Pembubaran LMFF Ditinjau dari Dialektika Sokrates-Plato dan Relevansinya bagi Pembangunan Tempat Penjemuran Padi di Fakultas Filsafat UGM
“Loh, baru berdiri kok udah mau dibubarin?” kata Sokrates
menanggapi sikap pulitik Plato perihal ‘ganyang dan bubarkan LMFF!’ (Dalam
maka-lah ini, namanya menggunakan nama samar-samar gimana gitu)
“Lah gimana enggak mau dibubarin, wong kinerjanya enggak jelas
selama dua tahun ini. Katanya biro kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang
advokasi, mana advokasinya?,” timpal Plato dengan nada yang ya lumayan
emosional dan kritis.
Plato menghela nafas. Sokrates membuka mulut, mau ngomong.
“Ya mbok jangan terburu-buru gitu, Plat. Kan masih baru dua tahunan. Beri
mereka waktu untuk membuktikan bahwa sebenarnya advokasi di fakultas kita itu
emang dibutuhkan dan LMFF sebagai garda terdepan yang menangani advokasi otomatis
juga dibutuhkan.” Plat adalah panggilan karib Sokrates kepada Plato.
Mendengar ‘pembelaan’ Sokrates terhadap LMFF, Plato tak
langsung gerang ataupun mendadak emosional. Malahan semangatnya meningkat untuk
membuktikan secara tidak filosofis namun beralasan lah bahwa ‘Mending LMFF
Dibubarin Aja’.
“Begini Sok.” Plato memulai pendapatnya sembari mengangkat
kedua tangannya laiknya politisi saat berdebat. “Advokasi memang dibutuhkan di
fakultas ini. Sangat dibutuhkan malah. Ntar aku ceritain apa aja yang sekiranya
harus dibenahi di fakultas ini. Tapi yang jelas, LMFF yang mendeklarasikan diri
sebagai BKM advokasi udah hampir gak ada advokasinya sama sekali. Adanya cuman
tukang share informasi doang, dan informasi itu kebanyakan kopas dari akun
media sosial organisasi lain. LMFF juga penyedia ppt dosen di setiap ujian lho,
kayak mesiah gadungan di akhir perkuliahan aja.”
Sokrates khidmat mendengarkan celotehan Plato.
“Oh iya satu lagi kerjaan LMFF, ngehadirin acara BEM di
fakultas lain. Di fakultas lain sih bagus citranya, dianggap repolusioner deh
pokoknya. Sampek “elite” LMFF dijadiin menteri BEM KM dan ada juga yang jadi
senat KM. Keren kan? Apalah kita ini, yang CV-nya aja enggak nyampek satu
halaman. Jadi, pengen ikut LMFF buat ngeramein CV. Yah meskipun tak semua
anggota LMFF begitu, tapi kebanyakan sih gitu wkwk.”
“Tapi kan, Plat,” Sokrates menanggapi, “LMFF pernah ngadain
hearing itu lho yang terbuka untuk masyarakat filsafat. Juga ada
kegiatan-kegiatan lain. Beberapa tuduhanmu itu tak berdasar. Mending kita
dukung bersama-sama, dengan cara mengkritiknya, bukan malah mau membubarkannya.
Bukannya sesuatu yang dikerjakan bersama-sama terasa lebih enteng ketimbang
sendirian.”
“Hearing?! Oh hearing yang dulu itu toh. Hasilnya? Tindak
lanjutnya mana? Di hearing itu, kata dekanat, taman firdaus bakal dijadikan
taman an sich, yang enak buat
mahasiswa ngobrol dan ngerumpi serta ngegosipin mahasiswa lain dan dosen. Kok malah
sekarang jadi tempat penjemuran padi sih. Gak sekalian aja dijadiin kolam lele,
biar habis lulus, mahasiswa filsafat gak usah repot-repot nyarik kerja.”
Plato berhenti sejenak. Membasahi kerongkongannya yang udah
kering akibat ngebacot terus dari tadi dengan seplastik es teh. Kemudian
melanjutkan.
“Soal ini lagi, kualitas dosen. Masak yang diajarkan dosen
itu-itu aja. Materinya itu-itu aja. Pptnya dari zaman antik sampai zaman batu
akik sekarang tetap itu-itu aja. Mana jarang ada yang nulis di media massa
lagi. Di media sekaliber lsfcogito.org aja gak pernah ada, he he he, eh belum
pernah ding, yang ngirim tulisan, malah dari dosen universitas dan fakultas
lain yang turut berkontribusi. Katanya andalan filsafat itu nulis dan ngomong.
Mana buktinya? Yah, meskipun enggak semua dosen sih, tapi kebanyakan sih gitu
ckckck. Itu kan juga dipersoalkan waktu hearing the only pertama kali itu. Kok gak ada kelanjutan? Gak ada
pengawalan. Mbok ya ditindaklanjuti toh. Ini hal substansial, untuk fakultas
filsafat ke depannya, untuk bangsaah dan negaraah.”
“Ah sebenarnya banyak sih yang bisa dilakukan, diadvokasi
oleh LMFF. Dari soal sepele misalnya mempertanyakan akun official medos
fakultas filsafat biar mahasiswa mudah ngakses informasi hingga soal substansial seperti mata kuliah yang
tumpah tindih. Masak mata kuliah berlabel Pancasila itu ada 5 mata kuliah.
Busyett. Materinya juga sama dan terkesan gak jelas gimana gitu. Gak
dipersiapkan secara ilmiah-pilosopis lagi. Pancasilais ya Pancasilais, tapi
enggak segitunya juga kali. Ini ruang akademik. Horee!!”
“Belum lagi jumlah mata kuliah yang banyak banget. Jika
ngambil 24 sks dalam satu semester, bisa jadi ada 11 atau 12 mata kuliah lah
yang kamu tempuh. Itu sampek bingung tugasnya. Ya jangan salahkan mahasiswanya
juga lah kalok sering copy paste gitu. Kondisinya emang gitu di fakultas kita
tercintah ini. Oh ya, kalok enggak salah pas lokakarya fakultas, dari pihak
LMFF yang mewakili mahasiswa S1. Hasilnya mana? Kok bisa LMFF yang mewakili?
LMFF kan BKM? Yah, memang pihak fakultas kok yang nunjuk’. Tapi kalok itu salah
alamat, kan bisa ditolak, tidak sesuai dengan SK BKM dari dekanat. Ah sudahlah
...”
“Wait, wait! Bukannya kamu dulu anak LMFF juga ya? Yang
menyosialisasikannya malah. Kok sekarang tetiba pengen banget LMFF bubar. Awas
dianggap kontra-repolusioner juga lho. Ada konspirasi apa lagi nih,” timpal
Sokrates dengan nada rada bercanda. Biar obrolan gak tegang mulu, katanya.
Mendengar timpalan Sokrates, Plato jadi serba salah, mukanya
merah. Tapi, bukan Plato kalok enggak bisa jawab.
“Itu kan dulu Sok. Aku gak menyesali keikutsertaanku di LMFF
kok. Secara tujuan mulia kok. Menjadi BKM advokasi, yang di fakultas kita ini
kosong, belum ada yang mengisi pada waktu itu. Tapi orang-orang di dalamnya itu
lho, meskipun sekali lagi perlu digarisbawahi gak semuanya, yang kerap kali
memposisikan LMFF sebagai BEM. Dan memang, dalam proses pembentukannya mengacu
pada BEM, bukan BKM Advokasi. Dan itu harus aku dan anggota LMFF yang lain
harus diakui. Juga argumentasi moralisnya yang enggak aku suka; ini baik lah,
yang itu buruk lah. Sibuk ngehadiri acara BEM fakultas lain, sibuk membangun
citra di fakultas lain, eh giliran persoalan internal fakultas sendiri yang
butuh advokasi malah acuh-tak-acuh. ”
“Ini sikap pulitik, Sok.”
Dan Sokrates pun terdiam, sementara Plato menghabiskan es
tehnya.
Comments
Post a Comment