Apologi Patah Hati
Ngomongin soal cinta,
hati dan rasa memang punya daya tarik tersendiri. Ibarat nonton bokep, selalu
bikin kecanduan hingga lupa waktu, tau-tau udah adzan subuh. Ngomongin aja
bikin kecanduan, apalagi bener-bener jatuh cinta; berjuta-juta rasanya.
“Sulit Ceng
ngungkapinnya dalam kata-kata,” kata salah satu temenku saat awal jadian.
Tapi begini, ngomongin
soal cinta tak harus pernah merasakan jatuh cinta. Seperti halnya jika kalian
jatuh cinta pertama kali: dari mana kalian yakin kalau sedang jatuh cinta, padahal
sebelumnya belum pernah jatuh cinta. Hayoo, mampus lu nyarik jawaban sebagai pembelaan!
Dalam kondisi seperti
itu, ngomongin cinta merupakan soal keberjarakan. Sejauh mana seseorang
mengambil jarak dengan apa yang hendak dibicarakannya, dalam hal ini tentang
cinta.
Mengambil jarak bukan
berarti meng-objek-an cinta. Tapi mengantisipasi bias yang teramat subjektif;
mencegah situasi ‘kecanduan’, ‘keterlenaan’ dan ‘keterpengaruhan’ akibat
(jatuh) cinta. Sehingga omongan tidak sekadar ‘menurut gue begini, gag tau ya
kalok dalam konteksnya lu’. Tidak pula pembenaran-pembelaan belaka. Ada
intersubjektivitas yang hendak diketengahkan sehingga saripati obrolan dapat
direngkuh.
Pada situasi
keberjarakan itu, saya memosikan diri untuk ngomongin soal cinta. Dalam konteks
ini orang sedang patah hati, yang merupakan tahapan paling ‘muram’ dalam urusan
jatuh cinta. Bagaimana tidak muram, kita masih cinta sama dia, eh tiba-tiba dia
mutusin dengan alasan yang dibuat-buat. Padahal sebenarnya ada yang lain, kan?
Begini, selama dua
tahun belakangan ini, saya telah (dan masih sedang berlangsung) mengamati cum meneliti
saat-saat orang patah hati. Tentunya penelitian ini atas inisiatif dan biaya
sendiri. Tak ada sokongan dana dari lembaga manapun, yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian dan menimbulkan segudang kecurigaan.
Yang menjadi materi
penelitiannya adalah teman sendiri. Banyak orang sih yang jadi objek penelitian saya ini. Tapi saya batasi satu orang
yang cukup amat representif untuk menjelaskan pola dasar orang patah hati.
Sebut saja namanya Momo
(memang nama panggilan sebenarnya). Dua kali jatuh cinta, dua kali patah hati.
Artinya dua kali pula ia kandas di pesimpangan jalan.
“Salahnya siapa kagak
noleh-noleh, sudah tau di persimpangan,” nasehatku padanya setelah patah hati.
Di jalan, apalagi di
persimpangan, segala kemungkinan dapat terjadi. Ban bocor, kehabisan bensin,
ketabrak (baca: ketikung) orang. Masih beruntung kalok hanya lecet-lecet dikit,
kalok meninggal di tempat? Kan parah.
“Biarlah Ceng. Yang
penting dia bahagia. Cinta tak harus memiliki tho,” timpalnya merespon nasehatku dengan nada rendah-datar dan
tatapan mata kosong.
Setelah mendengar
timpalannya itu, rasa ibaku berubah geram, ketenanganku berubah huru-hara. Emosi
naik, serasa ingin narik kupingnya, didekatkan ke mulutku, lalu teriak
keras-keras: TOLOL!
Betapa tidak tololnya,
dua kali patah hati, dua kali pula ia bilang: “Biarlah. Yang penting dia
bahagia. Cinta tak harus memiliki tho.”
Sangat klise. Parahnya, gag bisa ngambil
hikmah dari pengalamannya sendiri. Kayaknya temenku satu ini gag pernah pakek
buku tulis merek sidu yang bagian bawahnya ada kata mutiara experience is the best teacher.
Begini kawan. “Cinta
tak harus memiliki” yang diucapkan setelah patah hati karena putus (lebih
tepatnya diputusin sih) merupakan pertanda bahwa kamu masih tersihir oleh ‘kalau
cinta sudah melekat, tai kucing pun terasa coklat’. Kamu masih belum bisa
berkata kepada dirimu sendiri kalau tai kucing itu memang tai kucing, yang
baunya aja minta ampun, apalagi rasanya.
Singkatnya, “Cinta tak
harus memiliki” adalah apologi orang patah hati. Sebatas hiburan semu.
Pembenaran-pembelaan yang sebenarnya ditujukan untuk menghibur diri paska huru
hara hati. Biar merasa tenang, padahal gelisah. Biar terlihat tegar, padahal
rapuh. Tak lebih dari itu.
Semestinya, cinta itu
harus memiliki. Wajib. Analoginya dapat ditemukan dalam dunia keseharian.
Ketika kita mencintai sesuatu, kita berusaha keras untuk mendapatkannya, memilikinya,
merengkuhnya. Menyaksikannya ada dalam genggaman sambil senyam-senyum
melihatnya. Tak rela sesuatu itu ada digenggaman orang lain. Bagaimanapun
caranya. Tak peduli seberapa mahal harganya. Tak peduli sesuatu itu fungsional
atau tidak. Karena ini bukan soal harga dan fungsi. Ini soal ‘cinta dan suka’,
anak muda.
Jikapun tetap
bersikukuh bahwa “Cinta tak harus memiliki” bukanlah apologi orang patah hati,
okelah tak masalah. Tapi camken kata-kata saya ini: di balik kalimat itu
sebenarnya ada pengharapan; semoga Tuhan memberi pencerahan kepada dia untuk
meng-undo ucapan putus-nya. Situ
pengen balikan, ya?
Dapat dibaca juga di jombloo.co
Comments
Post a Comment