Lekra dan Seni yang Memihak
Pada suatu waktu, pernah hadir sebuah lembaga
kebudayaan yang memihak kepada kelas bawah. Memihak kepada petani, buruh,
nelayan dan pokoknya wong cilik. Keberpihakannya
dituangkan lewat seni dan kebudayaan; lukisan realis memotret penderitaan
buruh, puisi yang bergelora memuat pesan-pesan revolusioner dan lakon-lakon
dalam ketoprak dan ludruk bercerita tentang rakyat yang tertindas dan jalan pembebasan
lewat komunisme. Singkatnya: seni rakyat. Lembaga tersebut bernama Lembaga
Kebudayaan Rakyat. Disingkat Lekra.
Lekra diyakini sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang kesenian dan
kebudayaan. Beberapa pegiat dan anggota Lekra menampik hal itu. Sebagian lain
tidak mempersalahkan –acuh tak acuh. Njoto, misalnya, yang mempelopori
pendirian Lekra, menolak penggabungan Lekra ke dalam struktur PKI. D.N. Aidit
sebaliknya, menghendaki Lekra sebagai bagian PKI yang memiliki tugas
mengkampanyekan dan memasyarakatkan partai.
“Hanya Soeharto yang berhasil mem-PKI-kan Lekra.
Bahkan Aidit tidak bisa,” kata Putu Oka Sukanta, seniman Lekra dari Bali. Tidak
bisa ditampik, hubungan Lekra dan PKI sangatlah mesra. Dalam kampanye partai,
Lekra ambil bagian di panggung. Main ludruk atau ketoprak atau kesenian lokal
lainnya.
Posisi Lekra tegas: seni harus berpihak! Keperpihakan
tersebut, dalam kenyataan, kerap kali mengorbankan bentuk dan menonjolkan isi
dalam seni. Dalam puisi misalnya, dikenal sajak poster. Hal tersebut sebenarnya
ditampik oleh seniman-seniman Lekra dan Lekra sebagai institusi kesenian dan
kebudayaan.
Di Lekra dikenal jurus 1-5-1. Jurus ini dijelaskan
sebagai berikut: 1 asas “Politik sebagai Panglima”; 5 pedoman penciptaan,
yakni: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik,
memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan kreativitas individu
dengan kearifan massa, serta memadukan realisme revolusioner dengan
romantisisme revolusioner; serta 1 cara kerja, turun ke bawah (turba).
Inspirasi seniman Lekra dalam berkesenian berasal dari
rakyat. Tinggal bersama rakyat. Dikenal istilah “metode tiga sama”: sama kerja,
sama makan, dan sama tinggal. Seniman-seniman Lekra pergi ke desa-desa, ke
kampung-kampung dan live in di sana.
Yang didatangi biasanya daerah yang sedang mengalami konflik dengan penguasa
ataupun pengusaha, termasuk tuan tanah. Mereka turut berjuang dengan advokasi. Lalu
mengekspresikannya ke dalam karya seni.
Di pihak yang bersebrangan ada Manifesto Kebudayaan,
Manikebu. Menolak monopoli tafsir kesenian Lekra. Dengan slogannya yang
terkenal ‘seni untuk seni’. Memisahkan seni dan politik. Pijakannya adalah
humanisme universal.
“Kalok gak ikut ini dan itu, berarti bukan seni. Berkesenian
ya berkesenian. Tidak usah harus ini dan itu.” Kira-kira begitu.
Manikebu mengalami nasib murung. Dilarang oleh rezim
Demokrasi Terpimpin Soekarno. Tapi nasib Lekra lebih tragis; tidak sekadar dilarang
oleh Orde Baru Soeharto, melainkan juga diintimidasi, ditangkap, dipenjara,
diasingkan, bahkan dibunuh. Setelah bebas, seniman Lekra dianggap sebagai
‘yang-lain’. Negara menatapnya (sekaligus mendefiniskannya) sebagai liyan.
Comments
Post a Comment