Mengapa PB HMI Perlu Dibela?

Pada 2 November 2016, di grup Line HMI, beredar seruan aksi 4 November dari PB HMI untuk seluruh kader HMI se-nusantara. Tidak sekadar di grup Line, di beberapa media sosial seperti facebook dan twitter menjadi viral. Beberapa media online nasional juga memberitakan.

Banyak reaksi bermunculan. Ada yang kontra, ada yang pro, ada juga beberapa yang coba ‘menjernihkan’ dengan perlunya argumentasi-argumentasi memadai. Sebagai kader himpunan, bolehlah saya urung rembug barang sepatah dua patah kata.

Dalam seruan aksi itu --yang merupakan hasil rapat bersama PB HMI dan pengurus HMI Cabang se-Jabotabek bertempat di sekretariat PB HMI, Jl. Sultan Agung No 25, pada Selasa, 01 November 2016— ada empat point pernyataan, yang secara garis besar berisi tuntutan penegakan hukum kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.

Sebagai kader hijau-hitam yang baik dan sholeh, saya kok ya husnudzon saja sama PB HMI, bahwa membela bangsa, negara dan tentunya Islam adalah keharusan, apalagi telah dilakukan kajian dan rapat akan hal itu. Tapi, pertanyaannya: apakah mereka betul-betul membela agama atau perlukah agama dibela?  

Ada beberapa hal yang perlu dijernihkan dalam fenomena ini: apakah perkataan Ahok di Kepulauan Seribu itu adalah penistaan terhadap agama Islam atau pertanyaan yang lebih radikal; apakah penistaan terhadap agama itu ‘ada’ atau sekadar ‘dibuat-buat’ untuk suatu kepentingan tertentu yakni kepentingan politik, mengingat Jakarta hari ini sedang dalam dinamika Pilkada.

Dugaan penistaan agama oleh Ahok ini berawal dari perkataannya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 saat berdiskusi dengan warga soal perekonomian warga setempat. Saya kutip ‘inti pokok’ pernyataan Ahok yang menuai polemik itu:
"Kan bisa saja dalam hati kecil, bapak ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongin pake surat Al Maidah 51 macam-macam itu, itu hak bapak ibu. Kalau bapak ibu merasa enggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa."

Yang harus digarisbawahi dari pernyataan Ahok itu adalah kata ‘dibohongin’; apa makna kata ini dalam konteks pernyataan Ahok, mengapa yang dikutip adalah QS. Al-Maidah 51 dan tentunya tak lepas dari konteks isu SARA pada Pilkada DKI.

Menyongsong dan menjelang Pilkada DKI 2017, isu SARA di Jakarta menjamur. Ayat dalam Surat Al-Maidah ini salah satunya yang memang kerap kali menjadi materi kampanye untuk mengarahkan warga muslim DKI agar tidak memilih Ahok. Semisal ketika dipakai Hizbut Tahrir Indonesia dan Gema Pembebasan dalam kasus video #TolakPemimpinKafir, beberapa waktu silam.

Lewat konteks isu SARA dalam dinamika Pilkada DKI tersebut, kata ‘dibohongin’ mendapatkan penjelasannya. Yakni, pemakaian term-term agama untuk kepentingan politik tertentu atau singkatnya politisasi agama.

Bukankah agama memang rawan dan bahkan sering dipolitisasi? Dengan ‘mengandalkan’ keterikatan emosional umat dan mengutip beberapa pesan ilahiyah, agama --dengan sumber daya manusianya yang besar secara kuantitas— dapat menjadi lumbung suara pada perhelatan kontestasi politik. Bukankah politik harus senantiasa berlandaskan pada hal-hal yang rasional; tentang program kerja, kebijakan dan kemaslahatan publik.

Oleh karena itu, saya kira penting untuk mengutip Cak Nur dalam tulisan ini lewat jargonnya yang masyhur itu: Islam “Yes”, Partai Islam “No”. Hari ini, dalam dinamika politik di Indonesia secara umum, tidak hanya partai Islam yang sering ‘mempolitisasi’ agama untuk sekadar kepentingan politiknya, melainkan beberapa partai sekuler –terutama terjadi di daerah-- memakai term-term agama untuk mendongkrak perolehan suaranya, juga untuk investasi suara pada pemilihan selanjutnya.   

Mari kita beranjak ke problem pokok selanjutnya: apakah penistaan terhadap agama itu ‘ada’ atau sekadar ‘dibuat-buat’ untuk kepentingan (politik) tertentu? Jika kita (masih) percaya bahwa agama Islam adalah agama Allah, lantas perlukah –dengan meminjam istilah Gus Dur— Allah dibela? Bukankah Ia adalah Mahasegalanya dan Mahabesar?

Islam tak akan hina dan rendah –kalau kita (masih) menganggap penistaan terhadap agama itu ada— saat ada orang atau beberapa kalangan “menistakannya”, “mencelanya”. Islam justru akan terjerumus ke dalam jurang kehinaan saat, misalnya, umat muslim sendiri melakukan kekerasan, tindakan korupsi, dan membiarkan saudara sebangsanya tertindas. Dalam kaitannya dengan yang terakhir ini, selama ini, ke mana PB HMI dan HMI Cabang Se-Jabodetabek dalam kasus penggusuran Bukit Duri? Tak usah jauh-jauh ke beberapa kasus di daerah seperti di Rembang dan Banyuwangi, di yang dekat saja emoh. Katanya membela, membela (kepentingan) siapa? Atau saya-nya yang kurang update, entahlah. 

Dapat dibaca juga di berhimpun.com

Comments