Reklamasi dan Mental Memunggungi Laut

Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga jalasveva jayamahe, di laut justru kita jaya.

Kalimat di atas merupakan pernyataan Jokowi ketika pidato kemenangan Pilpres 2014 di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Sebentuk penegasan akan nawacita yang diusung kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla untuk Indonesia ke depannya: menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.   

Betul apa kata Jokowi, kita telah terlalu lama memunggungi laut. Jejak historis memunggungi laut dapat dilacak dalam kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahwa, pada suatu waktu kita, yang masih berupa kerajaan-kerajaan, pernah berjaya di laut dengan kapal yang besar, canggih dan armada perang laut yang tangguh di zamannya. Dan suatu waktu yang lain, kita “dipaksa” (hingga hari ini kita terbiasa) hidup memunggungi laut.

Kerajaan-kerajaan maritim meneguhkan ibu kotanya sebagai pelabuhan dagang internasional yang disinggahi oleh pelbagai bangsa. Ada, misalnya, Banten pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dan Makassar (Kesultanan Gowa-Tallo) di bawah kekuasaan Sultan Malikussaid (1639-1653). Ketangguhan sistem pertahanan dan kebesaran armada perang Kesultanan Makassar melawan VOC yang bersekutu dengan Kesultanan Bone digambarkan secara gamblang dalam novel sejarah karya S.M. Noor, Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu. Meskipun kedua kerajaan maritim tersebut, baik Banten dan Makassar, runtuh akibat, salah satunya dan terutama, invasi VOC.

Kejayaan Kesultanan Banten dan Makassar sebagai kerajaan maritim, menurut Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya berjudul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik di Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2014, tak terlepas dari kerja bersama di bawah kepemimpinan raja yang baik dan di dampingi oleh penasehat yang ahli. Di Banten, penasehatnya adalah Kyai Ngabehi Kaytsu dan asistennya, Kyai Ngabehi Cakradana yang berasal dari Tiongkok. Sedangkan di Makassar, ada Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingaloang.

Kerajaan di Nusantara mulai menjauh dari lautan ketika Majapahit runtuh dan Demak muncul, yang bagi Hilmar Farid, sesungguhnya merupakan sangat menciutnya kebudayaan kerajaan maritim di Jawa. Lebih-lebih saat Sultan Agung  menarik pusat kerajaan menjauh dari pesisir utara ke pedalaman mendekati pesisir selatan dan puncaknya penutupan dua pelabuhan penting, Tuban dan Surabaya.

Peristiwa historis tersebut menandakan bahwa kerajaan atau komunitas maritim bukan sekadar pemanfaatan sumber daya alam untuk menambah pundi-pundi uang, melainkan soal pengetahuan dan budaya maritim yang meliputi –kata Hilmar Farid—tentang sistem pelayaran, arah angin, teknologi maritim, adat kebiasaan, dan bahasa, dari semua kalangan yang singgah maupun menetap serta tentang kebiasaan dan penyakit yang dibawa, tentang keanehan dan keganjilan yang bisa menjadi penyulut perkara. Sehingga, mengelola kota maritim bukanlah hal yang mudah.  

Selain itu, ada aspek penting lain selain pengetahuan dan kebudayaan maritim yang menunjang keberlangsungan kerajaan (dalam konteks hari ini berarti negara) atau komunitas maritim, yakni kedaulatan. Takluknya dan terikatnya satu demi satu kerajaan maritim di Nusantara pada VOC yang memperlemah posisi poros maritim kerajaan adalah bukti betapa pentingnya suatu kedaulatan.

Paska kemerdekaan Indonesia, perihal kedaulatan telah diupayakan secara luar biasa oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja dengan Deklarasi Djuanda-nya yang masyhur itu. Bahwa “segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia [...] merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.”

Dengan demikian, gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah hal yang baru. Kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla “mengingatkan” kita bahwa kita telah lama memunggungi laut dan sudah saatnya kita mengembalikannya, hidup (mem)bersama(i) laut. Lalu, apakah kita, hari ini, telah benar-benar hidup (mem)bersamai(i) laut? Apakah kita benar-benar hendak mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia? Kenyatannya tidak. Kita masih memunggungi laut, bahkan tak segan-segan memantatinya. Buktinya adalah kebijakan reklamasi --memperluas area daratan dengan menutup sebagian area laut—di pelbagai kota pesisir di Indonesia.

Reklamasi adalah bukti nyata bahwa kita masih memunggungi laut. Kita masih menganggap laut sebagai batas, sehingga kita berupaya menjadikannya daratan. Padahal, lautan adalah bentuk lain dari daratan. Tak ada lautan, juga tak akan ada daratan, dan sebaliknya. Keduanya berkait-kelindaan.

Disamping itu, memunggungi laut, menjadikan laut sebagai batas yang berujung pada kebijakan reklamasi, merupakan akibat dari pemahaman yang keliru atas konsep archipelago state sebagai negara kepulauan. Menurut Prof. Adrian Lapian –yang juga dikutip Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya—archipelago state bukanlah ‘negara kepulauan’, melainkan lautan yang ditaburi pulau-pulau. Asal katanya dari Yunani, arkhi (utama) dan pelagos (laut), sehingga archipelago berarti laut yang utama.

Pengertian konsep archipelago sebagai lautan yang ditaburi pulau-pulau merupakan penegasan bahwa laut bukanlah batas yang membatasi antar pulau, melainkan yang menyatukan antar pulau. Selain itu, jika dilihat secara ekonomis, konsep archipelago sebenarnya penegasan bahwa di laut, kekayaan alam sangat melimpah. Kita melihat bagaimana laut mampu menghidupi berjuta-ribu orang pesisir di sepanjang garis pantai Indonesia. Belum lagi sektor pariwisata dan minyak bumi yang sangat menjanjikan. Adanya kebijakan reklamasi adalah kemunduran yang sangat merugikan; baik kerugian finasial-material, kerugian ekologis maupun kerugian (baca: kemunduran) kebudayaan dengan melanggengkan mental memunggungi laut.

Kerugian tersebut, misalnya, terpatri secara jelas dalam dua film dokumenter garapan Watch Doc, Kala Benoa dan Rayuan Pulau Palsu. Kala Benoa memotret penolakan rakyat Bali atas rencana proyek reklamasi Teluk Benoa di Bali dan Rayuan Pulau Palsu merekam salah satu titik reklamasi yang sedang berjalan di Teluk Jakarta, yakni Pulau G, dari tujuh belas pulau yang direncanakan, yang juga ditentang rakyat.

Dua film dokumenter tersebut menguak siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jelas, pemilik modal –pengembang, kata nelayan Muara Angke Jakarta-- yang diuntungkan. Dan nelayan-nelayan tradisional dan rakyat kecil sangat dirugikan. Belum lagi kerugian berupa kerusakan ekologis, rusaknya ekosistem laut, yang harus ditanggung. Sebagaimana yang dipotret dalam Rayuan Pulau Palsu, ikan-ikan pada menjauh akibat limbah dan dampak dari reklamasi Pulau G, air menjadi bau dan keruh berwarna kecoklat-coklatan.

Jika dibiarkan berkepanjangan, reklamasi dapat mengakibatkan krisis ekologis yang mengkhawatirkan. Mengancam ekosistem laut dan dapat berujung pada perubahan iklim global. Tidak hanya akan terjadi di sekitar daerah laut yang hendak di reklamasi, melainkan juga di daerah di mana pasirnya akan dikeruk. 

Bagaimanapun juga, reklamasi bukanlah jawaban final dan satu-satunya atas persoalan menyempitnya lahan di daratan. Reklamasi tak lain dan tak bukan adalah dehumanisasi; penyingkiran manusia kecil (miskin) secara perlahan-lahan. Karena memang reklamasi membutuhkan biaya yang teramat mahal, maka tak mungkin lahan akan diberikan percuma atau dengan harga murah kepada masyarakat kecil. Reklamasi hanya untuk yang punya uang (modal), bukan untuk masyarakat kecil dan juga bukan untuk keberlangsungan ekosistem alam, terutama laut.


Reklamasi tak lain adalah pelanggengan mental memunggungi laut; menganggap laut sebagai batas untuk diatasi dengan senantiasa berusaha meniadakannya, menjadikannya daratan. Selama kita masih memunggungi laut –melanjutkan kebijakan reklamasi—berarti mustahil mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Dimuat di Majalah Misi SMA Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Comments