Kita dalam Belantara Fiksi

Berapa banyak orang berkumpul di Monas dan sekitarnya pada Aksi Bela Islam 212? Sangat banyak. Ada yang menyebut lima ratus ribu orang. Ada yang menunjuk angka tujuh juta orang. Banyak orang saling ribut dan berebut angka.
Satu hal yang juga menyita perhatian banyak orang adalah kampanye partai politik, calon kepala daerah, atau calon presiden. Ribuan atau puluhan ribu orang berkumpul di satu tempat, seperti lapangan atau alun-alun kabupaten atau kota. Selain itu, pengajian-pengajian keagamaan dan demonstrasi-demonstrasi di pelbagai daerah Indonesia juga banyak diramaikan oleh para jemaah dan sejumlah aksi massa. Namun, di sini kita tidak hendak memastikan jumlah, melainkan hendak mengajukan pertanyaan: apa yang membuat (menarik) orang dalam jumlah banyak berkumpul pada satu tempat?
“Adalah fiksi,” kata Yuval Noah Harari dalam Sapiens (KPG, 2017). Dunia yang dikhayalkan, tatanan yang diimpikan dan diharapkan, dan (keberlangsungan) masa depan yang dicita-citakan, memungkinkan manusia berkumpul dalam jumlah banyak di suatu tempat. Fiksi mampu mempersatukan individu sekaligus menggerakkan massa. Ada keyakinan pada dalil-dalil agama yang dinodai. Ada yang menaruh harapan pada demokrasi sebagai sistem dan pada calon pemimpin dalam politik elektoral; bahwa kehidupan publik akan menjadi lebih baik. Tak sekadar menarik orang dalam jumlah banyak, tetapi juga turut mempengaruhi kehidupan personal.
Fiksi dapat berupa mitos-mitos, kepercayaan akan dewa-dewi, ataupun keyakinan akan akhirat seperti diajarkan oleh agama-agama. Keyakinan juga dapat diarahkan pada ide-ide politik untuk kehidupan bersama yang lebih baik; pada demokrasi, republik, kesejahteraan dan keadilan, kesetaraan dan kesamaan hak, kemanusiaan dan hak asasi manusia, gender, toleransi, perdamaian dan lain sebagainya. Kita hidup dalam belantara fiksi.
Jika kita hidup dalam belantara fiksi, mengapa kita akhir-akhir ini justru menyumpah-serapah dan memberi label buruk pada fiksi? Apabila fiksi dimaknai sebagai rekaan dan khayalan serta tidak berdasarkan kenyataan, lalu apa yang salah dan buruk dari rekaan dan khayalan itu? Kita sejak kecil diajarkan untuk bermimpi setinggi langit, membangun harapan dan berproses mengejar cita-cita. Kita diperkenalkan perihal kesuksesan dan kebaikan yang selalu sepaket dengan keburukan. Kita sejak kecil diajarkan untuk mengejar fiksi dengan pelbagai rekaan dan khayalan itu. Kita digerakkan dan diarahkan oleh dan pada suatu fiksi. Selain itu, masyarakat, negara, dan tatanan global pun dibangun di atas impian dan harapan. Dibangun di atas fondasi fiksi. Oleh karena itu, mengutuk fiksi berarti mengutuk hidup itu sendiri.
“Fiksi memungkinkan manusia bukan hanya mengkhayalkan ini-itu, melainkan juga melakukannya secara bersama-sama,” kata Harari (hlm. 29).
Fiksi tak sekadar imajinatif, ia memiliki ‘kekuatan’ yang memungkinkan orang, baik individu ataupun kelompok, berkumpul dan bergerak, dengan meneriakkan ‘mantra-mantra’ yang dipercayainya. Fiksi menubuh dalam keseharian dan gerak-gerik manusia.
Orang-orang mempertahankan fiksi-fiksi mereka masing-masing, dan memilih bertahan dalam fiksi tersebut. Kerap kali persaingan dan pertentangan antar fiksi tak dapat dihindarkan, yang tak jarang berujung pada konflik bahkan peperangan. Pertentangan tersebut dapat berbentuk imajinasi, harapan dan masa depan, juga masa silam.
Sebagai gambaran, kolonialisme disokong oleh fiksi-fiksi peradaban Eropa; tentang rasionalitas, humanisme, kemajuan, modernitas dan lain sebagainya. Sehingga, konon Eropa tidak menjajah, melainkan memberadabkan non-Eropa; menyebarkan peradaban Eropa, mengajarkan laku modern, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, tradisi ilmiah, dan rasionalitas.
Namun, setelah kolonialisme Eropa runtuh karena nilai-nilai yang diyakini dan disebarluaskannya sebagai dalih memberadabkan itu, bangsa terjajah pun menuntut kesetaraan Eropa dan non-Eropa. Harari menuturkan (hlm. 239-241) bahwa:
“Orang-orang India, Tiongkok, Asia dan Afrika mempelajari kebudayaan Barat, mempercayai hak asasi manusia dan asas penentuan nasib sendiri, menganut ideologi-ideologi Barat semisal liberalisme, kapitalisme, komunisme, feminisme dan nasionalisme, dan pada akhirnya menuntut status yang setara dengan orang-orang Barat sesuai dengan nilai-nilai itu.”
Kolonialisme dan anti-kolonialisme dibangun dan dipupuk serta digerakkan di atas fiksi-fiksi.
Apabila hendak dikalkulasi, kita bukan sekadar dipengaruhi oleh fiksi, melainkan lebih banyak berinteraksi dan bersentuhan dengan fiksi daripada hal-hal konkret, seperti relasi kekeluargaan dan kekerabatan, relasi kerja, otoritas, kebaikan dan keburukan beserta pembalasannya di akhirat, cinta dan rindu, nilai nominal uang (bukan intrinsik), status sosial, dan pada fiksi-fiksi lain di sekitar kita.
Begitu pula dalam kehidupan bernegara, kita dilingkupi oleh fiksi-fiksi. Bahkan, negara pun didirikan, diikat, dan dibangun dengan fiksi-fiksi, termasuk Indonesia. Indonesia didirikan dengan impian dan cita-cita, dan dibangun dengan impian dan cita-cita pula. Impian tentang keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, kebebasan dan kemerdekaan, serta demokrasi.
Jelasnya, apa yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah fiksi yang menggerakkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Adakah sebuah rezim dalam sejarah republik ini yang sebenar-benarnya dan senyata-nyatanya menerapkan Pancasila dalam kebijakannya? Adanya klaim dan label; demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, dan lain sebagainya. Sampai hari ini pun, Pancasila masih dijadikan cita-cita, ideologi dan falsafah berbangsa dan bernegara. Pancasila masih diperdengarkan kepada jutaan rakyat Indonesia sebagai upaya untuk mengikat persatuan, mengikat imaji tentang kebangsaan dan keutuhan negara.
Demikian juga nasionalisme yang mengikat jutaan rakyat Indonesia. Benedict Anderson menyebut nasionalisme sebagai imagined community (komunitas terbayang), karena berisi orang-orang yang tidak benar-benar mengenal satu sama lain, tetapi diikat oleh imaji tentang persatuan; masa lalu bersama, kepentingan bersama dan masa depan bersama. Dengan nasionalisme, orang tak sekadar mengikat imaji persatuannya, melainkan juga rela mati demi membelanya.
Jika kita hidup dalam belantara fiksi, mengapa kita mengutuk keras orang yang menyandarkan pernyataan Indonesia bubar pada novel fiksi dan marah sekaligus melaporkan orang yang mengatakan ‘jika fiksi adalah mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci adalah fiksi’? Bukankah kitab suci memang berisi fiksi-fiksi tentang kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman, masyarakat, kemanusiaan, toleransi dan perdamaian?
Barangkali kita lupa dengan impian dan cita-cita kita sewaktu kecil.
Pertama kali ditayangkan di antinomi.org. Publikasi di sini untuk arsip.



Comments