Meneladani Kesederhanaan Lafran Pane
Kanda Lafran Pane |
Sebagai salah seorang
pemrakarsa atau pendiri HMI, Lafran Pane sudah tak asing lagi di telinga kader
dan alumni HMI. Beliau senantiasa disebut-sebut di jenjang pengkaderan (training) dan forum-forum di HMI. Yang
asing barangkali adalah jalan hidup sederhana yang Beliau tempuh dan senantiasa
berpegang teguh pada prinsip-prinsip. Setidaknya asing bagi saya sebagai kader
HMI. Dalam keadaan “asing” ini, saya, lewat tulisan ini, mencoba untuk
mengakrabi sisi lain Lafran Pane dan merefleksikannya dalam konteks kekinian.
Meneropong kesederhanaan
hidup Lafran Pane tak bermaksud sebagai ‘menyederhanakan’ kehidupan Beliau. Tak
dapat dielakkan dedikasi dan kontribusi Beliau dalam pelatakan dasar pemikiran
keisalaman-keindonesiaan sebagaimana mewujud dalam tujuan didirikannya HMI.
Meskipun, dalam pendirian HMI, Beliau tidak sendirian. Ada sekitar 16-an
mahasiswa dengan ‘meminjam’ jam kuliah tafsir Bapak Husein Yahya.[i]
Kesederhanaan hidup
Lafran Pane dipotret dengan maksud meneladani dan merefleksikannya dalam
konteks kekinian, terutama dalam Ber-HMI. Laku sederhana adalah sikap tegas
terhadap kehidupan. Kata lain ‘kesederhanaan’ adalah kebercukupan; merasa
cukup, walaupun sebenarnya bisa untuk bersikap lebih dari sekadar ‘cukup’.
Dikontraskan dengan tamak dan rakus yang senantiasa berujung pada merasa
kurang, meskipun kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi.
Sikap kebercukupan
Lafran Pane mewujud dalam kesehariannya. Misalnya, Beliau pergi ke kampus
selalu memakai sepada onthel. Pada suatu waktu, sepeda onthelnya hilang dicuri
(baca: diamankan) mahasiswanya dengan maksud supaya Beliau tak naik sepeda lagi
ke kampus, dan kejadian “pengamanan” ini dituturkan langsung oleh mahasiswa
kepada Beliau. Alih-alih membeli motor ataupun mobil, Beliau membeli sepeda
yang baru. Sementara sepeda yang diambil mahasiswa tadi diserahkan kepada
mahasiswa bersangkutan untuk dimiliki dan digunakan.[ii]
Selain itu, laku hidup
sederhana Lafran Pane ‘dibuktikan’ dengan tidak memiliki rumah tetap.
Berkali-kali Beliau pindah dan menyewa, hingga terakhir tinggal di Komplek IKIP
Yogyakarta (sekarang UNY). Perabotan rumah yang cukup dan sederhana, tidak
memiliki kendaraan pribadi dan telepon memperjelas laku hidup sederhana Beliau.[iii]
Sekitar tahun 1983,
alumni-alumni HMI Yogyakarta yang ada di Jakarta bermaksud memberi penghargaan
dan sebagai rasa penghormatan kepada Beliau berupa rumah beserta fasilitas di
dalamnya, termasuk mobil dan telepon. Lalu, dengan nada sedikit keras, Beliau
menjawab: “Jangan menghina saya ya, saya
tidak butuh itu semua. Walaupun pola hidup saya seperti ini bukan berarti saya
tidak sanggup membuat rumah membeli mobil dan lain-lain. Berikan saja itu
kepada yang membutuhkan. Terima kasih saya ucapkan atas perhatian itu.”[iv]
Tidak sampai di situ
laku hidup sederhana Lafran Pane. Saat diundang PB HMI ke Jakarta, Beliau
selalu diberikan ongkos transport kereta api pulang-pergi. Jika ongkos itu
lebih, Beliau lantas mengembalikannya. Meskipun PB HMI tetap menolak, Beliau
tetap bersikeras mengembalikan.
Pada tataran yang lebih
luas --dalam skala nasional, dalam dunia politik misalnya— atas usaha dan
prakarsa Akbar Tanjung (Ketua Umum PB HMI 1971-1974, politisi senior), Lafran
Pane diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tahun 1990 tanpa
harus terlebih dahulu menjadi anggota Golkar. Di DPA, Beliau bersikap
independen, tak masuk fraksi manapun dan papan namanya tertulis ‘Alumni HMI’.
Cerita menarik lain
saat Lafran Pane hendak dilantik dan mengharuskan Beliau ke Jakarta. Akbar
Tanjung telah memesankan hotel berbintang untuk bermalam dengan tujuan
memudahkan komunikasi. Namun, Beliau lebih memilih penginapan yang biasa
ditempati saat sedang di Jakarta, penginapan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) di
kawasan Kwitang. Tak hanya soal tempat menginap, Beliau juga tak mau dibuatkan
jas baru untuk dipakai saat pelantikan (walaupun berhak akan barang itu) dan
memilih jasnya sendiri yang dibawa dari Yogyakarta.[v]
Sebenarnya, laku hidup
sederhana dan senantiasa berpegang teguh pada prinsip telah diejawantahkan oleh
Lafran Pane saat masa-masa awal berdirinya HMI. Demi regenerasi dan perluasan
dakwah HMI, Beliau menyerahkan kepemimpin PB HMI kepada M.S. Mintareja pada 22
Agustus 1947 dan memilih menjadi wakil ketua. Terhitung, Beliau adalah Ketua
Umum PB HMI tersingkat. Meskipun pada masa perang paska proklamasi kemerdekaan,
PB HMI vakum karena ditinggal pengurusnya untuk perjuangan bersenjata melawan
agresi Belanda. Pada Kongres ke-I di Yogyakarta tanggal 30 November 1947,
Beliau menjadi sekretaris PB HMI sekaligus merangkap sebagai Ketua Umum HMI
Cabang Yogyakarta perioder 1947-1948.[vi]
Begitulah potret laku
hidup sederhana seorang Lafran Pane dan konsistensinya berpegang teguh pada
prinsip-prinsip. Kesederhanaan Beliau dalam keseharian dapat menjadi tamparan
keras bagi, misalnya, kader dan alumni HMI yang terjerat kasus korupsi.
Kesederhanaan bukan berarti anti-kemapanan. Kesederhanaan adalah sikap mental;
perasaan cukup. Dan korupsi, misalnya, adalah wajah lain dari kesederhaan; ia
wajah tamak dan serakah –tidak pernah merasa cukup.
Dalam hal kepemimpin,
Lafran Pane telah mewariskan suatu tindakan patriotik yang ‘sederhana’ –jika
saya dapat mengistilahkannya demikian— dengan tidak ngotot mengejar jabatan atau posisi. Tentunya ‘sederhana’ jika tak
mengedepankan ego, kepentingan pribadi, dan prestise.
Hal ini hendaknya diteladani, diresapi dan diejawantahkan oleh kader dan alumni
HMI; bahwa kepentingan ummat (publik) lebih penting dan mulia ketimbang
kepentingan pribadi atau golongan.
Di samping itu, etos
kesederhanaan dan kepemimpin Lafran Pane dapat dijadikan rujukan dalam proses
menuju bersatunya HMI, yang sampai hari ini masih terpisah ke dalam dua kubu:
DIPO dan MPO. Tentu saya tak bermaksud menyederhanakan kompleksitas masalah
keduanya dan jalan persatuan. Tetapi, saya kira, Lafran Pane telah mewariskan
sistem nilai yang tersirat dalam sikap dan tindakan Beliau. Jika sistem nilai
dapat dijadikan pedoman dasar dalam proses rekonsiliasi, saya kira, ego dan
kepentingan pribadi atau golongan dapat ditanggalkan.
Alhasil, melihat sisi lain Lafran Pane dan melihat HMI hari ini, kesimpulan saya mengerucut pada frasa: krisis kesederhanaan. Ada keberjarakan yang cukup jauh. Bukan jarak ruang dan waktu, melainkan jarak ‘keteladanan’. Tentunya, asumsi saya ini sangat menggeneralisir dan sebenarnya saya tak suka ‘generalisasi’. Apalah daya, ‘generalisasi’, dalam konteks HMI, merupakan benih-benih otokritik.[]
Catatan Akhir
[i]
Lih. Agussalim Sitompul, Sejarah
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Jakarta, Misaka Galiza,
2008 [cet. ke-2]), hlm. 13-14.
[ii]
Lih. Agussalim Sitompul, Mengenal dari
Dekat Pemrakarsa Pendiri HMI Prof. Drs. H. Lafran Pane dan Perjuangannya, dalam
Lafran Pane: Penggagas Besar,
(Jakarta, KAHMI Centre, 2015), hlm. 71.
[iii]
Lih. Ibid., hlm. 70.
[iv]
Lih. Ibid., hlm. 65-66. Cerita ini
berdasarkan pengalaman langsung (Alm.) Kanda Agussalim Sitompul, yang kemudian
dituangkan ke dalam tulisan.
[v]
Lih. Ibid., hlm. 63-64.
[vi]
Lih. Agussalim Sitompul, Sejarah
Perjuangan Himpunan ..., Op. Cit., hlm. 107-108. Bdk. Hariqo Wibawa Satria,
Lafran Pane, Posisi dan Perannya Untuk
Indonesia, tulisan yang dipresentasikan dalam acara Seminar Nasional
‘Lafran Pane untuk Pahlawan Nasional’ di Universitas Islam Indonesia pada tahun
lalu, 10 November 2016.
Dapat dibaca juga di berhimpun.com
Comments
Post a Comment