Pancasila sebagai ‘Proyek Bersama’, Bukan Sekadar ‘Warisan Bersama’
Sebagai
sebuah bangsa dan negara, Indonesia disokong oleh keberagaman dan kemajemukan.
Ada pelbagai macam suku bangsa, keberagaman bahasa, agama, keyakinan warisan
nenek moyang, dan kekayaan budaya. Semuanya tersebar di pulau-pulau dari Sabang
Sampai Merauke. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baru-baru ini, telah
mengesahkan 16.056 pulau di Indonesia melalui Kelompok Penamaan Pakar Geografi.
Angka tersebut bisa bertambah seiring waktu. Hal ini mengingat banyaknya
pulau-pulau tak berpenghuni sekaligus tak bernama di Indonesia.
Keberagaman menyebar di tiap-tiap
pulau di Indonesia. Belum lagi tiap pulau memiliki keberagaman tersendiri,
memiliki lokalitas khas, yang antara satu daerah dengan daerah lain mempunyai
keunikan sendiri. Keberagaman mendarah daging dalam tubuh Indonesia, bahkan
keberagaman --sebagai realitas geografis dan demografis-- lebih dulu ada;
mendahului kesadaran akan persatuan dan berdirinya Republik Indonesia (Siti
Murtiningsih, 2017: 3). Bagi Indonesia, keberagaman dan kemajemukan adalah
sebuah keniscayaan, yang turut membentuk corak keindonesiaan sebagai sebuah bangsa
dan negara.
Karena sifatnya yang niscaya, keberagaman di Indonesia harus diterima tanpa adanya perbedaan. Sebagaimana kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan.” Menggugat keberagaman (heterogenitas) melalui upaya penyeragaman (homogenisasi) berarti merongrong keindonesiaan. Indonesia yang heterogen harus menubuh dalam diri bangsa Indonesia dan senantiasa terejawantahkan dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara.
Karena sifatnya yang niscaya, keberagaman di Indonesia harus diterima tanpa adanya perbedaan. Sebagaimana kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan.” Menggugat keberagaman (heterogenitas) melalui upaya penyeragaman (homogenisasi) berarti merongrong keindonesiaan. Indonesia yang heterogen harus menubuh dalam diri bangsa Indonesia dan senantiasa terejawantahkan dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara.
Pada tataran nasional, keindonesiaan
tak dapat dijadikan batu pijakan untuk melemahkan lokalitas yang beragam
(misalnya kearifan lokal di tiap-tiap daerah). Antara keindonesiaan yang
bersifat nasional dan ragam lokalitas harus saling menopang satu sama lain,
meskipun kita telah berikrar untuk satu bangsa, yakni bangsa Indonesia, sejak
tahun 1928. Kata ‘satu’ tersebut harus dipahami dalam konteks keberagaman:
bahwa yang menyatakan itu pada Sumpah Pemuda 1928 adalah berasal dari banyak
golongan di bumi pertiwi.
Kontur keberagaman tersebut, pada
kelanjutannya, sangat mempengaruhi falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. Yang
secara jelas termaktub dalam Pancasila. Kata Soekarno (1958): “Tetapi kecuali
Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah
alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang
sampai Merauke hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar Pancasila itu.”
Sebagai sebuah falsafah dan ideologi
bangsa, Pancasila menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi dasar
bergerak, baik sebagai kebijakan ke dalam; mempertegas keindonesiaan, maupun
dalam hubungannya dengan negara lain; memperteguh kedaulatan Indonesia.
Pancasila sebagai
‘Proyek Bersama’ (Common Project)
Nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila tidak serta ada begitu saja. Melainkan digali
dari akar historisitas bangsa Indonesia –bahkan sebelum nama ‘Indonesia’ ada
dalam imajinasi pendiri bangsa. Selain dari aspek historisitas, Pancasila
merupakan upaya abstraksi dari kehidupan menyehari bangsa Indonesia yang
plural. Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia sejak pra maupun paska kolonial dan sekumpulan gagasan
hasil pertemuan Nusantara dan ide-ide kosmopolitan di masanya (Siti
Murtiningsih, 2017: 10). Yudi Lathif menyebut Pancasila sebagai karya bersama
(Yudi Lathif, 2012: 39-40). Karya atau proyek bersama bernama Pancasila inilah
yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan kolektif berbangsa dan bernegara.
Tak ada represi atas suatu kelompok dengan mengatasnamakan Pancasila.
Pancasila sebagai proyek bersama
dapat dilacak akar historisitasnya pada dua aspek, yakni: aspek kemajemukan
pemikiran dan aspek keberagaman anggota
BPUPKI yang berasal dari pelbagai golongan. Pertama
dari aspek pemikiran. Bahwa –sebagaimana juga telah disinggung di
awal—prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka yang dirumuskan oleh para
pendiri bangsa itu tidaklah dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi
sejarah keindonesiaan, yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman
gelap penjajahan, melainkan menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan
Nusantara (Yudi Latif, 2012: 4). Oleh karena historisitasnya ini, pelbagai
pemikiran yang hadir di bumi pertiwi turut serta merangsang lahirnya Pancasila.
Pada fase penggalian ini, Yudi Lathif menyebutnya, fase pembuahan, ada pelbagai
pemikiran dan gagasan yang saling berdialog dan, sehingga memicu kelahiran
Pancasila. Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, sejak 1924, merumuskan
konsepsi ideologi politik bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan
pada empat prinsip, yakni: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan
kemandirian (self-help) (Yudi Lathif,
2012: 50).
Konsepsi ideologis yang berjumlah
empat prinsip tersebut dimajukan oleh PI merupakan penggalian dari realitas
sosio-politik yang ada di ‘Indonesia’ sebelumnya. Persatuan nasional merupakan tema utama Indische Partij, non-kooperasi merupakan paltform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Sarekat Islam, serta solidaritas merupakan simpul yang
menyatukan ketiga tema tersebut (Yudi Lathif, 2012: 6). Ditambah pula dengan
gagasan para tokoh pendiri bangsa, antara lain Tan Malaka dengan paham
kedaulatan rakyat di bukunya, Naar de Republiek
Indonesia (Menuju Republik Indonesia), Tjokroaminoto dengan sintesis antara
Islam, sosialisme dan demokrasi, serta Soekarno dengan ‘Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme’ yang tertuang dalam esainya di majalah Indonesia Moeda. Selain
itu masih banyak tokoh lain –terutama anggota BPUPKI-- yang mengemukakan
gagasan dan keberpihakannya. Dengan demikian, Pancasila merupakan produk
gagasan yang mempertautkan ‘masa lalu’ untuk dilaksanakan di ‘masa kini’ demi
proyek ‘masa depan’ bersama, yakni Indonesia merdeka.
Kedua,
aspek keberagaman terekam dalam anggota BPUPKI yang berasal dari pelbagai
golongan. Ada yang dari golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat
(kepala jawatan), wakil kerajaan, pangreh praja (residen/wakil residen, bupati,
walikota) dan golongan peranakan yang meliputi peranakan Tionghoa, peranakan
Arab, peranakan Belanda serta keterwakilan perempuan juga ada dalam keanggotaan
BPUPKI. (Yudi Lathif, 2012: 9)
Keberagaman keanggotan BPUKI
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dengan Pancasila sebagai welstanchaung-nya merupakan proyek dan
milik bersama, bukan milik golongan tertentu ataupun mayoritas. Realitas ini
berkait kelindan dengan kebhinekaan Indonesia yang terpatri dalam realitas
geografis dan demografis. Kebhinekaan adalah sebuah kenisyaan yang harus
diterima tanpa perbedaan. Kebhinekaan juga mensyaratkan kesetaraan antara satu
dengan yang lain; antara individu satu dengan yang lain, antara golongan satu
dengan yang lain, antara suku satu dengan yang lain, antara agama satu dengan
yang lain. Tak ada superioritas dalam kebhinekaan Indonesia. Semuanya ditujukan
dan diikat dalam komitmen politik bersama dibawah payung Republik Indonesia
demi tercapainya peradaban bangsa yang luhur. Sehingga, tirani mayoritas adalah
penentangan secara langsung atas prinsip permusyawaratan yang berlandaskan
kebijaksanaan. Semuanya dibangun di atas kesetaraan. Demikian pula dalam
sila-sila yang berjumlah lima tersebut: saling melandasi dan berhubungan satu
sama lain.
Nilai-nilai ketuhanan (relijiusitas)
sebagai sumber etika dan spritualitas (yang juga menegaskan Indonesia bukanlah
negara sekuler (secularization) dan
juga bukan negara agama (privatitation),
melainkan differentation yang
membedakan peran negara dan agama); nilai-nilai kemanusiaan sebagai fundamen
etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia; nilai-nilai persatuan
kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan; nilai-nilai
kedaulatan rakyat berdasarkan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan yang dijunjung tinggi dalam mengaktualisasikan nilai ketuhanan,
kemanusiaan, dan nilai persatuan kebangsaan; dan keempat nilai sebelumnya
tersebut diarahkan demi terwujudnya nilai-nilai keadilan sosial. (Yudi Lathif,
2012: 42-46)
Ajaran yang dikandung Pancasila
tersebut merupakan sintesis dari proses dialogis dan dialektis pelbagai
pemikiran dan gagasan di ‘Indonesia’. Oleh karena ajarannya tersebut, setelah
Soekarno berpidato di PBB pada 30 September 1960 dengan judul “To Build the World A New”, Bertrand
Russel –filsuf inggris—memuji Pancasila sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang
merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis) (Yudi
Latif, 2012: 47).
Memaknai Pancasila sebagai ‘proyek
bersama’, bukan ‘warisan bersama’, memiliki konsekuensi yang signifikan
terhadap internalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, saya meminjam term ‘proyek bersama’
(common project) dari Benedict
Anderson, yang digunakannya untuk memberi sentuhan baru nan segar terhadap
pengertian nasionalisme. Bahwa nasionalisme bukanlah “warisan bersama”,
melainkan “proyek bersama”. “Proyek bersama” selalu bersifat kini dan masa
depan serta lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan
orang lain (Benedict Anderson, 1999). Lebih lanjut, kata Anderson (Benedict
Anderson, 1999): “Seseorang yang masih memandang bahwa “perasaan“ dari Indonesia
merupakan sebuah “warisan” yang harus dijaga dengan segala cara dapat berujung
pada perlakuan kekerasan kepada warga yang hidup dalam ruang geografis yang
abstrak tersebut.”
Dalam konteks Pancasila sebagai
‘proyek bersama’, ia akan memiliki daya pembaharu dan kontekstualisasi yang
kuat ketimbang menganggapnya sekadar ‘warisan bersama’. Menganggap sesuatu
sebagai ‘warisan’ berarti menuntut pelestarian dan penjagaan-perawatan
sedemikian rupa sehingga keasliannya terjamin. Hal ini tidak masalah jika
‘warisan’ tersebut berupa benda-benda sejarah. Akan berbeda perlakuannya jika
dihadapkan pada nilai-nilai abstrak semacam Pancasila. Karena Pancasila lahir
dalam ruang tertentu dan konteks waktu tertentu pula, sehingga untuk
mengimplementasikannya pada ruang dan kondisi zaman yang telah berubah, perlu
adanya (re)interpretasi nilai-nilai abstrak tersebut.
Dengan memaknai Pancasila sebagai
‘proyek bersama’, mengindikasikan tanggungjawab, interpretasi dan
pengejawantahan Pancasila ada di pundak bersama, yakni rakyat. Hal ini juga
menggeser paradigma yang semula Pancasila hanya melayani kepentingan vertikal
(negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal (rakyat);
memperkuat peran dan kontrol rakyat. Sehingga,
tidak terjadi lagi kekerasan oleh negara terhadap rakyatnya atas nama
Pancasila seperti halnya pada zaman Orde Baru. Apa yang terjadi pada zaman Orde
Baru perihal pemberlakuan tafsir dan asas tunggal Pancasila merupakan penodaan
atas nilai-nilai luhur Pancasila.
Pancasila dimonopoli oleh negara dan
rakyat mau tidak mau harus menerima ‘tafsir’ tunggal Pancasila menurut rezim
Orde Baru. Pancasila diperalat untuk melanggengkan kekuasaan dan melancarkan
kepentingan pembangunan. Rakyat yang
kritis dan bersuara lantang diberi label “anti-pembangunan” dan “anti-Pancasila”.
Sebagai penutup, saya hadirkan pernyataan Benedict Anderson (1999) untuk kita
renungkan bersama: “Jika (Pancasila
sebagai, penulis) “proyek bersama“ dihidupkan kembali dan menjadi semakin nyata,
maka yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah mengakhiri berbagai macam
praktek kekerasan dan kekejian .”
Daftar Pustaka
Benedict
Anderson, Nasionalisme Indonesia Kini dan
di Masa Depan [penerj. Bramantya Basuki], naskah sebuah kuliah umum di Jakarta
pada 4 Maret 1999.
Siti
Murtiningsih, “Memaknai Bhinneka Tunggal Ika: Peran Filsafat dalam Pendidikan
Multikulturalisme”, dalam Pidato Ilmiah
Dies Natalis ke-50 Fakultas Filsafat UGM 2017.
Yudi
Lathif, 2012 [cet. ke-4], Negara
Pancasila: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta:
Gramedia.
Comments
Post a Comment