:sebuah balas dendam, pembunuhan yang terencana

Poster Murder on The Orient Express
Saya suka film-film detektif dan intelejen. Dua tema tersebut penuh misteri. Tapi ketika dijadikan serial dengan kasus yang berbeda, namun dengan ending yang sudah ketebak dan proses penyelesaian yang hamper sama, saya merasa itu menjenuhkan. Satu episode, satu kasus, dan selesai. Ketebak. Membosankan.

Itulah mengapa saya tidak melanjutkan serial Sherlock Holmes dan James Bond. Tapi ketertarikan pada film-film detektif dan intelejen tetap terpupuk. Ketertarikan itu mengantarkan saya untuk nonton film detektif lain berjudul Murder on The Orient Express. Sesuai dengan namanya, film ini bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan di dalam kereta eksekutif dari Turki ke London. Diangkat dari novel Agantha Christie berjudul sama.

Berbeda dengan Holmes yang memecahkan kasus lewat pendekatan scientific, Hercule Poirot –sanga detektif-- menggunakan pendekatan asal usul untuk memecahkan kasus pembunuhan Cassetti yang sebelumnya diketahui menggunakan nama samaran Ratchett. Tentang Ratchett hingga muncul namanya sebenarnya, Cassetti, adalah buah dari pendekatan itu. Sehingga, Poirot mengetahui siapa Cassetti sebenarnya, yakni penculik sekaligus pembunuh Daisy Amstrong, seorang gadis dari pasangan Sonia dan Colonel Amstrong. Kematian anaknya tersebut kemudian disusul oleh kematian Sonia, sang ibu, akibat melahirkan secara prematur dan lalu Colonel Amstrong yang bunuh diri.

Nama Amstrong dan peristiwa terdahulu di balik nama itu menjadi penting dalam kasus tersebut. Menjadi petunjuk ‘siapa pembunuh Cassetti’. Ketika Cassetti ditemukan tewas pada pagi hari, ‘siapa pembunuh Cassetti’ harus ditemukan sebelum kereta sampai di pos pemberhentian selanjutnya, bayangan dalam benak saya adalah hanya satu orang pembunuhnya. Seorang wanita. Karena ada scene yang menampilkan seorang wanita keluar dari bilik Cassetti dengan menggunakan jubah merah bermotif naga. Scene yang mengelabuhi. Juga diperkuat dengan penemuan sapu tangan wanita dengan bertuliskan huruf H. Selain sapu tangan, bukti lain adalah cairan penenang. Bukti petunjuk ada.

Tapi Poirot tak berhenti pada bukti petunjuk. Ia menyelidiki satu persatu penumpang yang kurang lebih berjumlah dua belas orang, termasuk dirinya. Yang ia lakukan adalah melacak asal-usul semua penumpang. Memeriksa dokumen-dokumen dan memanggil ingatan-ingatannya tentang kasus Amstrong. Ia yakin, pembunuhan Cassetti tak ada kaitannya dengan bisnis barang langka palsu yang ia tekuni sekarang.

Wawancara orang per orang seakan-akan mengantarkan penonton pada kesimpulan sesaat; bahwa yang diwawancari itulah pembunuhnya. Meskipun kerap kali wawancaranya seperti layaknya wawancara kerja. Kaku, datar-datar saja. Kurang begitu menegangkan sehingga saya kadang tak masuk dalam percakapan.

Poirot sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang mengarah pada ‘oh orang ini pembunuhnya’. Hanya kemungkinan. Tapi ternyata tidak. Menciptakan kebingungan pada dia sendiri. Ditambah kerinduannya akan kekasihnya. Bukti-bukti petunjuk di bilik Cassetti bukan hanya milik satu orang. Tambah membingungkan. Namun pelacakannya akan asal usul semua penumpang kereta mengantarkan Poirot pada satu kesimpulan: motif pembunuhan adalah keluarga Amstrong.
Ya, semua penumpang dalam kereta, kecuali Poirot, memiliki asal-usul yang sama: Amstrong. Cassetti si pembunuh Daisy Amstrong dan penumpang lainnya adalah memiliki keterikan emosional dengan Amstrong. Hasilnya: sebuah balas dendam, pembunuhan yang terencana dan dilakukan secara kolektif.


‘Siapa pembunuhnya?’ memang mengecoh. 

Comments