentasikan adalah
yang dipertaruhkan dalam proses.Kekurangan utama dari mereka yang
berargumentasi bahwa demokrasi representatif adalah sebuah oxymoron dan bahwa demokrasi yang sejati haruslah langsung atau “presentist”. Yang perlu ditantang adalah
kurangnya alternatif yang ditawarkan kepada warganegara, bukan pada gagasan
tentang representasi itu sendiri.
Sebuah
masyarakat demokratik yang pluralis tidak bisa eksis tanpa representasi. Untuk
permulaan, identitas tidak pernah bersifat terberi. Mereka senantiasa terbentuk
melalui identifikasi; proses identifikasi ini adalah proses representasi.
Subjek-subjek
politik kolektif terbentuk lewat representasi. Mereka (subjek-subjek politik
kolektif) tidak eksis sebelumnya. Setiap pernyataan identitas politik dengan
demikian bersifat intrinsik, bukan ekstrinsik, pada proses representasi.
Kedua, dalam
masyarakat demokratik di mana pluralisme tidak digambarkan dalam bentuk anti-politik yang harmonis dan di mana
kemungkinan antagonisme yang selalu ada diperhitungkan, institusi
representatif, dengan memberi bentuk pada pembagian masyarakat, memainkan peran
yang krusial dalam membuka kemungkinan institusionalisasi dimensi konfliktual
ini.
Peran
seperti itu dapat dipenuhi melalui adanya konfrontasi agonistik. Persoalan
utama dengan model pasca-politik
kita saat ini adalah ketiadaan konfrontasi. Hal ini tidak dapat diperbaiki
melalui praktik-praktik “horizontalis” dari otonomi lokal, pengorganisasian
diri dan demokrasi langsung yang berpaling dari institusi dan negara.
Renjana dalam politik
Aspek
penting lain dari populisme sayap kiri adalah bahwa ia menerima peran sentral
yang dimainkan oleh afeksi (emosi) dan renjana dalam politik. Saya menggunakan “renjana” untuk merujuk pada afeksi umum yang
berperan dalam identifikasi bentuk-bentuk kolektif yang bersifat konstitutif
terhadap politik identitas. Renjana menjalankan
peran sentral dalam
pembentukan kehendak kolektif sebagai inti dari setiap proyek populis
sayap-kiri.
Usaha yang
dilakukan oleh banyak teoritikus politik demokrasi-liberal untuk menyingkirkan renjana dari politik –mereka menolak untuk
menerima peran sentral dari renjana— tidak diragukan lagi merupakan salah satu alasan kebencian mereka
terhadap populisme. Ini adalah kekeliruan yang serius. Hanya karena wilayah ini
telah ditinggalkan untuk populis sayap-kanan yang mana telah melakukan kemajuan
dalam beberapa tahun terakhir.
Untungnya,
terima kasih kepada perkembangan
gerakan populis sayap-kiri, hal ini bisa berubah. Ini penting untuk memahami
bahwa satu-satunya cara untuk melawan populisme sayap-kanan adalah melalui
populisme sayap-kiri.
Saya yakin
kita sedang menyaksikan transformasi mendalam dari batas-batas politik yang
dulunya dominan di Eropa. Konfrontasi genting yang akan terjadi adalah antara
populisme sayap-kiri dan populisme sayap-kanan.
Krisis dan Kesempatan di Eropa
Masa depan
demokrasi tergantung pada perkembangan populisme sayap-kiri yang bisa
menghidupkan kembali kepentingan dalam politik dengan memobilisasi renjana dan membangkitkan perdebatan agonistik
tentang ketersediaan alternatif atas tatanan neoliberal yang mendorong
de-demokratisasi. Mobilisasi ini harus terjadi di tataran Eropa. Untuk menang,
proyek populis sayap-kiri perlu mendidik gerakan populis sayap-kiri dalam
memperjuangkan pendasaran kembali demokrasi Eropa.
Kita sangat
membutuhkan konfrontasi agonistik tentang masa depan Uni-Eropa. Banyak orang
kiri mulai ragu pada kemungkinan membangun, dalam kerangka Uni-Eropa, sebuah
alternatif atas model globalisasi neoliberal.
Uni Eropa
makin dipersepsikan secara intrinsik sebagai proyek neoliberal yang tidak bisa
direformasi. Nampaknya sia-sia mengusahakan transformasi institusi-institusi
neoliberal; satu-satunya solusi adalah keluar.
Pandangan pesimistik seperti ini tidak diragukan lagi merupakan hasil
dari fakta bahwa semua usaha untuk menantang kelaziman kekuasaan neoliberal
senantiasa digambarkan sebagai anti-Eropa yang melawan keberadaan Uni Eropa.
Tanpa
kemungkinan melakukan kritisisme yang absah terhadap kebijakan neoliberal saat
ini, tidak mengejutkan apabila semakin banyak orang berbelok menjadi Euro-skeptisisme.
Mereka (orang yang berbelok pada Euro-skeptisime) percaya bahwa proyek Eropa
itu sendiri merupakan sebab dari keadaan sulit kita. Mereka lebih khawatir integrasi Eropa hanya berarti penguatan
hegemoni neoliberal.
Posisi
seperti itu membahayakan keberlangsungan proyek Eropa. Satu-satunya cara untuk
melawannya adalah dengan membangun keadaan untuk kontestasi demokratik dalam
Uni Eropa.
Pada akar
ketidakpuasaan dengan Uni Eropa terdapat ketiadaan proyek yang bisa memelihara
identifikasi yang kuat antara penduduk Eropa dan menyediakan sebuah tujuan
untuk memobilisasi renjana politik
mereka dalam haluan demokrasi.
Uni Eropa
saat ini tersusun dari para konsumen, bukan warga negara. Ini terutama dibentuk
di sekitar pasar bersama dan tidak pernah benar-benar menciptakan kehendak
bersama Eropa. Jadi tidak mengherankan apabila, dalam masa krisis ekonomi dan
penghematan, beberapa orang akan mulai bertanya-tanya faedahnya. Mereka lupa
pencapaian penting membawa perdamaian pada Eropa.
Sebuah kekeliruan bila menggambarkan krisis ini sebagai
krisis proyek Eropa. Krisis tersebut adalah krisis inkarnasi neoliberal. Ini
sebabnya usaha-usaha untuk memecahkan persoalan itu dengan kebijakan neoliberal
yang lebih banyak saat ini
tidak berhasil.
Pendekatan lebih
baik akan merawat kesetiaan rakyat luas pada Uni Eropa dengan mengembangkan
proyek sosio-politik yang menawarkan alternatif untuk menyingkap model
neoliberal dalam beberapa dekade terakhir. Model ini (neoliberal) dalam krisis
tetapi hal yang berbeda (alternatif) belum tersedia. Kita bisa katakan,
mengikuti Gramsci, bahwa kita sedang menyaksikan sebuah “krisis organik” di
mana model lama tidak bisa berlanjut tetapi yang terbaru belum lahir.
Satu-satunya
cara untuk melawan kebangkitan sentimen anti-Eropa dan menghentikan pertumbuhan
partai-partai populis sayap-kanan yang mendebarkan mereka (penduduk Eropa)
adalah menyatukan rakyat Eropa di sekeliling proyek politik yang memberi mereka
harapan akan masa depan yang berbeda, masa depan yang lebih demokratis.
Membangun
sinergi antara partai kiri dan gerakan sosial di tataran Eropa akan
memungkinkan kemunculan kehendak bersama yang bertujuan melakukan transformasi
secara radikal atas tatanan yang sudah ada.
Alih bahasa: Melfin Zaenuri
Editor:
Risalatul Hukmi
Bisa dibaca juga di lsfcogito.org. Di blog ini sebagai arsip saja.
Comments
Post a Comment