Populisme dan Ideologi Bukan Ini Bukan Itu
“Populism is one of the main
political buzzwords of the 21ST century,” tulis
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser sebagai kalimat pembuka pada
buku Populism: A Very Short Introduction.
Ya, saat ini, populisme --baik sebagai ideologi maupun gerakan politik-- telah
menyehari dalam dinamika politik global. Gelombang populisme di hampir seluruh
dunia tak dapat dielakkan. Getarannya dapat dirasakan pada sendi-sendi
kehidupan politik. Banyak diperbincangkan sekaligus menjadi diskursus politik.
Bak pahlawan; dikecam pada satu sisi, dijunjung sekaligus ‘diteladani’ pada
sisi lain.
Kecaman
terhadap populisme datang dari pelbagai penjuru karena melafalkan sentimen
primordial seperti pribumi sebagai authentic
people dan asing sebagai non-authentic
people. Juga sentimen anti-imigran dan anti-muslim serta xenophobia seperti
yang terjadi di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump dan di beberapa
negara Eropa.
Di Indonesia,
semakin mendekati momentum politik, suara anti-asing, anti-LGBT,
anti-komunisme, anti-cina, anti pemimpin berkeyakinan berbeda semakin nyaring
diteriakkan. Suaranya lantang. Pelbagai media dikerahkan untuk membentuk opini
publik. Segregasi antara ‘kita’ dan ‘mereka’ sangat (diper)jelas. Semuanya
digunakan atas nama the people untuk
meraih simpati publik, untuk mobilisasi massa, untuk meningkatkan jumlah
pemilih. Isu-isu dan slogan-slogan dilontarkan: ‘pribumi sebagai pemilik sah
negara’, ‘we are the people’, ‘president of the people’, dan lain
sebagainya. Inilah yang disebut populisme sayap kanan, right-wing populism; ketika populisme bercampur baur dengan pelbagai
varian etno-nasionalisme, dan kerap kali merupakan respon atas globalisasi.
Pada sisi
lain, ada populisme sayap kiri, left-wing
populism. Klaimnya sama: atas nama kedaulatan rakyat, we are the people. Bedanya terletak pada basis pemikiran, suara dan
isu yang diteriakkan. Populisme sayap kiri –sesuai dengan namanya—lekat dengan
gagasan kiri; marxisme, sosialisme ataupun komunisme. Kata Mudde dan
Kaltwasser: “[…] most left-wing populist
combine populism with some form of socialism, while right-wing populist tend to
combine it with some type of nationalism (Mudde dan Kaltwasser, 2017:21).”
Dalam konsep
Chantal Mouffe, populisme sayap kiri digunakan untuk melawan populisme sayap
kanan demi merebut wacana dan hegemoni dalam ruang publik (The Conversation, 30
April 2016). Gagasan Mouffe (dan juga Laclau) tersebutlah yang menginspirasi
gerakan protes bernama Indignados di
Spanyol dengan jargonnya yang terkenal: We
have a vote but we do not have a voice, serta melahirkan partai baru Podemos. Senada dengan Mouffe, populisme
sayap kiri ini dalam diksi Budiman Sudjatmiko disebut politik progresif,
digunakan untuk melawan populisme kanan jauh, far-right populism (Kompas, 4 November 2017).
Anti-kapitalisme
dan anti-neoliberalisme menjadi basis pemikiran dan gerakan populisme sayap
kiri. Baik kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan neoliberalisme sebagai
ideologi politik melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat. Rakyat lesu,
kemiskinan di mana-mana, harga barang-barang meroket, kekayaan dinikmati
segelintir orang dan lain sebagainya. Juga, mis-manajemen ekonomi yang memicu
kemunculan populisme sayap kiri.
Keadaan
tersebut yang ‘dimanfaatkan’ oleh populis sayap kiri untuk ‘mengolok-olok’
penguasa dan para elite demi menarik simpati publik dan memobilisasi massa
serta menekankan pentingnya gagasan-gagasan kiri untuk suatu tatanan yang lebih
baik. Misalnya, di Amerika Latin ada Hugo Chávez dengan partainya United Socialist Party of Venezuela (PSUV),
di Yunani ada koalisi kiri radikal bernama Syriza dan Indignados di Spanyol yang melahirkan partai baru bernama Podemos serta gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat.
Sebenarnya,
mengolok-olok penguasa adalah hal intrinsik dari populisme, baik populisme
sayap kanan maupun sayap kiri. Kata Margaret Canovan –yang dikutip oleh Ernesto
Laclau—“[…] the two features universally
present in populism are the appeal to the people and anti-elitism (Laclau,
2005: 7).” Keberpihakan pada rakyat
dan anti-elite adalah wacana yang dibangun oleh populisme; rakyat vis a vis elite. Populisme ‘menyadarkan’
silent majority untuk menggunakan hak
partisipasi politiknya; mengkritik pemerintah, mempengaruhi opini publik,
melakukan protes dan lain sebagainya. Rakyat digambarkan sebagai yang
terabaikan, yang termarjinalkan, yang tak tersentuh oleh elite penguasa yang
dipotret sebagai koruptif dan tak peduli pada rakyat.
Siapa rakyat
dan siapa elite? “The people and the
elite are the empty signifier,” kata Ernesto Laclau. Sebuah penanda kosong
yang terhindar dari keutuhan (totalitas) arti dan makna karena proses
konstruksi terus menerus. Senada dengan Laclau, “ya tergantung pada host-ideology di mana populisme
menempel,” kata Mudde dan Kaltwasser. Host-ideology
(saya terjemahkan sebagai ‘ideologi utama’) merujuk pada ideologi pada
umumnya. Kata lain host-ideology yang
diperkenalkan oleh keduanya adalah ‘thick-centered
ideology’ dan ‘full ideology’,
contohnya: fasisme, sosialisme, liberalisme dan lain sebagainya (Mudde dan Kaltwasser,
2017:6).
Pengertian rakyat
dan elite dapat berupa kategori politik, status sosio-ekonomi dan identitas
nasional ataupun kombinasi dari kedua atau ketiganya. Tergantung pada kemesraan
populisme dengan suatu ‘ideologi utama’. Misalnya, jika populisme bersanding
dengan etno-nasionalisme ataupun ultra-nasionalisme, maka rakyat diartikan
sebagai pribumi atau orang asli yang terabaikan, miskin di negeri sendiri
melawan elite yang pro-asing atau pengusaha atau perusahaan asing di Indonesia.
Pada konteks tersebut, tak hanya pengertian rakyat dan elite yang cair, pengertian populisme pun sangatlah cair. Tak ada definisi yang pasti. Populisme bisa merujuk pada Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, pembubaran pemerintah atas organisasi masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila lewat UU Ormas ataupun distribusi kepemilikan tanah yang timpang dan sangat tidak merata. Populisme bukan semata-mata ultra-nasionalisme, fundamentalisme keagamaan ataupun politik identitas. Populisme, menurut Mudde dan Kaltwasser (dan saya sependapat dengan keduanya), merupakan ‘thin-centered ideology’, sebuah ‘ideologi cair’ yang dengan lenturnya dapat berafiliasi dengan ‘ideologi utama’, sehingga mampu menarik atensi publik yang lebih luas.
Dipublikasikan di blog ini sebagai arsip. Sebelumnya publis di lsfcogito.org
Comments
Post a Comment