Politik Identitas

Pengantar[1]

Dalam keseharian, kita seringkali menyamakan ‘bangsa’ dan ‘negeri’. Padahal keduanya berbeda. ‘Bangsa’ (nation) adalah sekumpulan orang dengan bahasa, darah, sejarah dan tanah yang sama, sementara ‘negeri’ (country) adalah daerah teritorial atau tanah di mana sekumpulan orang itu tinggal. ‘Negeri’ adalah arena politis (political space), dan ‘bangsa’ adalah kekuatan politis dalam arena itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, perbedaan ‘bangsa’ dan ‘negeri’ sangatlah tipis. Keduanya saling bertautan dan meniscayakan satu sama lain. Dalam konteks Indonesia, ‘negeri’ adalah daerah teritorial Indonesia sebagai sebuah negara yang telah diakui secara de jure dan de facto, sedangkan ‘bangsa’ adalah orang-orang yang mendiami negeri bernama Indonesia.

Di Indonesia, ‘bangsa’ sangatlah banyak dan beragam. Dengan kata lain, tidak hanya terdiri atas satu bangsa saja. Clifford Geertz mengatakan bahwa Indonesia ini sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, dll.), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (Cina, India, Belanda, Islam, Hinduisme, dsb.).

Kondisi yang sangat beragam tersebut, pada satu sisi menjadi modal besar untuk kemajuan dan peradaban Indonesia jika dikelola dengan tepat, namun pada sisi lain akan menjadi sumber kekacauan dan perpecahan negara. Dengan kalimat lain, politik identitas mempunyai dua implikasi: (1) mengokohkan dan (2) memecah belah. Yang pertama jika keberagaman dikelola dengan baik dan tepat, sedangkan yang kedua adalah kegagalan mengorganisir keberagaman.

Sehingga, tugas Indonesia adalah mengelola keberagama tersebut secara tepat. Yakni dengan menerapkan politik multikulturalisme secara tepat dan benar pula.

Menurut Will Kymlicka, politik multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Dalam pengertiannya, bagaimana minoritas mempunyai hak yang sama dengan mayoritas di negara demokrasi.

Politik multikulturalisme mendorong negara untuk melakukan beberapa kebijakan yang diantaranya, (1) sikap negara terhadap kelompok-kelompok lemah, (2) sikap negara terhadap kelompok-kelompok “illiberal”. Yang pertama memberikan “perlindungan internal” kepada kelompok minoritas yang notabene rentan terhadap keputusan mayoritas. Yang kedua memantau dan mengawasi kelompok minoritas yang intoleran terhadap perbedaan (saya mengartikan “illiberal” sebagai intoleran).

Saat politik multikulturalisme dipraktekan dengan kadar yang tepat, maka dapat mendukung integritas dan stabilitas politik dalam demokrasi dan pluralisme. Sebaliknya, jika politik multikulturalisme diejawantahkan secara salah kaprah atau ketika kondisi negara sedang tidak stabil (misalnya, minimnya penegakan hukum, kesenjagan sosial, dan keterpurukan ekonomi), maka politik multikulturalisme dapat berkembang menjadi politik aliran yang intoleran dan penuh kebencian terhadap perbedaan.

Akhirnya, mengutip perkataan F. Budi Hardiman, politik multikulturalisme adalah politik diferensiasi, yakni upaya untuk adil terhadap perbedaan.

Pengertian Politik Identitas

Ada beberapa persoalan utama dalam multikulturalisme, yakni: bagaimana kemudian orang yang berbeda-beda (different people) dapat hidup bersama dan berdampingan tanpa menanggalkan identitas mereka? Bagaimana minoritas disikapi dalam negara demokrasi?

Semua persoalan-persoalan tersebut erat kaitannya dengan politik identitas secara khusus, dan politik multikulturalisme secara umum. Marilah mulai dengan sejarah singkat (asal muasal) politik identitas dan definisinya [2].

L. A Kauffman adalah yang pertama kali menjelaskan hakikat poltik identitas dengan melacak asal-muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an. Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama kali masih kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. [3]

Ada ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang melatarbelakangi lahirnya politik identitas. Dalam konteks ini, identitas dipahami sebagai identitas bersama (kolektif) dan digunakan secara bersama-sama dalam “melawan” ketidakadilan –dan seringkali disebabkan tirani mayoritas.

Politik identitas, pada awalnya, sangat berkait-kelindan dengan isu-isu subordinasi dan marjinal. Ada masalah minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Baru pada tahap berikutnya, politik identitas meluas ke masalah agama, kepercayaan, dan pemahaman kultural lainnya.

Sebagai contoh, di Indonesia muncul kelompok-kelompok  bermuatan etnisitas, agama, dan ideologi politik. RMS (Republik Maluku Selatan), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka) yang dilatarbelakangi kegelisahan akan ketimpangan politik-ekonomi dan cenderung bersifat Jakartacentris. Ada juga   Gerakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. [4]

Politik Identitas dalam Pemikiran Modern dan Postmodern

Ada kalimat menarik yang dapat menggambarkan kondisi (atau mungkin ciri-ciri pokok) politik identitas dalam pemikiran modern sekaligus postmodern. Kalimat ini dinyatakan secara tegas oleh Bauman dan dikutip oleh Martin Lukito Sinaga: [5]
Kalau ”problem identitas” dalam dunia modern adalah bagai mana membangun suatu identitas dan menjaganya agar kokoh serta menetap, maka ”problemidentitas” dalam dunia pasca-modern ialah bagaimana menghindari fiksasi dan membuatnya tetap terbuka… Dalam ihwal identitas ... kata utama dunia modern ialah membentuk; dalam dunia pasca-modern ialah mendaur ulang.
Pernyataan Bauman tersebut bertautan dengan ciri-ciri pokok modernisme dan postmodernisme –sejauh dipahami sebagai periodisasi sejarah filsafat.

Modernisme di bidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descartes, lalu dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Enlightenment/Aufklarung), dan mengabdikan dirinya hingga abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme [6].

Adapun ciri pokok modernisme, menurut F. Budi Hardiman, ada 3 hal, yakni: subjektivitas, kritik, dan kemajuan. [7] Dengan subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Atas asumsi dasar ini, manusia mengobjekkan segala sesuatu di luar dirinya. Objektivikasi ini mengakibatkan eksploitasi pada alam, dan ujungnya berdampak pada krisi ekologis.

Dengan kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu  dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Sedangkan, kemajuan dimaksudkan sebagai kesadaran manusia akan waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu. [8]

Modernisme bukan tanpa masalah. Ada masalah serius yang berakibat buruk terhadap kehidupan alam dan manusia, yakni krisis ekologis sebagai akibat dari subjektivitas yang menggebu-gebu. Selain itu, upaya mencapai kebenaran universal (tunggal) dan klaim atasnya telah menyebabkan banyak korban berjatuhan. Sehingga, untuk merespon ini, postmodernisme lahir sebagai reaksi atas “keburukan” yang ditimbulkan modernisme.

Secara etimologis, postmodernisme berasal dari kata ‘post’ berarti ‘sesudah’ dan ‘modern’ berarti up to date atau ‘sekarang’[9]. Postmodernisme berarti ‘sesudah sekarang’. Dalam konteks ini, postmodernisme adalah perubahan, kecepatan, dan mengalir, sebagaimana kehidupan, karena ia ‘melampaui sekarang.’

Secara terminologis, postmodernisme diartikan sebagai apa yang muncul setelah modernisme. Postmodernisme merujuk pada ambruknya bentuk-bentuk sosial yang diasosiasikan dengan modernitas yang baru saja terjadi dan aktual. [10]

Tahun 1975, Charles Jenks menulis The Language of Post-Modern Architecture yang berisi tentang rumusan unsur kunci dalam suasana postmodern: simplifikasi modernis, gaya minimalis dan bertren universal diolah kembali dengan lebih dekoratif [11].

Pada mulanya, postmodernisme adalah nama gerakan dalam kebudayaan kapitalisme lanjut, secara khusus dalam bidang seni. Postmodernisme kemudian dibahas dan ditulis di mana-mana dalam masyarakat Barat kontemporer. Istilah Postmodernisme telah digunakan dalam banyak bidang dan disiplin ilmu yang mengakibatkan istilah ini begitu populer. [12]

Sebenarnya, cikal-bakal postmodernisme ditemukan dalam beberapa pemikiran filfuf. Yaitu: Nietzsche (1844-1900) dengan relativitas nilai dan anti kemapanan serta “kebencian” terhadap abosutisme, Edmund Husserl (1859-1938) dengan Lebenswelt dan reduksi merupakan suatu sikap kritis terhadap pandangan/pendapat umum, dan Wittgenstein (1889-1951) dengan konsep language games yang berimplikasi pada tidak adanya aturan umum dalam bahasa, masing-masing memiliki rule of games, dan pluriformitas bahasa (meaning in use).

Berdasarkan cikal-bakal dan deskripsi singkat terkait pengertian postmodernisme, kita dapat menemukan ciri-ciri atau corak pemikiran postmodernisme. Adapun coraknya dapat dirangkum sebagai berikut: (1) penghargaan terhadap semua perbuatan, (2) nilai-nilai pluralisme dikedepankan, (3) menjunjung tinggi emosi dan intuisi, (4) toleransi terhadap nilai-nilai religius, (5) pengangkatan kembali budaya lokal, (6) tenggang rasa terhadap berbagai paham,  (7) mendorong demokratisasi, (8) alteritas, dan (9) kritik atas narasi besar.

Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas, sebagaimana juga ditekankan di awal artikel ini, bahwa politik identitas berangkat dari hal-ihwal yang berbau subordinasi dan marjinal, lalu mengambil bentuk dalam identitas kolektif; baik itu berupa entitas ras, etnis, suku, agama, kepercayaan ataupun solidaritas sosial semacam feminisme dan jender.
Munculnya politik identitas, terutama di Indonesia, mengisyaratkan bahwa masih ada dan banyak yang tidak beres di negeri ini, oleh karena itu perlu ditangani dan dikelola secara baik. Di sisi lain, karena politik identitas yang mengambil bentuk dalam keragaman, maka perlu pengelolaan yang tepat dan cermat supaya konflik horizontal antar identitas kolektif dapat diantisipasi.

Catatan Akhir

[1] Pengantar dari artikel ini mengadobsi secara penuh dari tulisan F. Budi Hardiman dalam pengantar buku Kewargaan Multikultural karya Will Kymlicka yang diterjemahkan oleh Edlina H. Eddin (2011 [cet. 2], Jakarta: LP3ES, hlm. vii-xx).

[2] Definisi atau pengertian dan sejarah singkat (asal muasal) politik identitas dalam tulisan ini berdasarkan Orasi Ilmiah Ahmad Syafii Maarif berjudul “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia” dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, pada 21 Oktober 2009. Kemudian, orasi ilmiah ini dibukukan dengan judul yang sama dengan ditambahi beberapa tanggapan dari pelbagai tokoh dan penulis (2012, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi [Edisi Digital], hlm. 3-30).

[3] Ibid., hlm. 4

[4] Ibid., hlm. 20

[5] Martin Lukito Sinaga, 2012, “Melangakaui Politik Identitas, Menghidupi Dinamika Identitas” dalam tanggapan atas Orasi Ilmiah Ahmas Syafii Maarif Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi [Edisi Digital], hlm. 33-42).

[6] Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 29.

[7] Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 3.

[8] Ibid., hlm. 4

[9] O D’Onnell, Kevin, 2009, Postmodernimse, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 6.

[10] Munir, Misnal, 2009, Diktat Kuliah Filsafat Barat Kontemporer, hlm. 47.

[11] O D’Onnell ..... hlm. 8


[12] Munir, Misnal .... hlm. 47

Comments