Filsafat Teknologi: Sebuah Resume Singkat

Resume artikel berjudul ‘What is Philosophy of Technology’ karya Drew Feenberg


Dalam artikelnya, Drew Feenberg menggunakan dua pendekatan terhadap filsafat teknologi, yakni pertama, pendekatan historis (historical approach) dan kedua, pendekatan kontekstual dengan menghadirkan perdebatan teori kontemporer tentang filsafat teknologi.

Pendekatan historis digunakan Drew Feenberg untuk mengurai makna asali teknologi dan dijadikan pijakan reflektif atas fenomena teknologi di era modern, yang dinilai telah melahirkan dehumanisasi. Misalnya Perang Dunia dan pencemaran lingkungan akibat eksploitasi alam. Kalimat yang merepresentasikan zaman modern dalam artikel ini adalah: “We are not at home in the world, we conquer the world.”

Kedua pendekatan di atas digunakan untuk menjustifikasi kenapa filsafat teknologi dibutuhkan saat ini. Bagi Drew Feenberg, ilmu (science) dan teknologi memiliki kesamaan, yakni terletak pada rasionalitas berdasarkan observasi empirik dan hubungan kausalitas, sebagai upaya untuk mendobrak tradisi masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada kebiasaan dan mitos. Meskipun kemudian, ilmu dan teknologi menjadi custom dan budaya baru dalam masyarakat modern.

Di samping itu, ilmu dan teknologi memiliki perbedaan. Ilmu mempunyai obsesi pada pengetahuan yang benar (truth) dan seeks to know, sedangkan teknologi bertujuan untuk kemanfaat (usefullness). Lebih lanjut, filsafat teknologi mempunyai tugas yakni sebagai koreksi sadar diri (self-awarness) manusia dihadapan teknologi yang hari ini, di zaman modern, cenderung dianggap taken for granted.

Untuk menjawab ‘tugas’ filsafat teknologi tersebut, Drew Feenberg merujuk pada tradisi pemikiran Yunani dan merefleksikannya dengan teori kontemporer. Sehingga, ruh teknologi awal dapat ditangkap.

Secara historis, di Yunani, kata teknologi merujuk kepada kata techne. Techne sendiri berada pada cakupan poiêsis, yang pengertiannya dapat dipahami jika disandingkan (dibandingkan) dengan physis. Di Yunani, physis dipahami sebagai alam, realitas terberi yang keberadaannya creates it self. Sedangkan poiêsis merupakan suatu hal yang keberadaanya tergantung kepada sesuatu yang lain, yakni manusia yang membuat dan memproduksinya, yang kemudian disebut artefak. Produk seni, kerajinan dan konvensi sosial termasuk artefak karena melibatkan “keterampilan” manusia.

Techne --yang merupakan akar kata dari teknik dan teknologi—merujuk pada makna poiêsis tersebut. Sebagaimana yang dicontohkan Drew Feenberg: pengobatan termasuk techne dalam hal menyembuhkan orang sakit; pertukangan disebut techne dalam hal membuat perkakas dari kayu; dan lain sebagainya.

Dari pendapat tentang techne di atas, ada dimensi ada ‘nilai’ tujuan dan makna yang turut serta membimbingkan produk artefak. Nilai tersebut tidak bersifat subjektif, melainkan objektif karena merupakan langkah yang benar untuk memproduksi artefak. Dengan demikian, techne juga merefleksikan problem filosofis; antara eksistensi (that is, keberadaan sesuatu) dan esensi (what is, makna sesuatu), yang keduanya dalam techne dan artefaknya saling kait kelindan. Esensi (what is) dari artefak inilah yang ‘hilang’ dalam teknologi modern dan digantikan dengan how it (teknologi) works.

Dengan pendekatan historis tersebut, Drew Feenberg kemudian menghadirkan perdebatan teori kontemporer dalam filsafat teknologi dan menyatakan sikap atau posisi dengan berpegang teguh pada techne.

Ada dua perdebatan yang dimajukan Drew Feenberb, yakni: (1) neutral-value; teknologi yang netral nilai, bebas nilai. Di dalamnya ada aliran instrumentalisme dan determinisme, dan (2) value-laden; teknologi sarat akan nilai (tentunya di luar nilai praktis dan kegunaan) yang mem-frame dan membimbing penggunaan teknologi. Di dalamnya ada subjektivisme dan teori kritis.

Bagi instumentalisme, teknologi merupakan alat, as tools, untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia mempunyai kendali penuh (human controlled) atas teknologi. Sedangkan determinisme adalah kebalikan dari instrumentalisme (harus dipahami dalam konteks neutral-value). Kalimat yang dapat menjelaskan instumentalisme: Guns don’t kill people, people kill people. Bagi determinisme, teknologi tidaklah dikontrol oleh manusia, melainkan teknologi lah yang mengontrol dan mengarahkan manusia kepada kemajuan dan efisiensi. Ada dehumanisasi di dalamnya.

Walaupun berbeda, baik instrumentalisme dan determinisme memiliki keterkaitan. Sebagaimana yang terjadi di Jepang pada era Meiji dengan kebijakan wakon yosai. Pada awalnya, Jepang mengadopsi teknologi Barat as tools untuk mencapai tujuan negaranya, dengan catatan tidak mengorbankan nilai-nilai tradisional. Namun seiring berjalannya waktu, teknologi –sebagaimana tesis determinisme—justru mengkondisikan pelbagai aspek kehidupan masyarakat Jepang.

Berseberangan dengan neutral-value, ada value-laden yang di dalamnya ada aliran subjektivisme dan teori kritis. Subjektivisme meyakini ada nilai substantif dalam teknologi yang tidak sekadar formal value seperti kebermanfaatan dan efisiensi. Nilai substantif inilah yang mendorong dan mengarahkan penggunaan teknologi sesuai dengan niat (mean) dan tujuan (purpose) dibuatnya teknologi. Hal ini ditujukan untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Drew Feenberg menganalogikan aliran ini dengan agama yang mengarahkan umatnya ke suatu tujuan hidup demi kehidupan yang lebih baik.

Meskipun secara jelas hendak mengontrol penggunaan teknologi sehingga sesuai dengan mean dan purpose, substantivisme tak dapat mengantisipasi obsesi manusia; sebagaimana yang diujarkan Martin Heidegger: although we may control the world through our technology, we do not control our own obsession with control.

Dengan demikian, bagi Drew Feenberg, masyarakat atau publik lah yang harus mengontrol obsesi manusia atas teknologi. Kontrolnya melalui mekanisme politik yang demokratik. Di sinilah pendirian aliran teori kritis, yang juga menjadi stand point Drew Feenberg. Teori kritis memajukan bahwa teknologi bukan bersifat eksklusif milik segelintir golongan, melainkan milik publik yang penggunaannya diawasi oleh publik melalui mekanisme politik yang demokratik. 

Comments