Kiai dan Politik Praktis

Selain pedangdut, dalam PIlkada, Kiai juga menjadi rebutan. Masing-masing pasangan calon mendatangi Kiai. Tentu meminta dukungan, sekaligus 'unjuk diri' sebagai calon yang dekat dengan ulama'. Sebagai isyarat keberpihakan kepada agama. Pasangan calon kepala daerah yang berhadap-hadapan pun berlomba-lomba dalam dukungan dan pemberitaan; bahwa Kiai A dari Pesantren Z telah mendukungnya.
Modal sosial dan modal budaya yang dimiliki Kiai menjadi daya tarik tersendiri. Juga otoritas ilmu agama yang disematkan kepada mereka. Para Kiai memiliki ummat yang setia nan loyal. "Hidup mati ikut titah Kiai." Dukungan Kiai adalah satu tarikan nafas (meskipun tak seluruhnya, setidaknya sebagian besar) dengan dukungan ummatnya, jama'ahnya. Politik elektoral mengharuskan pemilih dalam jumlah banyak dan menarik Kiai dalam dukung-mendukung calon kepala daerah adalah upaya untuk menambah jumlah pemilih.

Di Jawa Timur, dan beberapa kabupaten atau kota di dalamnya, dukung-mendukung Kiai adalah hal lumrah yang bisa ditemui menjelang dan dalam proses Pilkada. Karena memang, Jawa Timur adalah basis Nahdlatul Ulama. Untuk memenangkan Pilkada, calon harus 'mencitrakan' diri sebagai orang NU atau setidaknya dekat dengan NU, yakni dengan meminta restu dan dukungan dari Kiai sebagai simbol ketokohan yang dimulaikan dalam masyarakat NU.
Kiai berada dalam pusaran politik praktis. Tentunya baik sebagai kontrol terhadap politisi. Pertanyaannya, apakah politisi mau dikontrol dengan pasrah oleh Kiai ketika telah berkuasa? Di Bondowoso, kampung saya, ya tetap gitu-gitu saja; masuk sepuluh besar kabupaten termiskin di Jawa Timur berdasarkan data BPS Jatim 2016. Padahal Kiai ada di Bondowoso dan terlibat aktif dalam politik praktis dan pemerintahan. Ini mengindikasikan bahwa politik bukan soal moral, melainkan soal kebijakan dan urusan publik dan ini rasional serta ada ilmunya. Persoalan lain adalah tak jarang calon yang didukung Kiai atau 'mencitrakan' diri sebagai Kiai terlibat kasus korupsi. Di Madura misalnya.
Dalam konteks ini, benar apa yang disampaikan Daniel Dhakidae pada acara peringatan 44 tahun peritiwa Malari di UC Hotel UGM bahwa korupsi tak terkait dengan moralitas, korupsi sangat terkait dengan kekuasaan. "Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely," kata Lord Acton. Dan (dukungan) Kiai memiliki power yang berpotensi untuk disalahgunakan.
Kritik atas Kiai yang terlibat dalam politik praktis dianggap tidak elok. 'Cangkolang' dalam bahasa Maduranya. Bahkan sampai pada taraf menghina Kiai. Padahal politik adalah arena kritik karena terkait dengan kebijakan dan urusan publik, dan Kiai bukanlah malaikat yang setiap perkataan dan tindakannya mencerminkan surga. Kiai adalah manusia yang juga suka kemewahan. Bukan hanya Fredrich Yunadi yang suka kemewahan.

Comments