Mencairkan Fobia, Mengupayakan Islah HMI
Selalu ada yang paradoks
dari sebuah perpecahan. Ada yang disanjung sekaligus dibenci. Ada yang dijuluki
pahlawan sekaligus pengkhianat. Tergantung di sebelah mana kita berdiri dan
menyatakan pandangan. Perpecahan menurut pihak mana? Bagi satu pihak disebut
murni perpecahan dan orang-orang yang melakukannya disebut pemberontak. Tapi bagi
pihak lain dinilai sebagai aspirasi politik berlandaskan ideologi dan
orang-orang di dalamnya mendapat sanjungan dan dukungan bak pahlawan. Ini,
sekali lagi, soal sudut pandang. Termasuk dalam konteks dualisme HMI; HMI-DIPO dan
HMI-MPO.
Permainan sudut pandang
untuk membentuk dan merebut wacana di ruang publik sangat kentara pasca
dualisme HMI, bahkan sampai hari ini. Diawali lewat identifikasi yang
memunculkan oposisi biner: kita benar dan mereka salah. DIPO menilai MPO adalah
pemberontak yang menyempal dari HMI, sedangkan MPO menilai DIPO lah pengkhianatnya
karena tunduk terhadap status quo, manut
kepada Orde Baru.
Identifikasi tersebut
kemudian dibawa ke proses pengkaderan, baik formal maupun informal, dalam
rangka menanamkan nilai-nilai ke-DIPO-an dan atau ke-MPO-an. Biasanya,
penanaman nilai-nilai itu berupa penceritaan ulang akan betapa heroiknya para
senior. Selain tentunya juga ideologi dan budaya masing-masing turut
ditanamkan.
Yang DIPO bakal bercerita
bahwa penerimaan asas tunggal Pancasila merupakan taktik dan strategi politik
saja demi mengamankan HMI. Supaya HMI tidak dibubarkan oleh Orde Baru yang pada
waktu itu sedang represif-represifnya. Sedangkan dalam ranah praktik, Islam tetaplah
menjadi asas organisasi.
Berbeda halnya dengan
narasi DIPO, yang MPO bakal bercerita tentang keberaniannya dalam menentang
Orde Baru lewat penolakan atas perberlakuan asas tunggal dan keteguhannya berpegang
pada hal prinsipil; Islam sebagai asas organisasi.
Nilai-nilai ke-DIPO-an
dan ke-MPO-an tersebut kemudian membentuk karakter, sikap dan tindakan masing-masing
kader, baik sebagai individu maupun komunal. Sehingga, kader DIPO dan MPO
mempunyai kekhasan masing-masing.
Kekhasan tersebut menjadi
pembeda antar keduanya dan sering kali terjerumus ke dalam ekslusivisme
masing-masing; yang satu menutup diri dengan yang lain. Walaupun ekslusivisme
tak sepenuhnya tertutup, karena ia masih butuh dengan yang lain. Untuk
memperkokoh kelompok atau golongan sendiri, niscaya butuh penegasian atas
kelompok atau golongan lain.
Dalam konteks dualisme
HMI, misalnya, untuk meneguhkan posisi DIPO sebagai organisasi yang sah, ia
harus menegasikan MPO sebagai yang tidak sah secara konstitusional. Begitupun sebaliknya:
untuk membentengi diri dari “tuduhan” DIPO, MPO memproklamirkan diri sebagai
organisasi yang berpegang teguh pada hal-hal prinsipil (Islam sebagai asas
organisasi) yang dianggap melampaui yang konstitusional.
Sifat ekslusif dan hubungan
saling menegasikan antar keduanya mengantarkan pada ‘fobia’; semacam
ketakutan-ketakuan yang sebenarnya konyol dan tak penting serta
prasangka-prasangka negatif tanpa klarifikasi pihak bersangkutan. Adanya fobia
turut merenggangkan ikatan emosional antar kedua kubu (DIPO dan MPO). Jangankan
untuk bertemu, mendengar namanya saja sudah anti.
Terkait ‘fobia’, saya
pernah mengalami sendiri beberapa tahun silam dan jika mengingat kembali hari
ini terasa amat konyol. Saya pernah berdebat di media sosial dengan salah satu
kader HMI MPO karena dalam poster kegiatan yang ia share di akunnya tidak mencantumkan nomenklatur MPO. Sangat konyol,
bukan?
Sebenarnya masih banyak
hal-hal remeh yang tak perlu untuk saling mengeluarkan urat leher atau
menghabiskan kuota internet bulanan. Oleh karenanya, hari ini, yang patut kita
pertanyakan: masih relevankah kita saling mempertontonkan kengototan? Setelah
reformasi dan HMI DIPO “kembali” ke asas Islamnya dan itu artinya keduanya sama-sama
berasaskan Islam, lalu masih relevankah dualisme?
Jalan
Menuju Islah
Jika sudah sama-sama
berasaskan Islam, mengapa tidak islah saja? Bagaimana hendak mengurusi ummat
jika urusan internal masih belum beres? Bukannya bersatu itu lebih baik
ketimbang berpisah dan perjuangan akan terasa lebih ringan apabila dikerjakan
bersama-sama.
Islah dan bersatunya HMI
memang sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh keluarga besar HMI khususnya dan
umat islam pada umumnya. Upaya islah HMI memang sudah dimulai sejak Agustus
1997 di Yogyakarta ketika Anas Urbaningrum terpilih menjadi ketua umum (DIPO).
Lalu yang mutakhir pada kongres di Palembang tahun 2008 yang menghasilkan kesepakatan
komitmen moral untuk berpegang teguh pada tali Allah dan menjauhi perpecahan
serta mengutamakan solidaritas dan persatuan umat --sebuah upaya yang patut
diapresiasi dan didukung penuh demi terwujudnya islah yang kaffah. Belum lagi
pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh alumni HMI. Namun, islah masih belum
terwujud secara kaffah. Apa yang menyebabkan islah mengalami kebuntuan dan
dualisme HMI masih berjalan sampai hari ini?
Islah tak bisa dilakukan
secara tiba-tiba. Kata ‘islah’ terdengar sangat indah dan menentramkan hati,
tapi jalan menuju islah itu sendiri yang berliku dan berlobang. Harus ada
proses yang tidak sebentar dan proses itu diawali pada bagian terkecil, yakni:
mencairkan fobia.
Mengapa fobia? Selain
turut merenggangkan ikatan emosional antar kedua belah pihak, gejala fobia
sangatlah masif –mulai dari komisariat sebagai jenjang struktural paling bawah
hingga pengurus besar sebagai struktur tertinggi HMI. Hal lain dari fobia
adalah kerapkali diremehkan dan tak diperhitungkan.
Lalu bagaimana mencairkan
fobia? Bertemu. Tak ada cara lain selain pertemuan yang intens, baik dikemas
secara formal maupun informal. Dengan bertemu, miskomunikasi antar kedua belah
pihak dapat dicegah dan prasangka-prasangka dapat terverifikasi. Bertemu adalah
terapi fobia. Dalam term yang lebih jelas dan padat, bertemu berarti menjalin
silaturrahmi demi mempererat tali persaudaraan.
Lewat bertemu (baca:
silaturrahmi), ketakutan-ketakutan yang tak perlu dan prasangka-prasangka negatif
mencair, lalu menguap dan digantikan oleh senyum sumringah kebersamaan dan
persaudaraan. Tentunya, pertemuan-pertemuan menuju islah HMI harus dilakukan
secara menyeluruh, mulai dari para alumni hingga semua jenjang struktural HMI.
Di tingkatan alumni, islah
memang sudah terjadi secara struktural dan (meskipun tak sepenuhnya) kultural
juga. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya KAHMI DIPO dan MPO. Yang ada hanya
KAHMI.
Pada tataran pengurus dan
kader dari kedua belah pihak lah, intensitas silaturrahmi seharusnya
ditingkatkan. Di tingkat pengurus besar tentu telah berkali-kali bertemu
mengupayakan islah, tapi bagaimana dengan pengurus cabang, komisariat dan kader
HMI secara umum? Menurut sepengamatan saya sangatlah jarang, malah lebih sering
menjalin silaturrahmi dengan organisasi ekstra lain.
Seharusnya, upaya islah
HMI harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya pengurus besarnya saja,
seluruh elemen keluarga besar HMI harus bersama-sama mengupayakan islah. Hal
ini untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi: bisa jadi di tingkat pengurus
besar telah terjadi islah, tapi di tingkat ‘akar rumput’ masih terjadi gejolak
dan belum menerima sepenuhnya karena lestarinya fobia-fobia dan minimnya
pertemuan-pertemuan.
Saat islah terjadi, semua elemen dalam keluarga besar HMI harus betul-betul siap, terutama, secara emosional. Karena persoalan Islah bukan sekadar bersatunya HMI secara administratif-konstitusional yang ditandai dengan nota kesepahaman dua petinggi organisasi, melainkan lebih dari itu: merekatkan kembali ikatan emosional demi tujuan ideologis HMI dengan tetap mempertahankan pluralitas yang ada.
Dapat dibaca juga berhimpun.com
Comments
Post a Comment