(Semoga) Menjadi Nasionalis yang Marhaenis
Kamu gak perlu
mengibarkan bendera merah putih di tempat tertinggi atau mengikat kepalamu
dengan ikat merah putih untuk menunjukkan betapa nasionalisnya kamu. Atau
berteriak di tengah jalan dengan pengeras suara di tangan kiri dan tangan kanan
terkepal sembari berteriak lantang penuh semangat: “NKRI Harga Mati!”
Kamu juga gag perlu
teriak-teriak ‘anti-asing!’ ‘hidup pribumi!’ untuk sekadar mewartakan kepada
jama’ah sosmedmu betapa cintanya kamu kepada tanah airmu. Padahal kamu itu
sendiri gak tau ‘apa dan siapa itu asing?’ ‘siapa pribumi itu dan sejak kapan
penyebutannya ada di Indonesia serta siapa yang menciptakan kata ini untuk
kepentingan apa?’
Tak perlu. Itu semua
hanya simbol, nasionalisme simbolik, nasionalisme semu. Yang justru
mendangkalkan makna nasionalisme itu sendiri. Persis seperti yang dilakukan dan
diterapkan oleh Orde Baru. Disuruh upacara lah, menghafalkan Indonesia Raya dan
Pancasila lah. Biar nasionalis lah. Padahal, mereka, Orde Baru, hanya
memperalat ‘seperangkat alat peraga nasionalisme’ (seperti Pancasila) sebagai
kedok belaka. Untuk menutupi masuknya arus modal besar-besar dari Amerika dan
lembaga donor-donornya (lebih tepatnya lembaga horor sih) macam IMF dan Bank
Dunia.
Belum lagi labelling terhadap orang yang mengkritik
Orde Baru dan menyatakan ketidak setujuanya terhadap kebijakan
‘pembangunanisme’ Orde Baru dicap sebagai tidak nasionalis lah, pengkhianat
lah, kaum separatis lah dan lah lah yang lain.
Yang perlu kamu lakukan
adalah melampaui nasionalisme simbolik itu. Bukankah organisasimu yang berulang
tahun ke 63 hari ini punya ‘nasionalisme yang melampaui nasionalisme simbolik’
itu?! Kamu menyebutnya marhaenisme dan sosio-nasionalisme. Keduanya merupakan
paham keberpihakan kepada rakyat tertindas, mustadl’afin,
macam buruh dan petani. Tertindas oleh apa dan siapa yang menindas? Oleh sistem
dan struktur yang ‘diciptakan’ oleh negara dengan korporasi di belakangnya.
Kamu, sekali lagi, gag
boleh netral. Kamu harus berpihak. Netralitasmu justru mengembalikan
nasionalisme ke simbolik tadi. Marhaenisme dan sosio-nasionalisme tidak begitu.
Ada orientasi sosial, keadilan sosial di situ. Itu lah nasionalisme yang
berorientasi pada pembebasan.
Jangan coreng
‘ideologi’ marhaenisme dan nasionalismemu seperti salah satu alumnimu, Ganjar
Pranowo, si gubenur Jawa Tengah itu, yang membela korporasi semen dengan dalih
kepentingan nasional. Yang harusnya kamu dukung dan bela itu nation, bukan state ataupun country.
Kamu tentunya udah di
luar kepala soal bedanya nation dan state/country. ‘Bangsa’ (nation)
merujuk pada sekumpulan orang dengan bahasa, darah, sejarah dan tanah yang
sama, sementara ‘negeri’ (country) atau
‘negara’ (state) merupakan daerah
teritorial atau tanah di mana sekumpulan orang itu tinggal. Di bilik state itu lah, aparatus dan para
birokratnya “tinggal” dan ‘bertahan’ hidup serta sedapat mungkin membela
kepentingan state, kalau bisa
mengindahkan nation.
Selamat. (Semoga) Menjadi nasionalis yang marhaenis atau marhaenis yang nasionalis?!
Comments
Post a Comment