Menenggelamkan Kapitalisme

Apa yang dibayangkan Marx ketika merumuskan masyarakat tanpa kelas? Sebuah dunia tanpa penindasan, ada kesetaraan di situ, ada simbiosis mutualisme juga dan ada kemanusiaan pula. Bukankah itu utopis? Ya, memang! Ia tidak akan disebut ideologi jika tidak utopis. Lihat saja demokrasi. Juga liberalisme. Adakah negara di dunia ini yang benar-benar demokratis? Apabila demokrasi merujuk pada empunya, Yunani, yakinlah, senyatanya tidak bakal ditemukan demokrasi di sana –jika demokrasi diartikan dalam konteks hari ini. Begitu pula dengan liberalisme; adakah individu ataupun negara yang benar-benar bebas?

Baiklah, pokok soalnya tidak di situ. Komunisme (dan tentunya dengan marxisme sebagai pisau analisisnya) sebagai sebuah ideologi merupakan capture Marx pada waktu itu atas realitas material. Bahwa alat-alat produksi hanya dikuasi oleh segolongan elite borjuis. Dan para borjuis ini mempekerjakan buruh dengan upah yang tak sesuai dengan (proses) kerja. Sedangkan, mereka, para borjuis, duduk santai menunggu keuntungan.

“Ini penindasan! Ini tidak adil!,” kata Marx. Seharusnya alat produksi dimiliki bersama. Tidak ada lagi pembagian kerja yang dipaksakan --semua orang bebas memilih jenis pekerjaan apa saja dan berunding dengan masyarakat tentang apa yang perlu dikerjakan untuk mencukupi kehidupan bersama.[1]  Pokok prinsip kerjanya begini: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”.

Kalok alat produksi masih dikuasai para borjuis? REVOLUSI! Rebut alat-alat produksi dan kita kuasai dan operasikan bersama. Pada saat itu, setelah alat-alat produksi berhasil direbut, kapitalisme dengan sendirinya runtuh.

Betulkah demikian? Nyatanya tidak. Kapitalisme tetap berlanjut dan hari ini masyhur penyebutan late capitalism, kapitalisme lanjut yang pola-polanya berbeda. Sedangkan di sisi lain, orang-orang kiri (dijuluki marxisme ortodoks) masih berpegang teguh secara strict terhadap analisis Marx, semacam penafsiran yang tekstualis lah.

Kondisi kapitalisme lanjut ini, menurut saya, tergambarkan dengan jelas dalam film Wall Street (1987) besutan sutradara Oliver Stone. Film ini bercerita tentang bagaimana nasib suatu perusahaan ditentukan di depan komputer di sebuah bangunan. Ya apalagi kalau bukan dengan jual beli saham; membeli pada saat harga rendah, dan menjualnya pada saat harga turun (meskipun tidak sesederhana itu).

Seseorang dapat menguasi lebih dari separuh saham korporasi dan itu artinya dia punya otoritas lebih (kalau tidak mau menyebutnya penuh) terhadap kendali korporasi. Arah, kebijak dan nasib korporasi ke depannya sangatlah ditentukan oleh pemilik saham terbesar. Dan mempunyai saham terbesar pada korporasi itulah yang diinginkan oleh para elite borjuis.

Gordon Gekko (diperankan oleh Michael Douglas) merupakan seorang corporate raider dan salah satu pemain di Wall Street. Atas saran rekan kerjanya yang juga seorang pialang, Bud Fox (diperanakan oleh Charlie Sheen), Gekko membeli sebagian besar saham di perusahaan maskapi Bluestar yang sedang mengalami kemunduran.

Niat utama Bud Fox menyarankan Gekko untuk membeli saham Bluestar adalah menyelamatkan perusahaan dan dia bisa menjadi presiden di sana. Upaya menarik dukungan dari serikat pekerja digalakkan. Namun, Gekko tidak benar-benar berniat menyelamatkan perusahaan dan ini yang tidak diketahui Bud.

Gekko hendak membubarkan Bluestar dan mendapatkan keuntungan dari penjualan aset perusahaan dan uang pensiunan pekerja. Saat Bud tahu rencana Gekko, ia segara membelot; memberitahu serikat pekerja dan membujuk Sir Lawrence Wildman, seorang CEO juga, untuk membeli saham perusahaan.

Lalu? Bluestar terselamatkan, meskipun Bud ditangkap dan harus masuk penjara terlebih dahulu atas dasar tuduhan konspirasi melakukan pengelapan sekuritas dan melanggar undang-undang kejahatan Insider Trading.

Bagaimana kaum Kiri menyikapi fenomena dalam film Wall Street? Saham, bagi saya, merupakan alat produksi dalam wajahnya yang mutakhir. Rebutlah alat produksi (baca: saham) itu dengan cara kapitalisme, lalu tenggelamkan kapitalisme sedalam-dalamnya.   



[1] Martin Suryaja, Pengantar Ideologi dalam Indoprogress (https://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/)

Comments