Mengapa Anarkisme Menolak Negara?
Apa yang ada di benak
kamu jika mendengar kata ‘anarkis’ ataupun ‘anarkisme’? Sederet kata bernada negatif
dapat disebutkan: kasar, kekerasan, suka merusak, onar, kacau, dan seenaknya
sendiri.
Jika ada organisasi
masyarakat (ormas) yang sering berbuat onar dan merusak fasilitas publik,
misalnya, ormas tersebut mendapat stigma ormas anarkis.
Dalam masyarakat hari
ini, ‘anarkis’ telah mendapat stigma buruk yang kehadirannya tidak diharapkan
–bahkan hadir dalam bentuk pemikiran sekalipun. Anarkisme sangatlah berbahaya,
oleh karenanya harus dijauhi. Mengasosiasikan anarkisme dengan kekerasan memang
tidak sepenuhnya keliru dan juga tidak sepenuhnya benar.
Anarkisme sebagai sebuah
paham pemikiran dan praxis tindakan telah melewati sejarah panjang yang
meniscayakan perkembangan. Stigma ‘negatif’ anarkisme juga tak lepas dari
peristiwa-peristiwa historis yang melumurinya.
Memandang anarkisme
sebagai semata-mata soal kekerasan dan karenanya harus ditolak dan dilenyapkan
di muka bumi merupakan sikap dan tindakan salah besar sekaligus konyol.
Pemikiran, apapun bentuk
dan jenisnya, termasuk anarkisme, tak akan pernah benar-benar musnah walaupun
organisasi yang menaunginya telah (di)lenyap(kan). Bahkan sebaliknya, dapat
mendorong (semacam merangsang) orang untuk mengetahuinya lebih mendalam. Ada
semacam rasa penasaran di benak orang: mengapa paham atau ideologi itu
dilarang? Mengapa organisasi itu dilarang? dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Di Indonesia, sebagai
contoh, menemukan wujudnya dalam isu marxisme dan komunisme. Komunisme sebagai
paham pemikiran dan ideologi takkan pernah, bahkan mustahil, terkubur.
Melarangnya adalah tindakan konyol dan sia-sia. Begitu pula dengan anarkisme:
mengapa anarkisme “dianggap” berbahaya sehingga harus dijauhi? Untuk menemukan
jawabannya, kita tak dapat hanya berbekal pada anarkisme menurut hari ini di
media massa kini. Butuh penelurusan secara mendetail demi menemukan saripati mengapa
anarkisme, untuk konteks hari ini (dan mungkin ke depannya), dibutuhkan dalam
menjawab persoalan kehidupan, terutama soal sosial-politik.
Lalu, apa sebenarnya definisi
mendasar anarkisme itu? Dan apa saja pokok-pokok pemikiran yang dimajukan?
Secara etimologis, kata
‘anarkis’ berasal dari bahasa Yunani, anarkhia,
yang artinya ‘lawan atau kebalikan dari otoritas (contrary to autority), atau tanpa pemerintah (without rulers)’.[1]
Anarkis juga berarti an archos, no government, tak ada pemerintahan. Dengan
demikian, pendirian fundamental anarkisme berupa penolakan atas otoritas, yang
dalam konteks ini ‘dimonopoli’ oleh negara.
Mengapa anarkisme menolak
negara? Bagi kaum anarkis, negara sebagai institusi yang bersifat koersif dan
sumber utama dari kuasa (power) dan
otoritas adalah tak dapat dibenarkan keberadaannya. Pandangan anarkisme ini
memang berseberangan dengan ‘tugas’ utama dari filsafat politik yang
menengahkan studi tentang ‘keadaan alamiah’ dan justifikasi akan negara: atas
dasar apa negara dibentuk, mengapa kita harus mempercayakan urusan kita kepada
negara, dan atas dasar apa negara diperbolehkan mengontrol tindakan dan
perilaku warganya?[2]
Pada intinya, anarkisme
menolak keberadaan negara. Penolakan anarkisme pada negara ini merupakan
konsekuensi logis dari landasan filosofis yang menyokong anarkisme sebagai
sebuah paham pemikiran. Menurut Mansour Fakih, pandangan dan pemikiran anarkisme
ini tak lepas dari pandangan tentang ‘keadaan alamiah’ manusia. Bahwa pada
hakikatnya, manusia adalah makhluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni
dan bebas tanpa intervensi kekuasaan.[3]
Senada dengan apa yang
disampaikan Mansour Fakih, jauh-jauh sebelumnya, Peter Kropotkin, pemuka anarkis
dari Rusia, mengatakan bahwa manusia diuntungkan dengan sifat saling membantu
(kooperatif).[4]
Keadaan alamiah manusia
sebagai yang harmoni, baik dan kooperatif tersebut menjadi justifikasi kaum
anarkis untuk mengatakan ‘say no to state’.
Hal ini berkebalikan, misalnya, dengan pandangan Thomas Hobbes yang
berpendirian bahwa keadaan alamiah manusia adalah homo homini lupus, serigala bagi serigala yang lain. Oleh karenanya,
negara dibutuhkan untuk menjamin agar manusia tidak tergelincir ke dalam perang
antar sesama.[5]
Bahkan negara perlu menjelma leviathan,
semacam monster laut, yang memaksa dan menciptakan ketakutan demi sebuah
ketertiban antar warga negara.
Memahami pengertian
mendasar dan landasan filosofis anarkisme di atas mengindikasikan tidak adanya
suatu paham yang keliru, alih-alih menghantarkan pada kekacauan dan kekerasan. Pada
pokoknya, anarkisme menempatkan negara sebagai ‘musuh’ utama. Bukan karena
semata-mata negara memonopoli kekuasaan dan otoritas, melainkan juga bersifat
destruktif bagi masyarakat. Misalnya, kekuasaan teritorial yang dimiliki,
kekuasaan yurisdiksi atas rakyat termasuk kekuasaan menguasai kekayaan sumber
daya di dalam wilayah yang dikuasai, dan yang tak kalah penting kekuasaan
negara atas imajinasi atau gagasan masyarakat akan sebuah bangsa.[6]
Pada dasarnya, negara
merupakan arena politis dengan kekuasaan sebagai tujuan utamanya. Jika
kekuasaan telah diraih, maka upaya selanjutnya adalah menjaga kekuasaannya
supaya tetap langgeng. Demi melanggengkan kekuasaan dan otoritas, negara menggunakan
segala cara –seperti halnya dalam politik menghalalkan segala cara ala
Machiavellian-- dengan memperalat aset, kekayaan serta perangkat yang dimiliki,
bahkan dengan me(re)produksi kepalsuan dan ketidakbenaran sekalipun.
Rocky Gerung dalam salah
satu cuitannya di twitter yang sempat viral beberapa waktu lalu mengatakan
bahwa sumber hoax terbesar adalah negara, karena negara punya segalanya untuk
me(re)produksi hoax dan menjadikannya sebagai hal yang lumrah di masyarakat.
Kebohongan yang direproduksi secara terus menerus, pada nantinya, akan menjadi
kebenaran yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Ada modal, otoritas, media,
dan legitimasi institusi ilmu pengetahuan. Dengan segala hal yang dimiliki,
negara melakukan standarisasi dan normalisasi terhadap masyarakat yang
sebenarnya untuk mengamankan kekuasaan dan otoritasnya.
Sebagai contohnya terjadi
pada masa Orde Baru lewat kampanye anti-komunismenya. Pelbagai instrumen seperti
militer, lembaga negara, media dan institusi ilmu pengetahuan serta
perundang-undangan diperalat oleh rezim Orde Baru untuk kampanye pemberantasan
komunisme. Di bidang kebudayaan pun tak luput dari kontrol rezim penguasa; ada
film propaganda Orde Baru Pengkhianatan
G30S/PKI yang ditayangkan rutin di
televisi pemerintah dan beberapa karya sastra seperti cerpen dan novel.[7]
Negara, dengan otoritas
sebagai legitimasi, mendefinisikan ‘yang terlarang’ sebagai yang ‘bukan kita’,
‘yang normal’ dan ‘yang abnormal’, ‘warga negara yang baik’ dan
‘pengkhianat-pembangkang’ untuk kebutuhan stabilitas sekaligus melanggengkan
kekuasaan. Sehingga muncullah, misalnya, kata nomalisasi, penjernihan ideologi,
anti-pembangunan, anti-kemajuan dan lain sebagainya.[8]
Jika anarkisme menolak
negara sebagai otoritas yang manipulatif, lalu apakah anarkisme juga senantiasa
menolak otoritas? Bagaimana dengan, misalnya, keahlian dan keprofesian
seseorang yang secara inheren mengandung otoritas? Untuk menjawab persoalan ini,
kaum anarkis membedakan antara negara (state)
--bersifat politis (the political)--
dan masyarakat (society) --bersifat
sosial (the social). Pembedaan keduanya menghantarkan pada
pembahasan otoritas dalam keahlian atau keprofesian.
Anarkisme mengartikan negara
yang bersifat politis termanifestasi dalam kekuasaan, otoritas, hierarki, dan
dominasi. Sedangkan masyarakat, dengan prinsip-prinsip sosial yang ada, dapat
dilihat dalam asosiasi antar manusia yang bersifat spontan dalam rangka
mewujudkan kebutuhan dan kepentingan bersama.[9] Dengan
kekuasaan dan otoritas yang dimiliki, kerap kali, negara masih ingin lebih
menunjukkan kekuasaannya hingga melampaui batas; bahwa yang berhak dan sah
membuat suatu definisi tentang segala sesuatu adalah negara. Tak heran jika
kemudian negara menciptakan standar, national
uniformity, bahkan mengatur urusan paling private dari individu seperti perihal seks dan keyakinan. Oleh
karena, anarkisme memilih masyarakat sebagai self-government yang mengelola kebutuhan dan kepentingannya sendiri
secara kolektif, ketimbang negara sebagai representaive-government.
Masyarakat membangun
kehidupannya secara kolektif. Karena yang tahu urusan, masalah dan kebutuhan
masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, bukan negara. Sering kali, misalnya,
negara menarik pajak dari individu-individu dalam masyarakat, tapi negara
‘memberikan’ yang tak dibutuhkan masyarakat. Masih untung ‘diberikan’ (baca:
dikembalikan ke masyarakat), seringkali digunakan untuk merepresi masyarakat
atau dikorupsi untuk kepentingan golongan aparatur negara.
Biarlah masyarakat
mengurusi urusan dan kebutuhannya sendiri, sehingga yang terjadi adalah desentralisasi;
kedaulatan masyarakat-masyarakat. Dalam mengurusi urusan dan kebutuhannya
sendiri, masyarakat memiliki kontrol sosial yang didalamnya, salah satunya,
meliputi otoritas keahlian atau keprofesian. Pada konteks ini, kaum anarkis
setuju dengan kebutuhan terhadap otoritas atau wewenang para ahli di berbagai
bidang dalam masyarakat, misalnya: beberapa orang mengetahui cara terbaik untuk
menghasilkan makanan, maka pantas jika orang lain mengalah pada kebijakan
mereka dalam urusan pembuatan makanan tersebut.[10]
Otoritas dapat pula
diartikan sebagai pembagian peran secara kooperatif dalam masyarakat yang
memungkinkan tatanan berjalan; tercapainya keadilan sosial. Pembagian peran ini
mengandaikan kesetaraan, bukan hierarkis. Tidak ada individu superior atas
individu lainnya. Semua individu saling berkontribusi untuk masyarakat. Dalam keadaan
yang demikian, alih-alih berasosiasi dengan kekerasan, onar, kacau dan tendensi
negatif lainnya, anarkisme justru menggelorakan anti-tirani, anti
kesewenang-wenangan negara, anti-otoriter yang bersembunyi di balik jubah
negara, demi terwujudnya tatanan sosial yang berkeadilan dengan berdasarkan
pada prinsip kesetaraan dan kebebasan.
Bisa dibaca juga di anarkis.org
[1]
Lih. Colin Ward, 2004, Anarchism: A Very
Short Introduction, New York: Oxford University Press, hal. 1.
[2]
Lih. Robert Audi [Ed.], 1999, The
Cambridge Dictionary of Philosophy (Second Edition), United Kingdom:
Cambridge University Press, hal. 718.
[3]
Lih. Mansour Fakih, Anarkisme: Paham yang
Tak Pernah Padam, dalam http://anarkis.org/anarkisme-paham-yang-tak-pernah-padam-2/,
diakses pada 22 Februari 2017.
[4]
Lih. Jonathan Wolff, 2013, Pengantar
Filsafat Politik, [penerj. M. Nur Prabowo Setyabudi], Bandung: Nusa Media,
hal. 47.
[5]
Lih. Ibid., hal. 12.
[6]
Lih. Mansour Fakih, Op., Cit.
[7]
Untuk lebih jelasnya perihal bagaimana rezim Orde Baru mengkampanyekan
anti-komunisme lewat kebudayaan, terutama film dan sastra, lihat Wijaya
Herlambang, 2015, Kekerasan Kebudayaan
Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan
Film, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
[8]
George Orwell dalam novel masyhurnya berjudul 1984 menceritakan sekaligus mendeskripsikan secara satire bagaimana
negara mengawasi kehidupan keseharian setiap warga negara. Bahkan dibentuk
divisi-divisi atau kementerian-kementrian untuk mengurusi laku pengawasan
tersebut. Lih. George Orwell, 2014, 1984,
[penerj. Landung Simatupang], Yogyakarta: Bentang.
[9]
Lih. Colin Ward, Op. Cit., hal. 26
[10]
Lih. Jonathan Wolff, Op. Cit., hal.
50
Comments
Post a Comment