Identitas yang Cair

Sumber foto: Berdikari Book
“Identitas tidaklah terberi sekali untuk selamanya: ia dibangun dan berubah sepanjang kurun hayat seseorang. [...] Tidak banyak unsur-unsur yang akan membentuk identitas kita sudah ada dalam diri ini sejak lahir.” Kata Amin Maalouf memulai bagian ketiga pada bab satu buku In the Name of Identity.

Memang benar. Kalau hendak dipertegas, identitas adalah konstruksi. Entah itu konstruksi lingkungan sosial ataupun konstruksi politis. Jenis kelamin dan warna kulit memang given. Tapi setiap masyarakat memandang signifikansi keduanya berbeda, bahkan kerap bertolak belakang. Terlahir sebagai perempuan di Minangkabau berbeda dengan terlahir di Jawa. Demikian pula perihal kulit yang sampai hari ini saya kira masih ada sisa-sisa politik apartheid: yang kulit putih lebih superior (cantik, tampan, pintar, dsb.) ketimbang yang kulit hitam.

Selalu ada konstruksi terhadap identitas. Konstruksi tersebut berimplikasi pada ketidaksetaraan identitas; superior dan inferior. Misalnya, identitas Barat masih dinilai superior ketimbang identitas Timur.

Identitas sebagai konstruksi adalah kepercayaan akan tidak adanya identitas tunggal. Saya sendiri menolak identitas tunggal. Jika yang banyak muncul ke permukaan adalah identitas berdasar agama, tidak serta merta agama sebagai identitas tunggal. Hanya soal yang dominan saja atau berbasis isu saja. Sebagai contoh, ketika Ahok dinilai menista agama, identitas agama muncul dan dominan. Dan orang-orang kemudian bersatu mengatasnamakan diri sebagai bangsa Indonesia ketika bendera Indonesia terbalik di buku panduan Sea Games 2017. Lebih kompleks lagi jika identitas dipolitisir untuk kepentingan meraih kekuasaan saja.


Chantal Mouffe menyebut: every identity is relational. Setiap identitas memiliki keterkaitan dengan ‘yang-lain’. “Identitas saya adalah apa yang mencegah saya menjadi identik dengan orang lain,” kata Amin Maalouf. Butuh orang lain (them) untuk menjustifikasi identitas kita (we). Konsekuensinya, tidak ada identitas yang penuh. Dalam identifikasi, selalu ada ruang kosong tempat bernanung ‘yang-lain’, yang non-identik. Meminjam pernyataan Emmanuel Levinas, ada ‘wajah yang-lain’ dalam diri ‘kita’.  

Comments