Membaca Kreasi (dan) Puitis pada Puisi Baju Bulan karya Joko Pinurbo
Apa
sebenarnya yang diciptakan oleh penyair? Jika pelukis menciptakan lukisan,
penari menciptakan tarian, lalu apa yang merupakan “produk” seorang penyair?
Penyair menciptakan puisi. Lalu apa yang diciptakan penyair dalam puisi,
sehingga membedakannya dengan karya-karya seni lain. Kata. Penyair mencipta
kata tidak dalam artian dari tiada menuju ada.
Kata-kata
sudah ada sebelumnya. Sebagai warisan bagi penyair. Kata-kata adalah materi
yang digunakan penyair untuk suatu ‘penampilan’ atau ‘citra’ dari pengalamannya,
dari ‘keadaan mentalnya’ (Langer, 2006: 160). Penyair menciptakan penampilan,
yang sangat dipengaruhi oleh pengendalian kata-kata. Dalam konteks ini,
bagaimana cara yang ditempuh dalam “merangkai” atau “memperindah” kata-kata.
Puisi
adalah seni kata, yang dibedakan dengan percakapan sehari-hari dan wacana. Jika
percakapan dan wacana menggunakan bahasa informatif, puisi menggunakan
kata-kata yang bersifat evokatif (Langer, 2006: 158). Hal ini bertujuan untuk
menyampaikan “kedalaman” isi dan makna yang hendak disampaikan oleh penyair.
Bahasa
informatif menekankan pada makna harfiahnya. Makna yang diketahuan dalam
keseharian dan oleh orang banyak. Sedangkan bahasa evokatif menekankan pada
upaya penyempaian perasaan-perasaan, yang kemudian dapat menimbulkan respon
atau reaksi.
Dengan
kata-kata “pilihan”, ada pesan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada alam
semesta. Pesan itu dapat bermuatan ideologis, gejolak intelektual ataupun
gundah-gulana perasaan.
Penyair
menggunakan kata-kata yang evokatif untuk mengungkapkan atau mengekspresikan
perasaan-perasaan, pengalaman-pengalaman dan keadaan mentalnya. Sehingga,
kata-kata yang dirapalkan oleh penyair akan kehilangan makna jika diubah dengan
kata lain meskipun sinonim.
Sebagai
contoh, kata ‘aku’ pada ‘Bulan, aku mau lebaran’ dalam puisi Joko Pinurbo
berjudul Baju Bulan akan kehilangan
makna dan ruang virtualnya (akan dijelaskan selanjutnya) jika dengan dengan
‘saya’ ataupun ‘gue’, ‘ane’, dsb. Begitu pula dengan ‘mau’ diganti ‘ingin’ atau
‘lebaran’ diganti hari raya. Kenapa demikian? Karena bahasa puisi tak bisa
disepadankan dengan bahasa keseharian yang dapat diganti dengan “seenaknya
sendiri” dengan sinonim katanya.
Selain
puisi sebagai seni kata yang bermain-main pada citra dan penampilan lewat
bahasa evokatifnya, puisi juga menciptakan ruang virtual. Apa itu ruang
virtual? Sebelum membahas apa itu ruang virtual, terlebih dahulu akan dibahas
apa itu kreasi dalam seni secara umum.
Kreasi
merupakan pokok penting dan fundamental dalam seni. Ia adalah nadi kehidupan
seniman, yang memungkinkan seniman berkarya. Sehingga, di banyak kalangan dan
dalam ruang publik, seringkali disebut seniman sebagai seorang pekerja kreatif.
Kreasi
merupakan daya cipta yang memungkinkan seniman disebut seniman dan dibedakan
dengan tukang atau pekerja pada umumnya. Padahal, keduanya menciptakan
“produk”; seniman menciptakan karya seni dan tukang sepatu, misalnya,
menciptakan sepatu. Lalu apa yang membedakan keduanya.
Untuk
menjawab pembedaan kedua jenis “produk” di atas, Langer menerangkan: pada objek
sehari-hari, katakanlah sepatu misalnya, dibuat dengan menggabungkan
bagian-bagian kulit menjadi satu; bagian-bagian kulit ini telah ada sebelumnya.
Sepatu ini merupakan sebuah konstruksi dari kulit. Ia memiliki keistimewaan
wujud, guna, dan nama, namun masih berupa bahan dari kulit, dan masih dianggap
seperti itu. Sedangkan suatu lukisan dibuat dengan menebarkan cat di atas
sebuah kanvas, namun gambar yang ada bukanlah sebuah struktur kesatuan dari
warna dan kanvas. Gambar yang muncul dari proses ini merupakan struktur ruang,
dan ruangnya sendiri secara menyeluruh memunculkan berbagai perwujudan, serta
berisi warna-warna yang kasat mata (Langer, 2006: 32).
Ada
struktur ruang yang tak kasat mata, yang kemudian membedakan karya seni dengan
karya non-seni. Struktur ruang tersebut, menurut Langer, yang dapat membuat
‘penikmat seni’ mengalami apa yang disebut ‘ilusi’. Ruang yang menampakkan
struktur tertentu kepada kita melalui indra penglihatan disebut ‘ruang
virtual’.
Sebagai
contoh, gambar yang ada dalam sebuah lukisan merupakan sebuah perwujudan.
Artinya, gambar dengan struktur ruangnya yang ada dalam lukisan itu menampak
kepada kita melalui indra penglihatan, tetapi tidak akan bisa ditemukan bentuk
ruangnya bila ditangkap oleh tangan.
Bagaimana
cara seniman menciptakan ‘ilusi’ atau ruang virtual itu? Pada umumnya, seniman
melakukan dengan cara abstraksi (Langer, 2006: 36-37). Abstraksi di sini
dibedakan dengan generalisasi yang terjadi pada pengetahuan ilmiah. Abstraksi
yang dilakukan oleh seniman justru meng-kongkretkan abstraksinya (biasanya
dalam bentuk gagasan) menjadi satu-satunya simbol yang bermakna.
Lalu
bagaimana dengan ruang virtual puisi yang diciptakan oleh penyair? Penyair
menciptakan ruang virtual berupa pensituasian kata-kata, sehingga memungkinkan
‘penikmat puisi’ menyerapnya, menghayati kata per kata, menyelami sampai ceruk
terdalam makna, bahkan seakan-akan berada pada spasi si antara kata. Jika tak
disebut berlebihan, penyair menyihir dengan sihir kata-katanya.
Membaca Baju Bulan
Puisi
Joko Pinurbo yang saya jadikan objek kajian dalam tulisan ini adalah puisi berjudul Baju Bulan (2003) yang terdapat dalam buku kumpulan puisi terbaru
Jokpin –sapaan akrab Joko Pirbo— Selamat
Menunaikan Ibadah Puisi: sehimpun puisi pilihan (Gramedia, 2016). Puisi tersebut
dipilih karena muatan makna atau pesan sosial yang kontekstual, dan disampaikan
dalam bahasa yang sederhana serta tak terkesan berbelit-belit.
Mari
perhatikan cuplikan penuh sajak Baju
Bulan:
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin
baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di
mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa
kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu
barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang
membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu
banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya
yang keperakan
mengenakannya pada gadis kecil yang
sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan.
Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap
paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa
pulang.
Membaca puisi tersebut, seakan-akan
pembaca dibawa untuk menghayati kemiskinan di tengah gegap-gempita. Ada pesan
sosial. Ada makna kemanusiaan yang hendak disampaikan Jokpin dalam puisinya
tersebut. Pesan dan makna tersebut dikontraskan dengan gegap gempita lebaran.
Acep Iwan Saidi, dalam Kompas
Minggu, 8 September 2013, berkomentar: secara tematik, sajak tersebut tentang
peristiwa pertentangan di malam Lebaran:
hal memilukan di tengah-tengah kebahagiaan; orang yang kalah dalam mitos
kemenangan.
Kata yang dipilih Jokpin untuk
mengungkapkan (sekaligus menyingkapkan) kemiskinan dalam tarikan nafas dengan
momen-momen kebahagiaan-kemenangan adalah ‘baju’. Di hari lebaran, semua orang
mengenakan baju baru. Tradisinya begitu.
Ada anak kecil ingin memakai baju
baru, tapi tak punya uang. Ia pinjam baju bulan yang kuno. Baju yang kuno
dikenakan oleh si anak kecil. Bulan telanjang di langit, atap bagi yang tak
punya rumah.
Untuk menyampaikan pesan
‘kemiskinan’, kata-kata yang dipilih Jokpin saling kait-kelindan satu sama
lain. Kata itu adalah kata evokatif. Ada dua kebutuhan pokok manusia yang
disinggung Jokpin dalam sajak tersebut, yakni: ‘baju’ sebagai simbol sandang
dan ‘[...] langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa
pulang’.
Pemilihan kata-kata tersebut
merupakan upaya menciptakan struktur ruang virtual, dengan pen-situasi-an
kata-kata. Sehingga, ketika pembaca atau penikmat puisi membaca puisi Jokpin
tersebut, akan timbul ada reaksi, entah itu simpatik kepada anak kecil, ataupun
antipati terhadap orang-orang yang berlebaran sementara di beberapa bagian di
muka bumi, ada orang-orang tak dapat merayakan hari kemenangan.
Daftar
Pustaka
Langer, Suzanne K. 2006. Problematika Seni. Bandung: Sunan Ambu
Press.
Pinurbo, Joko. 2016. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: sehimpun
puisi pilihan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Acep Iwan Saidi. “Puisi Induktif
Joko Pinurbo” dalam Kompas Minggu, 8
September 2013.
Comments
Post a Comment