Prabowo Dilarang Keras Jadi Cawapres Jokowi
“Demi menjaga
keutuhan, mencegah perpecahan dan meminimalisir ujaran kebencian, saya setuju
saja Pak Prabowo jadi cawapresnya Pak Jokowi.” Kurang lebih begitu jika
ditranskip secara nyaman pernyataan
Romi dan Bamsoet. Jika benar-benar terjadi, Prabowo menjadi cawapres Jokowi,
maka ini ancaman bagi demokrasi kita; sudah jelas demokrasi kita hari ini sudah
jatuh ke jurang oligarki, eh ini mau
ditambah dengan pragmatisme politik. Mengapa demikian?
Begini. Dalam
banyak survey, calon presiden yang dapat menandingi Jokowi masih Prabowo. Bila Prabowo
gabung ke Jokowi, bisa diterkalah kekuatannya. Akan jadi pasangan terkuat. Yang
lain bakal mempertimbangkan berkali-kali untuk maju atau mungkin ada calon
boneka. Siapa tahu. Yang jelas ini tidak sehat bagi sistem demokrasi.
Demokrasi adalah
kompetisi. Ramai, riuh, cerewet, kritik terus. Pokoknya tidak boleh adem-ayem saja. Harus ada yang ngomong
terus. Harus ada yang ngerampas mikrofon dan gebrak-gebrak meja. Nah jika Jokowi-Prabowo berpasangan, kan peluang untuk menang sangat besar. Ketika
sudah berkuasa, koalisi di parlemen sangatlah gemuk. Rapat-rapatnya ya bakal kayak
rapat keluarga. Ketok palu saja. Ini sangat berpotensi menjaga negara
totaliter. Yang dulunya oposisi dan vokal kini udah berkoalisi. Memang ada
masyarakat sipil, tapi masyarakat sipil harus didukung kekuatan politik real di
legislatif dan eksekutif. Untuk meng-goal-kan
aspirasinya.
Saya lebih
suka dengan kondisi sekarang. Ada oposisi. Ramai, riuh. Ada yang cerewet. Ada alarm.
Terlepas dari isi cerewetnya, setidaknya pemerintah senantiasa berhati-hati
dalam membuat kebijakan. Karena akan ada orang yang nyari bolongnya, nyari
kesalahan pemerintah. Dan ini baik. Check
and balance.
Negara tak
boleh adem-ayem. Harus ramai dan riuh. Yang adem-ayem itu kemungkinannya ada
dua: gak ada masalah apa-apa dan ada apa-apa. Atau kemungkinan ketiga: acuh tak
acuh. Pertanyaannya: masak negara seluas ini tidak ada masalah? Memang sih, penguasa itu maunya yang
tenang-tenang saja. Tidak menghendaki keriuhan dan kecerewetan. Mengganggu stabilitas.
Mengancam persatuan, katanya.
Perihal
perpecahan dan ujaran kebencian gimana? Keduanya, bagi saya, adalah soal
kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan di tengah-tengah masyarakat. Perihal
distribusi kekayaan, kesenjangan sosial, konflik agraria, pembudayaan literasi
dan memasyarakatkan toleransi, pengelolaan sumber daya alam, dan lain
sebagainya.
Oleh karenanya,
Prabowo, dalam Pilpres 2019, tak boleh gabung ke kubu Jokowi. Jika tak mau maju
capres, jadilah king maker. Bisa menunjuk
Anies, Gatot atau siapalah. Kompetisi harus mendarah daging dalam demokrasi
kita.
Comments
Post a Comment