Meneladani Kesederhanaan Lafran Pane

Kanda Lafran Pane
(Si)apa yang patut diteladani, terutama oleh kader dan alumni HMI, di hari pahlawan (10 November) ini? Keluarga besar HMI tak usah jauh-jauh mencari tokoh –walaupun ini juga perlu. Di HMI sendiri, ketokohan tersebut menubuh dalam diri Lafran Pane.

Sebagai salah seorang pemrakarsa atau pendiri HMI, Lafran Pane sudah tak asing lagi di telinga kader dan alumni HMI. Beliau senantiasa disebut-sebut di jenjang pengkaderan (training) dan forum-forum di HMI. Yang asing barangkali adalah jalan hidup sederhana yang Beliau tempuh dan senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip. Setidaknya asing bagi saya sebagai kader HMI. Dalam keadaan “asing” ini, saya, lewat tulisan ini, mencoba untuk mengakrabi sisi lain Lafran Pane dan merefleksikannya dalam konteks kekinian.

Meneropong kesederhanaan hidup Lafran Pane tak bermaksud sebagai ‘menyederhanakan’ kehidupan Beliau. Tak dapat dielakkan dedikasi dan kontribusi Beliau dalam pelatakan dasar pemikiran keisalaman-keindonesiaan sebagaimana mewujud dalam tujuan didirikannya HMI. Meskipun, dalam pendirian HMI, Beliau tidak sendirian. Ada sekitar 16-an mahasiswa dengan ‘meminjam’ jam kuliah tafsir Bapak Husein Yahya.[i]

Kesederhanaan hidup Lafran Pane dipotret dengan maksud meneladani dan merefleksikannya dalam konteks kekinian, terutama dalam Ber-HMI. Laku sederhana adalah sikap tegas terhadap kehidupan. Kata lain ‘kesederhanaan’ adalah kebercukupan; merasa cukup, walaupun sebenarnya bisa untuk bersikap lebih dari sekadar ‘cukup’. Dikontraskan dengan tamak dan rakus yang senantiasa berujung pada merasa kurang, meskipun kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi.

Sikap kebercukupan Lafran Pane mewujud dalam kesehariannya. Misalnya, Beliau pergi ke kampus selalu memakai sepada onthel. Pada suatu waktu, sepeda onthelnya hilang dicuri (baca: diamankan) mahasiswanya dengan maksud supaya Beliau tak naik sepeda lagi ke kampus, dan kejadian “pengamanan” ini dituturkan langsung oleh mahasiswa kepada Beliau. Alih-alih membeli motor ataupun mobil, Beliau membeli sepeda yang baru. Sementara sepeda yang diambil mahasiswa tadi diserahkan kepada mahasiswa bersangkutan untuk dimiliki dan digunakan.[ii]

Selain itu, laku hidup sederhana Lafran Pane ‘dibuktikan’ dengan tidak memiliki rumah tetap. Berkali-kali Beliau pindah dan menyewa, hingga terakhir tinggal di Komplek IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Perabotan rumah yang cukup dan sederhana, tidak memiliki kendaraan pribadi dan telepon memperjelas laku hidup sederhana Beliau.[iii]

Sekitar tahun 1983, alumni-alumni HMI Yogyakarta yang ada di Jakarta bermaksud memberi penghargaan dan sebagai rasa penghormatan kepada Beliau berupa rumah beserta fasilitas di dalamnya, termasuk mobil dan telepon. Lalu, dengan nada sedikit keras, Beliau menjawab: “Jangan menghina saya ya, saya tidak butuh itu semua. Walaupun pola hidup saya seperti ini bukan berarti saya tidak sanggup membuat rumah membeli mobil dan lain-lain. Berikan saja itu kepada yang membutuhkan. Terima kasih saya ucapkan atas perhatian itu.”[iv]

Tidak sampai di situ laku hidup sederhana Lafran Pane. Saat diundang PB HMI ke Jakarta, Beliau selalu diberikan ongkos transport kereta api pulang-pergi. Jika ongkos itu lebih, Beliau lantas mengembalikannya. Meskipun PB HMI tetap menolak, Beliau tetap bersikeras mengembalikan.
Pada tataran yang lebih luas --dalam skala nasional, dalam dunia politik misalnya— atas usaha dan prakarsa Akbar Tanjung (Ketua Umum PB HMI 1971-1974, politisi senior), Lafran Pane diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tahun 1990 tanpa harus terlebih dahulu menjadi anggota Golkar. Di DPA, Beliau bersikap independen, tak masuk fraksi manapun dan papan namanya tertulis ‘Alumni HMI’.

Cerita menarik lain saat Lafran Pane hendak dilantik dan mengharuskan Beliau ke Jakarta. Akbar Tanjung telah memesankan hotel berbintang untuk bermalam dengan tujuan memudahkan komunikasi. Namun, Beliau lebih memilih penginapan yang biasa ditempati saat sedang di Jakarta, penginapan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) di kawasan Kwitang. Tak hanya soal tempat menginap, Beliau juga tak mau dibuatkan jas baru untuk dipakai saat pelantikan (walaupun berhak akan barang itu) dan memilih jasnya sendiri yang dibawa dari Yogyakarta.[v]

Sebenarnya, laku hidup sederhana dan senantiasa berpegang teguh pada prinsip telah diejawantahkan oleh Lafran Pane saat masa-masa awal berdirinya HMI. Demi regenerasi dan perluasan dakwah HMI, Beliau menyerahkan kepemimpin PB HMI kepada M.S. Mintareja pada 22 Agustus 1947 dan memilih menjadi wakil ketua. Terhitung, Beliau adalah Ketua Umum PB HMI tersingkat. Meskipun pada masa perang paska proklamasi kemerdekaan, PB HMI vakum karena ditinggal pengurusnya untuk perjuangan bersenjata melawan agresi Belanda. Pada Kongres ke-I di Yogyakarta tanggal 30 November 1947, Beliau menjadi sekretaris PB HMI sekaligus merangkap sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta perioder 1947-1948.[vi]

Begitulah potret laku hidup sederhana seorang Lafran Pane dan konsistensinya berpegang teguh pada prinsip-prinsip. Kesederhanaan Beliau dalam keseharian dapat menjadi tamparan keras bagi, misalnya, kader dan alumni HMI yang terjerat kasus korupsi. Kesederhanaan bukan berarti anti-kemapanan. Kesederhanaan adalah sikap mental; perasaan cukup. Dan korupsi, misalnya, adalah wajah lain dari kesederhaan; ia wajah tamak dan serakah –tidak pernah merasa cukup.

Dalam hal kepemimpin, Lafran Pane telah mewariskan suatu tindakan patriotik yang ‘sederhana’ –jika saya dapat mengistilahkannya demikian— dengan tidak ngotot mengejar jabatan atau posisi. Tentunya ‘sederhana’ jika tak mengedepankan ego, kepentingan pribadi, dan prestise. Hal ini hendaknya diteladani, diresapi dan diejawantahkan oleh kader dan alumni HMI; bahwa kepentingan ummat (publik) lebih penting dan mulia ketimbang kepentingan pribadi atau golongan.

Di samping itu, etos kesederhanaan dan kepemimpin Lafran Pane dapat dijadikan rujukan dalam proses menuju bersatunya HMI, yang sampai hari ini masih terpisah ke dalam dua kubu: DIPO dan MPO. Tentu saya tak bermaksud menyederhanakan kompleksitas masalah keduanya dan jalan persatuan. Tetapi, saya kira, Lafran Pane telah mewariskan sistem nilai yang tersirat dalam sikap dan tindakan Beliau. Jika sistem nilai dapat dijadikan pedoman dasar dalam proses rekonsiliasi, saya kira, ego dan kepentingan pribadi atau golongan dapat ditanggalkan.

Alhasil, melihat sisi lain Lafran Pane dan melihat HMI hari ini, kesimpulan saya mengerucut pada frasa: krisis kesederhanaan. Ada keberjarakan yang cukup jauh. Bukan jarak ruang dan waktu, melainkan jarak ‘keteladanan’. Tentunya, asumsi saya ini sangat menggeneralisir dan sebenarnya saya tak suka ‘generalisasi’. Apalah daya, ‘generalisasi’, dalam konteks HMI, merupakan benih-benih otokritik.[]

Catatan Akhir


[i] Lih. Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Jakarta, Misaka Galiza, 2008 [cet. ke-2]), hlm. 13-14.
[ii] Lih.  Agussalim Sitompul, Mengenal dari Dekat Pemrakarsa Pendiri HMI Prof. Drs. H. Lafran Pane dan Perjuangannya, dalam Lafran Pane: Penggagas Besar, (Jakarta, KAHMI Centre, 2015), hlm. 71.
[iii] Lih. Ibid., hlm. 70.
[iv] Lih. Ibid., hlm. 65-66. Cerita ini berdasarkan pengalaman langsung (Alm.) Kanda Agussalim Sitompul, yang kemudian dituangkan ke dalam tulisan. 
[v] Lih. Ibid., hlm. 63-64.
[vi] Lih. Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan ..., Op. Cit., hlm. 107-108. Bdk. Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane, Posisi dan Perannya Untuk Indonesia, tulisan yang dipresentasikan dalam acara Seminar Nasional ‘Lafran Pane untuk Pahlawan Nasional’ di Universitas Islam Indonesia pada tahun lalu, 10 November 2016. 

Dapat dibaca juga di berhimpun.com

Comments