Monopoli Tafsir Pancasila

Pemerintah bergeming, bahwa BPIP bukan untuk memonopoli tafsir Pancasila. Tapi demi kebhinekaan, untuk kesatuan Indonesia, supaya mencegah perpecahan antar anak bangsa. Benarkah demikian? atau adakah tujuan lain pendirian BPIP selain hendak memonopoli tafsir Pancasila oleh penguasa? Melihat fenomena akhir-akhir ini, sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah, dengan dibentuknya BPIP sebagai legitimasi, tidak hendak memonopoli tafsir Pancasila. Yang terjadi justru sebaliknya; monopoli tafsir Pancasila oleh pemerintah.

Sematan anti-Pancasila kepada kelompok, ormas atau golongan tertentu yang dikemukakan oleh pemerintah merupakan bukti monopoli tafsir Pancasila. Kemudian diikuti oleh pendukung fanatiknya. Di balik ‘Pancasilais dan anti-Pancasila’ terdapat jurang menganga berisi kriteria, ciri-ciri dan nilai-nilai yang telah ditetapkan pemerintah; bahwa Pancasilais does this, anti-Pancasila does that.

Monopoli tafsir Pancasila menjalar pada pembubaran dan penggebukan kelompok atau golongan yang dianggap tidak Pancasilais atau anti-Pancasila. Dalam sejarah, kita mengalami monopoli tafsis Pancasila. Digebuk atas nama Pancasila, dibubarkan atas nama Pancasila. Kini, rezim ini hendak mengulangi itu; menjadikan Pancasila sebagai palu yang siap menghantam apa saja dan siapa saja.  

Tak hanya pembubaran dan penggebukan, monopoli tafsir juga merembet kepada pemberhentian beberapa pengajar di beberapa kampus di Indonesia. Kampus seharusnya memegang teguh prinsip kebebasan akademik di mana tidak Pancasilais atau anti-Pancasila itu sah-sah saja dalam diskurus ilmu pengetahuan. Kampus tak berhenti pada memunculkan multi tafsir atas Pancasila, bahkan lebih radikal lagi dengan mempertanyakan relevansi Pancasila sebagai ideologi zaman kiwari dan kemungkinan-kemungkinan mengubah ideologi negara. Sebagai wujud mempertanyakan dan menguji terus-menerus. Karena yang demikian, ilmu pengetahuan dapat berkembang dan teori semakin kokoh.

Menjadi aneh ketika kampus turut serta mendeklarasikan yang ‘sudah final’ dan yang ‘harga mati’. Kalau sudah final, kalau harga mati, buat apa didiskusikan dalam dunia akademik. Bukan diskusi namanya, melainkan indoktrinasi ataupun sosialisasi monopoli tafsir. Jikapun terdapat yang final dan yang harga mati dalam kampus, maka itu merujuk pada pencarian kemungkinan-kemungkinan terus menerus dan mempertanyakan tiada henti.     


Comments