Luka Akan Terus Menganga, Meskipun Obat Telah Menyembuhkannya

Hebat betul si Hesri Setiawan, bisa menapaki jejak masa lalunya yang pahit sebagai tahanan politik Orde Baru di Pulau Buru. Sebagaimana terpotret dalam film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta.

Hebat juga Bedjo Untung, Martin Aleida dan para saksi di International People Tribunal 65 bisa menceritakan apa yang dialaminya pada tragedi kemanusiaan 1965 dan setelahnya. Tentang ditangkap, diinterogasi, disiksa, dan dipekerjakan tanpa proses pengadilan.

Tak kalah hebatnya juga para korban lainnya yang menjadi narasumber di buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65.

Mengingat hari-hari penuh getir, luka dan penyiksaan juga pemerkosaan dan perbudakan adalah satu bentuk keteguhan dan kesungguhan tersendiri: untuk mencari kebenaran. Apalagi tidak sekadar mengingat, melainkan mewartakan ke publik yang masih tabu perihal tragedi 1965.

Semua diungkap dan disingkap dengan keyakinan bahwa ada satu titik cahaya di gelapnya terowongan. Bisa jadi cahaya itu berasal dari kereta lain yang membawa gebrakan-gebrakan dan concern akan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Dan memang itulah yang diharapkan.

“Tak mungkin tidak ada campur tangan negara dengan pelbagai aparatusnya dalam tragedi 1965,” kata Ariel Hariyanto di Simposium 1965 menyimpulkan. Dengan banyaknya korban, terjadi di pelbagai daerah di Indonesia dan dalam waktu yang cukup lama, singkatnya masif dan terorganisir, ada garis vertikal di sana. Bukan sekadar konflik horizontal antar masyarakat. Dan garis vertikal itu adalah campur tangan negara.


Luka itu harus diingat. Kejadian kelam bangsa harus diketahui secara benar oleh generasi bangsa. Kata Todung Mulya Lubis di IPT ’65 “[…] the wound has never healed. It remains. It needs to be healed, and to heal it requires the truth to be told.”

Comments