Identitas yang Politis
Apa yang
dilahirkan modernisme? Selain subjektivitas (manusia sebagai pusat realitas),
kritik (rasio sebagai tonggak absah pengetahuan mengatasi tradisi) dan kemajuan[1],
modernisme juga melahirkan kehancuran dirinya sendiri –meskipun tidak sampai
keluluhlantakkan— yang pada nantinya melahirkan era postmodernisme.
Modernisme
dihancurkan oleh watak dan obsesi dirinya sendiri. Setidaknya ada tiga hal
mendasar bunuh diri modernisme.[2]
Ketiganya berupa: pertama, pandangan
dualistiknya yang menghasilkan jurang pemisah yang lebar antara subjek dan
objek, spritual dan material, dan manusia dan dunia. Keberjarakan ini
menghantarkan manusia sebagai subjek untuk menguasai (mengeksploitasi) alam
sebagai objek (yang diobjekkan).
Kedua, modernisme memiliki corak objektivis dan
positivistis yang ujungnya dehumanisasi; menjadikan manusia sebagai objek juga
layaknya mesin. Ketiga, narasi-narasi
besar (grand narative) berupa
‘keyakinan’ akan adanya kebenaran tertinggi, sehingga memunculkan oposisi
biner; yang benar dan yang salah butuh untuk dibenarkan.
Ketiga watak dan
obsesi modernisme tersebut mengakibatkan berbagai krisis yang hari ini telah
dirasakan dan disadari manusia. Krisis yang terjadi antara lain perang dunia,
kolonialisme, krisis ekologis, dehumanisasi dan kewibawaan nilai-nilai moral
dan relijius yan porak poranda. Sebagai sebuah respon atas krisis yang dialami
modernisme, lahirlah postmodernisme.
Secara garis
besar, postmodernime berarti “menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan
memperkuatkan kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur.”[3]
Ada pengakuan atas pluralitas dan penegasian akan kebenaran tunggal. Pluralitas
inilah yang menurut saya merupakan basis ontologis postmodernime.
Dalam
postmodernisme, tidak ada narasi besar dan kebenaran tunggal. Oposisi biner
yang menubuh dalam modernisme mencair. Semuanya serba multi-tafsir, kebenaran
bertaut erat dengan lokalitas dan bersifat terbuka akan
kemungkinan-kemungkinan. Realitas senyatanya bersifat plural. Karenanya,
postmodernisme –jika tidak disebut berlebihan— merupakan rezim pluralisme.
Sebuah perayaan akan kematian narasi besar dan kebenaran tunggal dan
penyambutan akan dunia yang beragam dan berbeda; dunia yang menghargai ‘yang-lain’.
Dalam realitas
yang plural, identitas mengambil bentuknya sebagai sesuatu yang cair dan
terbuka. Berbeda halnya dengan identitas dalam modernisme yang berkutat pada
bagaimana membangun suatu identitas dan menjaganya agar kokoh serta menetap,
identitas dalam postmodernisme berusaha sebisa mungkin menghindari fiksasi dan
membuatnya tetap terbuka.[4]
Jika modernisme
memunculkan identitas ‘kita’ dan ‘mereka’ sebagai yang-lain yang harus
di-‘kita’-kan, maka postmodernisme melahirkan identitas ‘kita’ yang terbuka
terhadap ‘mereka’ sebagai yang-lain. Identitas ‘ke-kita-an’ selalu korelat
dengan ‘ke-mereka-an’. Selalu ada pengaruh dan wajah mereka dalam diri kita.
Identitas suatu kelompok, misalnya, tidak sekadar dibentuk oleh internal
kelompok itu sendiri, melainkan juga dikonstruksi oleh kelompok lain.
Dalam keadaan
terbuka akan segala kemungkinan tersebut, identitas dalam postmodernisme dapat
dibentuk oleh preferensi apa saja. Seseorang, misalnya, sangat mungkin memiliki
lebih dari satu identitas. Pandangan ini memang berbanding terbalik dengan
pandangan identitas dalam marxisme yang tak lain merupakan salah satu paham
dalam modernisme.
Marxisme yang
lahir dan tumbuh-berkembang dalam dunia modern juga melahirkan kebenaran
tunggal dan oposisi biner perihal identitas. Bagi marxisme, ekonomi senantiasa
mendeterminasi suprastruktur, termasuk perihal identitas yang terbagi menjadi
dua: kalau tidak kelas proletar, ya kelas borjuis.
Pandangan
identitas marxisme yang deterministik ini kemudian dikritik oleh para pemikir
postmarxisme –sebuah aliran pemikiran yang bertitik tolak pada gagasan Karl
Marx, namun sangat banyak dipengaruhi oleh postmodernisme. Postmarxisme –jika
tak dianggap terburu-buru dan berlebihan— merupakan marxisme yang ‘realistis’,
dan ‘sadar diri’, karena bersikap kritis dan tidak mengadopsi secara total
gagasan Karl Marx.
Salah satu filsuf
dan pemikir postmarxisme adalah Chantal Mouffe. Bersama dengan suaminya,
Ernesto Laclau, Mouffe mengupayakan kebangkitan kaum Kiri (dikenal dengan
sebutan Kiri Baru) yang telah cukup lama mengalami kelesuan.
Mouffe, meskipun
berpijak pada gagasan marxisme, memilki pandangan yang berbeda dan unik dengan
marxisme soal identitas. Identitas, di tangan Mouffe, tidak lagi dideterminasi
oleh ekonomi dan melahirkan dikotomi kelas; proletar dan borjus. Ada identitas-identitas
lain yang senyatanya tidak diterminasi oleh basis/superstruktur ekonomi seperti
ras, suku, agama, orientasi seksual, kepedulian akan lingkungan, feminsisme dan
identitas kelompok berbasis pada isu, terutama soal isu minoritas dan
marjinalitas. Lebih jauh dari itu, bagaimana kemudian identitas dapat dijadikan
modal artikulasi politik.
Mouffe dan Identitas yang Cair
Kritik utama
postmarxisme atas marxisme tentang identitas adalah soal determinisme ekonomi
yang kemudian melahirkan dikotomi kelas proletar dan borjuis. Mouffe bersama
Laclau memulai kritiknya dari sisi ontologis, bahwa “kepolitikan atau
yang-politis (the political)
merupakan suatu yang utama dan dibentuk dalam suatu konteks sosial yang penuh
pergulatan, dan bukan diperoleh dari suatu kejadian apapun, maka tidak ada
aktor sosial yang bisa mengklaim suatu keistimewaan tertentu dalam masyarakat.
Jadi dalam konteks dekonstruksi terhadap Marxisme di sini, “kelas” sebagai
aktor politik kehilangan keistimewaan ontologisnya (ontological privilege).”[5]
Yang-politis (the political) dibedakan dengan politik
(politics). Yang-politis merujuk pada
dimensi antagonisme yang inheren dalam masyarakat dan melahirkan relasi sosial
yang berbeda-beda. Karena yang-politis berada pada tataran ontologis dan
berdimensi antagonisme, maka masyarakat senantiasa bersifat kontingensi,
terbuka akan pelbagai kemungkinan, termasuk pengaruh relasi kuasa. Sedangkan
politik berarti rangkaian praktik, diskursus dan institusi yang memproduksi
kebijakan dan mengorganisasi masyarakat yang selalu berada dalam keadaan
konflik sebagai konsekuensi logis dari pengaruh dimensi ontologisnya, the political. Lebih lengkapnya, menurut
Mouffe:
‘The political’ refers to this
dimension of antagonism which can take forms and can emerge in diverse social
relations. It is dimension that can never be eradicated. ‘Politics’, on the
other hand, refers to the ensemble of practices, discourses and institutions
that seeks to establish a certain order and to organize human coexistence in
conditions which are always potentially conflicting, since they are affected by
the dimension of ‘the political’.[6]
Setelah mengkritik
keistimewaan ontologis kelas dalam marxisme, Mouffe bersama Laclau lalu
mempersoalkan basis atau superstruktur yang terjerumus pada essensialisme,
bahwa: identitas itu bisa
disimplifikasi dan dikotak-kotakkan secara permanen dalam konsep-konsep seperti
“individual”, “class”, dan “society”.
Padahal, identitas senantiasa bersifat contingent
dan negotiable.[7]
Kontingensi identitas berarti tidak adanya identitas ‘subjek’ yang penuh. Yang
ada hanya subject positions
(posisi-posisi subjek) yang menandai posisi ‘subjek’ dalam semesta diskursif
dan karenanya posisinya relatif terhadap posisi yang lain.[8] Subject positions dimungkinkan karena
–Mouffe dan Laclau memperkenalkan sebuah term— adanya empty signifier. Empty signifier (penanda kosong) merupakan “a signifier without a signified” atau
“penanda tanpa petanda.”[9]
Dengan empty signifier, ‘subjek’ tak
akan penuh, tak akan mencapai totalitasnya. Senantiasa berubah-berubah dan akan
selalu ada yang kosong, dan kekosongan ini diisi oleh relasinya dengan
yang-lain dalam semesta diskursif.
Dalam
ke-relasional-nya, identitas mem(ter)buka diri akan pelbagai hal di luar
dirinya, termasuk terhadap yang-lain. Keterbukaan merupakan sebuah keniscayaan
perihal identitas dalam wacana postmodernisme. Mouffe menyebut satu konsep yang
diambilnya dari Derrida, constitutive
outside. Konsep ini adalah yang sentral untuk menjelaskan betapa cairnya
identitas, yang pada nantinya menjusfikasi politik identitas. Contitutive outside ini dapat dijelaskan
lewat kata-kata Mouffe:
“I argue that once we understand that
every identity is relational and that the affirmation of a difference is a
precondition for the exsistence of any identity –i.e. the perception of
something ‘other’ which constitutes its ‘exterior’—we can understand why
politics, which always deals with collective identities, is about the
constitution of ‘we’ which requires as its very condition of possibility the
demarcation of ‘they’.”[10]
Konsep constitutive outside meniscayakan
kesaling-membentuk antar identitas satu dengan identitas yang lain. Jika
ditarik dalam identitas kolektif, misalnya, identitas “kita” eksis karena
relasinya dengan identitas “mereka”. “Kita” melakukan penanaman nilai-nilai
ke-“kita”-an untuk menciptakan garis pembeda dengan “mereka”. Membentuk
identitas ke-“kita”-an berarti sekaligus dibentuk oleh dan membentuk identitas
ke-“mereka”-an. Dalam sifatnya yang relasional, identitas mendapat legitimasi
sebagai bagian dari pluralitas yang senantiasa mengandung dimensi antagonisme.
Identitas semakin mengkristalkan diri (meng-kita-kan), namun tetap berinteraksi
dengan ‘yang-lain’ (mereka). Identitas ke-kita-an selalu korelat dengan
ke-mereka-an. Interaksi dengan ‘yang-lain’ dapat diartikan sebagai kompetisi,
saling menghegemoni satu sama lain.
Dalam konteks
identitas yang relasional tersebut, yang-lain atau the others diposisikan sebagai legitimate
dissent; suatu bentuk transformasi dari relasi antagonistik ke arah
agonistik. Legitimate dissent merupakan
oposisi yang absah dan legitimate
dalam sistem demokrasi. Dengan relasi agonistik
ini pula the other diposisikan
sebagai adversary yang memiliki
legitimasi dalam universum demokratik.[11]
Adversary (lawan) berbeda dengan enemy (musuh). Musuh merupakan individu
atau kelompok yang harus dihancurkan, baik eksistensi maupun ideologinya. Sedangkan
lawan adalah individu atau kelompok yang eksistensinya harus diakui,
ditoleransi, tetapi ideolginya kita tolak. Kita bertarung melawan gagasan
mereka, tetapi tidak menyangkal hak mereka untuk mempertahankannya.[12]
Kata Mouffe: “[...] the category of the
‘adversary’, the opponent with whom one shares a common allegiance to the
democratic principles of ‘liberty’ and equality for all’, while disagreeing
about their interpretation.”[13]
Adversary sebagai ‘yang-lain’, sebagai “mereka
sekaligus lawan menjadi prasyarat identitas ke-“kita”-an. “Kita” dan “mereka”,
dalam ranah demokrasi, sama-sama mempunyai kebebasan (liberty) dan kesetaraan (equality)
yang dalam demokrasi sangatlah prinsipil, bahkan inheren. Sehingga, adversary ada untuk ditolak ideologi
atau pemikirannya atau pendapatnya di ruang publik. Tapi keberadaannya dan
hak-haknya sebagai bagian dari demokrasi harus diakui dan dihormati. Sehingga,
misalnya, membubarkan forum diskusi atau organisasi kemasyarakatan adalah
menodai prinsip demokrasi.
Pluralitas
identitas merupakan kenyataan yang tak bisa disangkal. Dalam keadaan yang
plural tersebut, identitas antar satu dengan yang lain berada pada posisi
setara dan bersaing merebut pengaruh di ruang publik. Dalam keadaan demikian,
identitas telah menjadi basis utama artikulasi politik. Dalam keadaan plurlitas
identitas yang legitimate tersebut,
politik identitas menampakkan wujudnya sebagai bagian dari artikulasi politik;
sebagai upaya menyampaikan pesan-pesan politik dalam ruang publik. Politk
identitas tidak dapat dibendung, laiknya masyarakat yang tak dapat menghindar
dari dimensi antagonismenya.
Politik identitas
yang absah, bagi Mouffe, harus dipahami dalam kerangka citizenship, kewargaan. Identitas-identitas yang menyuarakan
aspirasi politiknya –Mouffe menyebut istilah ‘political community’— tak lain
adalah citizen, warga negara.
Citizenship dalam pemikiran Mouffe harus diletakkan
pada kerangka agonistik dan sebagai pengakuan atas pluralitas identitas. Bagi
Mouffe, citizenship berarti commonality (komunalitas) --yang tetap
mengacu pada perbedaan identitas, baik bahasa, budaya, agama, feminisme, buruh,
isu lingkungan, dsb.— yang harus diterima secara niscaya atas nama pluralitas
dan perbedaan. Yang dibutuhkan dalam konteks citizenship adalah suatu bentuk komunalitas yang mengakui dan
menghormati perbedaan (diversity).[14]
Dengan demikian,
politik identitas merupakan sebuah keniscayaan yang mendapatkan legitimate dalam demokrasi sebagai citizen yang keberadaannya dan
hak-haknya harus diakui dan dihormati.
[1]
Kontribusi modernisme ini berdasarkan pendapat F. Budi Hardiman dalam bukunya Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche (2004: 3).
[2]
Disaring dari Bambang I. Sugiharto, 1996, Postmodernisme:
Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
[3]
Lih. Ibid.
[4]
Lih. Martin Lukito Sinaga, 2012, “Melangakaui Politik Identitas, Menghidupi
Dinamika Identitas” dalam tanggapan atas Orasi Ilmiah Ahmas Syafii Maarif
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi [Edisi Digital], hlm. 33-42
[5]
Lih. Daniel Hutagalung, 2008, “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural: Membaca
Laclau dan Mouffe” dalam Kata Pengantar untuk buku Ernesto Laclau dan Chantal
Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis:
Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Resist Book.
[6]
Lih. Chantal Mouffe, 2013, Agonistics:
Thingking The World Politically, New York: Verso, hal. 2-3.
[7]
Lih. Daniel Hutagalung ... Op., Cit.
[8]
Lih. Martin Suryajaya, 2012, Materialisme
Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Yogyakarta:
Resist Book, hal. 221.
[9]
Lih. Ignasius Jaques Juru, “Radikalisasi Pluralisme sebagai Usaha
Pengarusutamaan Politik Agonistik” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Vol. 14, Nomor 2, November 2010, hal. 187-210.
[10]
Lih. Chantal Mouffe ... Op., Cit., hal.
5.
[12]
Lih Yasraf Amir Piliang, 2013, Tranpolitika,
Kuliah Umum, (https://www.youtube.com/watch?v=Kv23V8GPq50) diakses pada 04
Desember 2016.
[13]
Lih. Chantal Mouffe., ... Op. Cit., hal.
7.
[14]
Lih. Chantal Mouffe, 1992, ‘Citizenship
and Political Identity’ dalam The
Identity in Question, October, Vol. 61, The MIT Press, hal. 28-32.
bisa dibaca juga di lsfcogito.org
Comments
Post a Comment