Arman Dhani dan Penegasannya
Dalam
kancah sosial media, nama Arman Dhani tak asing lagi. Sangat familiar sebagai
selebritis twitter, selebtwit. Layaknya selebritis pada umumnya, Dhani sebagai
selebtwit kerap kali tebar pesona dan penuh kontroversial. Tidak dengan
gosip-gosip miring, apalagi desas-desus perselingkuhan. Melainkan dengan
cuitan-cuitannya, kultwit-kultwitnya, yang terang-terang dan tegas “menyerang”
selebtwit lain sepeti Felix Siauw dan Hafidz Ary. Di situ, ada keberpihakan dan
dalam keberpihakan itu, ada penegasan-penegasan Dhani. Semacam mengambil tempat
dalam arena perdebatan.
Kumpulan
esai Dhani diberi judul Dari Twitwar ke
Twitwar. Ada banyak macam tema yang dibicarakan. Mulai dari kasus
kemanusiaan yang tak kunjung menemukan kesungguhan pemerintah menyelesaikannya,
Islam inklusif, soal perburuhan dan kelas menengah serta hiruk pikuk Jakarta
yang sering kali bikin ruwet pikiran sekaligus ngangenin.
Tegas
dan jelas. Bahwa dalam hidup, keberpihakan merupakan sebuah keniscayaan.
Bahkan, netralitas adalah bentuk lain dari keberpihakan itu sendiri.
Lalu,
Dhani berpihak pada siapa (dan yang mana)? Sebagai lulusan perguruan tinggi
yang sudah tercerahkan dan melek hal-ikhwal kehidupan serta bagian dari kelas
menengah Indonesia, Dhani berusaha menyikapi pelbagai perdebatan dengan
kemanusiaan sebagai titik tumpuan. Dia, bagi saya, adalah seorang humanis.
Meskipun, terkadang berujung pada dilema.
Sebagai
contoh, dalam esai berjudul Atas Nama
Tuhan, Dhani menyoroti diskriminasi terhadap kelompok aliran keagamaan
minoritas. Diskriminasi beroperasi dan mendapat legalitasnya “dari tuhan”.
Tuhan yang mana? Tentunya, tuhan dengan “t” kecil. Bukan Tuhan sebenar-benarnya
Tuhan (dengan “T” besar).
Apa
iya Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan menyuruh umatnya untuk mendiskriminasi
nan mendiskreditkan (bahkan kerap kali dengan jalan kekerasan) Jama’ah
Ahmadiyah di Bandung dan Syi’ah di Madura Jawa Timur ? Tidak. Dan Dhani berada
di posisi ‘tidak’ itu. Argumennya tegas: kemanusiaan. Dasarnya jelas:
konstitusi Indonesia melindungi kebebasan beragama setiap warga negara, juga
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi
Indonesia pada tahun 2005.
Esai-esai
Dhani lain yang menyoroti diskriminasi atas nama agama (dan tuhan) dan
mengetengahkan Islam inklusif antara lain: Surat
Untuk Bapa Fransis, Jokowi Bukan
Islam, dan Islam Mana Yang Anda
Pilih?
Selain
soal diskriminasi atas nama agama, tragedi kemanusiaan masa lalu di negara ini
juga menjadi sorotan Dhani. Sebagaimana termaktub dalam esai Satu Dekade Munir dan Jokowi dan Janji Kemanusiaan.
Dalam
kasus Munir, misalnya, Tim Pencari Fakta telah menemukan bukti kuat yang
merujuk beberapa pimpinan BIN sebagai dalangnya. Ada Muchdi Purwoprandjono,
Deputi V BIN, ditemukan 41 kali berkomunikasi via telepon dengan Pollycarpus,
si tangan kotor pembunuh Munir. Ada nama A. M. Hendropriyono juga. Namun,
proses hukum hanya sampai Pollycarpus. Tidak menjangkau dalang di balik
pembunuhan.
Jika
Presiden SBY pada awal masa jabatan yang keduanya berkata, “Munir murdered case is a test of our history”, maka pemerintah –baik
pada masa SBY hingga Jokowi (setidaknya sampai tahun kedua kepemimpinnya ini)—
telah gagal tes, tidak lulus ujian.
Keterlibatan
negara dalam kasus kemanusiaan di masa lalu tak lantas membuat negara minta
maaf. Alih-alih minta maaf, mengakui bahwa negara pernah turut berperan
membunuh warganya saja masih jauh panggang dari api.
Sederat
kasus kemanusiaan masih jauh dari kata selesai. Kejadiannya memang sudah
selesai, namun pembunuh-pembunuhnya masih bebas, bahkan menempati jabatan
strategis di lembaga tinggi negara. Walaupun, sudah banyak penelitian dan
orang-orang yang mengungkap dan menyingkap kasus kemanusiaan. Namun, lagi-lagi,
negara rupanya masih berprinsip ‘yang lalu biarlah berlalu’; masa lalu masih
menjadi beban dan dianggap menghambat kemajuan bangsa.
Ada
tragedi 1965/1966, kerusuhan Mei, perisiwa Trisakti, kejadian Semanggi 1 dan 2,
Talangsari dan Tanjung Priok serta pembunuhan Munir. Fakta dan data sudah
terungkap dan lengkap. Namun, semuanya seakan-akan dibiarkan oleh negara. Belum
lagi kasus penghilangan paksa di masa Orde Baru.
Banyak pekerjaan rumah yang harus segera dirampungkan, atau tidak lolos ujian kenaikan sebagai bangsa yang beradab. Dhani mengingatkan pemerintah, kita semua sebagai sebuah bangsa, untuk mengedepankan kemanusiaan demi kemanusiaan itu sendiri.
Comments
Post a Comment