Identitas yang Cair
Sumber foto: Berdikari Book |
Memang benar. Kalau hendak
dipertegas, identitas adalah konstruksi. Entah itu konstruksi lingkungan sosial
ataupun konstruksi politis. Jenis kelamin dan warna kulit memang given. Tapi setiap masyarakat memandang signifikansi
keduanya berbeda, bahkan kerap bertolak belakang. Terlahir sebagai perempuan di
Minangkabau berbeda dengan terlahir di Jawa. Demikian pula perihal kulit yang
sampai hari ini saya kira masih ada sisa-sisa politik apartheid: yang kulit
putih lebih superior (cantik, tampan, pintar, dsb.) ketimbang yang kulit hitam.
Selalu ada konstruksi terhadap
identitas. Konstruksi tersebut berimplikasi pada ketidaksetaraan identitas;
superior dan inferior. Misalnya, identitas Barat masih dinilai superior
ketimbang identitas Timur.
Identitas sebagai konstruksi
adalah kepercayaan akan tidak adanya identitas tunggal. Saya sendiri menolak
identitas tunggal. Jika yang banyak muncul ke permukaan adalah identitas
berdasar agama, tidak serta merta agama sebagai identitas tunggal. Hanya soal
yang dominan saja atau berbasis isu saja. Sebagai contoh, ketika Ahok dinilai
menista agama, identitas agama muncul dan dominan. Dan orang-orang kemudian
bersatu mengatasnamakan diri sebagai bangsa Indonesia ketika bendera Indonesia
terbalik di buku panduan Sea Games 2017. Lebih kompleks lagi jika identitas
dipolitisir untuk kepentingan meraih kekuasaan saja.
Chantal Mouffe menyebut: every identity is relational. Setiap identitas
memiliki keterkaitan dengan ‘yang-lain’. “Identitas saya adalah apa yang
mencegah saya menjadi identik dengan orang lain,” kata Amin Maalouf. Butuh orang
lain (them) untuk menjustifikasi
identitas kita (we). Konsekuensinya,
tidak ada identitas yang penuh. Dalam identifikasi, selalu ada ruang kosong
tempat bernanung ‘yang-lain’, yang non-identik. Meminjam pernyataan Emmanuel
Levinas, ada ‘wajah yang-lain’ dalam diri ‘kita’.
Comments
Post a Comment