Merawat Akal Sehat

Ada satu pernyataan rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, yang patut kita soroti dan telaah bersama perihal larangan memakai cadar bagi mahasiswi UIN Sunan Kalijaga: larangan menggunakan cadar bagi mahasiswi diperuntukkan untuk menangkal dan mencegah radikalisme dan fundamentalisme Islam tumbuh subur di kampus. Tindakannya: dilakukan pembinaan (konseling) oleh kampus terhadap mahasiswi bercadar, jika pada rentang waktu tertentu masih ‘tetap saja’, maka akan dikeluarkan dari kampus.

Bercadar diasosiasikan dengan penganut paham radikalisme dan fundamentalisme Islam. Ada persoalan serius dalam pernyataan-pengasosiasian tersebut. Ada persoalan pelecehan terhadap akal sehat. Persoalan itu berupa: (1) apakah cara berpakaian seseorang menentukan afiliasi pemikiran atau ideologi seseorang dimaksud?, lebih jauh lagi: (2) apakah afiliasi pemikiran atau ideologi dapat diukur? dan (3) bagaimana seharusnya perempuan mendefiniskan dirinya, termasuk terhadap tubuhnya sendiri?

Tentu jawabannya tidak: cara berpakaian seseorang tidak mencerminkan afiliasi terhadap ideologi tertentu. Ideologi sangatlah abstrak dan berpakaian adalah hal-hal kongkret. Jarak antar keduanya sangatlah renggang. Meskipun pada kasus tertentu, ada seseorang atau sekelompok orang berpakaian tertentu dan melakukan tindakan tertentu. Hal ini tak dapat dan tak cukup untuk kemudian menarik kesimpulan bahwa orang berpakaian tertentu melakukan tindakan tertentu, sehingga orang lain yang juga mirip cara berpakaiannya akan melakukan tindakan tertentu atau masuk dalam kelompok tertentu.

Tak semua yang bercadar terafiliasi pada ideologi atau pemikiran keagamaan tertentu. Sama halnya dengan stigma yang berkembang di masyarakat: tak semua yang bertato dan gondrong sebagai kriminal; yang berbikini sebagai pelacur atau immoral dan lain sebagainya. Perihal stigma gondrong dan bertato, negara pada masa Orde Baru –dengan mengerahkan perangkat dan alat negara yang ada—mendefinisikan gondrong dan bertato sebagai kriminal. Sampai sekarang stigma tersebut masih ada walaupun sudah berkurang drastis. Saya kira, stigma negatif terhadap yang bercadar adalah sebuah konstruksi. Ada peran negara, lembaga agama dan lebih-lebih media massa dalam proses kontruksi tersebut.

Selain itu, larangan mahasiswi bercadar adalah bentuk intervensi terlalu jauh dari pihak kampus terhadap kehidupan privasi; mendefinisikan bagaimana seharusnya perempuan muslimah yang direstui oleh kampus yang menjunjung tinggi Islam moderat. Ada hak dan kebebasan individu yang dilanggar di situ. Di balik intrvensi terlalu jauh itu, ada kedangkalan dalam berpikir yang melecehkan akal sehat, dengan mengasosiasikan bercadar sama dengan radikalis dan fundamentalis serta intoleransi. Radikalisme dan fundamentalisme keagamaan tidak ada kaitannya dengan pakaian.

Ada ketakutan terhadap simbol-simbol. Dan akhir-akhir ini masyarakat sedang didorong untuk takut. Ketakutan diciptakan. Takut pada yang bercadar karena dianggap intoleran, radikal dan fundamentalis. Sama halnya takut pada palu-arit.

Terakhir, setiap manusia memiliki otoritas atas dirinya. Ada hak dan kebebasan individu bersemayam di sana yang tak bisa direcoki oleh siapapun, termasuk kampus dan negara. Hak dan kebebasan individu itu termasuk di dalamnya adalah mendefinisikan diri sendiri, mendefinisikan tubuh. Termasuk perempuan.

Perempuan memiliki otoritas pada dirinya, pada tubuhnya. Bukan masyarakat, bukan negara, bukan pula orang lain. Meskipun dalam kenyataan, konstruksi atas tubuh perempuan itu melibatkan pelbagai elemen, hal dan sector. Mengutip Dandhy Dwi Laksono dalam status facebook-nya:  

“Yang membedakan cadar dan bikini adalah kesadarannya. Yang bercadar bisa jadi memiliki kesadaran penuh, bisa juga menjadi korban dogma yang membuatnya "tak berdaulat atas tubuhnya sendiri". Begitu juga pakaian mini atau bikini. Bisa jadi itu simbol ekspresi kesadaran dan kedaulatan perempuan, namun juga bisa korban dari standar industri kecantikan dan mode dengan acuan kesempurnaan yang dibentuk oleh iklan.”

Comments