Filsafat dan Pertanyaan-Pertanyaan yang Tak Berkesudahan

Pernahkah kita mempertanyakan keseharian kita? Tentang keberadaan kita di dunia, tentang arti dan tujuan hidup, tentang warna-warna pada benda-benda, tentang keyakinan kita, tentang sesuatu yang kita anggap benar, tentang alam semesta yang begitu amat luas, tentang apa sih di balik realitas dan tentang peristiwa-peristiwa lain. Atau mungkin pertanyaan yang mengarah pada relijusitas; sebenarnya kita sedang menyembah (si)apa? Tuhan itu (si)apa, dan apa benar Dia adalah struktur dasar (Being) realitas? Atau pertanyaan yang pernah diajukan Plato: “Apakah manusia itu dan apakah yang merupakan kebaikan tertinggi bagi manusia?” Pokoknya tentang apa saja; mempertanyakan keseharian yang seringkali dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah.

Memang terkesan remeh dan tak berguna, tapi dari rahim pertanyaan, lahirlah filsafat, dan lalu ilmu pengetahuan. Pertanyaan itu dilatarbelakangi oleh rasa kagum dan heran, rasa ingin tahu lebih tepatnya, rasa tidak puas akan jawaban-jawaban yang ada. Ada rasa takjub sekaligus ragu sekaligus dorongan untuk mengatasi keraguan dalam setiap filsafat.

Kata Van Peursen: “Berfilsafat berarti bertanya-tanya disertai rasa heran.”[1] Pada mulanya adalah mempertanyakan mitos (mythos) yang dijadikan sandaran untuk menjawab fenomena atau peristiwa yang terjadi. Peristiwa alam, misalnya, dicari jawabannya pada mitos. Manusia tak puas pada mitos, kemudian lahir logos (rasio sejauh dipahami sebagai lawan dari mitos). Dari logos kemudian lahir filsafat dan ilmu pengetahuan lain.

Logos –sejauh dipahami sebagai nalar atau rasio— dituahkan, menyingkirkan mitos. Dengan logos, manusia (para filsuf awal, pra-sokratik) menafsiri alam secara berbeda; mencari archè, prinsip pertama realitas dengan tidak menyandarkan pada dewa-dewa. Kita mengenal Thales dengan dunia Air-nya, Anaximandros dengan to apeiron-nya, pertentangan antara Heraklitos dengan pantha rei kai uden menei-nya dan Parmenides dengan dunia statis-nya sebagai struktur dasar realitas.

Filsafat lahir dari pertanyaan, tumbuh dan berkembang sampai hari ini dari saling-mempertanyakan. Tidak ada jawaban ‘akhir’ dalam filsafat. Jika kamu mencari jawaban terakhir¸ yakni kesepakatan yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar, maka, kata Louis O. Kattsoff, kamu akan kecewa dan bersedih hati.[2]

Mengapa filsafat senantiasa mempertanyakan dan tak menyediakan jawaban terakhir yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar? Mari kita jawab --tentunya tidak dengan tendensi fiksasi— dengan menelaah pengertian filsafat terlebih dahulu.

Apa itu filsafat?[3] Kata Plato dalam Republik: “ ... filsafat memang tidak lain daripada usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus.”[4] Filsafat[5], secara etimologis, dijabarkan dari perkataan philosohia, yang artinya ‘cinta akan kebijaksanaan’ (love of wisdom). Pertama kali diucapkan oleh Pythagoras dan Sokrates dengan istilah philosophus untuk mengkritik kaum sophist pada waktu itu yang mengaku ‘telah’ bijaksana dan menjual kebijaksanannya demi pundi-pundi uang. Jelas, kebijaksanaan ini, bagi Sokrates, hanyalah kebijaksanaan semu. Oleh karenanya, term yang digunakan Sokrates untuk melawan kaum Sophist adalah philosophus, pecinta kebijaksanaan; orang yang ingin mempunyai pengetahuan yang luhur (Sophia). Suatu proses terus menerus dan tak berkesudahan.

Dalam proses yang tak berkesudahan itu, filsuf mengambil sikap tegas, semacam claim of truth-nya sendiri. Yang pada nantinya melahirkan pertanyaan dan dikritik oleh filsuf lain. Sebut saja Karl Marx yang mengambil sikap tegas, bahwa: “The philosophers have only interpreted the world, in various ways. The point, however, is to change it.” Sikap filosofis Marx ini menubuh dalam pemikirannya, yang tak lain merupakan tangkapan atas kondisi material masyarakat. Sehingga, pemikirannya, oleh banyak kalangan, sekaligus praxis philosophia. Sehingga, dalam filsafat, dikenal banyak aliran; ada idealisme, materialisme, empirisisme, sinkretisisme, dan lain sebagainya.

Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama

Filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lah sama. Ada perbedaanya. Seperti kata Driyakara: “pengetahuan ilmiah” belumlah disebut “filsafat” atau “kebijaksanaan”.[6] Meskipun di awal kemunculannya, di Yunani, filsafat dan ilmu pengetahuan dianggap sama saja; segala usaha untuk mencari penjelasan tentang kenyataan.

Pertanyaan selanjutnya: apa itu kebijaksanaan dan (si)apa seseorang yang ‘bijaksana’ itu? Saya kutipkan dari pernyataan Driyakara[7]: “Kebijaksanaan itu adalah lebih daripada pengetahuan ilmiah belaka.  [...] bijaksana (sophos) mengandung arti (1) mempunyai insight, pengertian yang mendalam, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan seluruh dunia dengan segala lapangannya, dan hubungan-hubungan antara kesemuanya itu. (2) Sikap hidup yang “benar”, yang baik dan yang tepat, berdasarkan pengertian tadi, yang mendorong akan hidup, yang sesuai dengan pengertian yang dicapai itu.” Driyakara juga mengutip Plato yang menunjukkan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni: untuk mencapai kebijaksanaan hidup itu maka diperlukan suatu pengetahuan yang mendalam tentang manusia dan dunia.

Lalu hubungan filsafat dan agama? Bukankah banyak tokoh atau pemuka agama yang melarang umatnya belajar filsafat ya? Takut sesat lah, takut menyimpang lah, takut ateis lah, dan ketakutan-ketakutan yang bagi saya tidak perlu. Jawaban singkatnya saya kutip dari perkataan filsuf Islam Ibnu Rusyd: kalau memang filsafat itu sesat, buktikanlah, niscaya kamu juga otomatis berfilsafat. Atau menggunakan perkataan Al-Kindi yang didapat dari dalil protepticus Aristoteles: Belajar filsafat tidak harus, tapi juga tidak sia-sia.

Kalau dalam Islam, terutama dalam tubuh HMI sendiri bagaimana? Kita punya, sebut saja, Ahmad Wahib, anak muda yang bergulat dalam pencarian, pribadi yang gelisah. Dalam pergulatannya, Wahib tidaklah dogmatis, terutama dalam beragama. Kebebasan berpikir dijadikan titik tolaknya. Akal sebagai tonggak utama kebebasan berpikir, bagi Wahib, merupakan alat untuk menggali Qur’an dan Sunnah sebagai sumber Islam.[8] Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri?[9] Sehingga, Wahib dikenal dengan pembaharu pemikiran Islam; “suatu gerakan pembaharuan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan betanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, yang lebih baik dari yang sudah baik.”[10]

Yang terakhir, keutamaan berfilsafat (setidaknya dipahami sebagai keutamaan berpikir) bertaut erat dengan keutamaan berdzikir. Ada kosakata tafakkur, tadabbur, nazarra, ijtihad, dsb.


[1] Lih. C.A. Van Peursen, 1985 [cet. ke-4], Orientasi di Alam Filsafat, [penerj. Dick Hartoko], Jakarta: Gramedia, hal. 2.  
[2] Lih. Louis O. Kattsoff, 2004 [cet. ke- 9], Pengantar Filsafat, [penerj. Soejono Soemargono], Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 3.
[3] Pengertian filsafat di sini berisi kutipan-kutipan saja.
[4] Saya kutip dari bukunya Kattsoff ... Ibid., hal. 1.
[5] Pengertian secara etimologis disini saya saring dari pendapatnya Driyakara dalam kumpulan karyanya, Karya Lengkap Driyakara: Esa-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Gramedia, hal. 973-974.
[6] Lih. Ibid., hal. 987.
[7] Lih. Ibid., hal. 988.
[8] Lih. Ahmad Wahib, 2012, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: Democracy Project, hal. 4.
[9] Lih. Ibid., hal. 7.
[10] Lih. Ibid., hal. 68. 

Comments