Di Balik Media

Ancaman berupa peluru dalam kotak surat Jeffrey Wigand. Ancaman ini
berhubungan dengan keterlibatannya dalam wawancara di talk show 60 Minutes.
Matanya ditutup kain berwarna putih gelap. Ia dibawa dengan mobil ke suatu tempat oleh beberapa orang bersenjata, namun tak berseragam aparat. Ada tiga mobil membawanya. Ia ada di mobil tengah. Sementara satu di depannya dan satu di belakangnya adalah mobil pengawal.

Rombongan melewati gerombolan orang yang dengan gagahnya memegang senjata. Ia tidak tahu hal itu. Di kanan-kiri jalan yang dilewatinya, dapat ditemui orang berpakaian gamis putih lengkap dengan tutup kepala. Ada juga anak-anak yang keriangannya menyambut rombongan mobil itu.

Rombongan mobil membawanya berhenti di sebuah rumah yang dijaga ketat oleh beberapa orang berjaket hitam dengan senjata di tangan. Menandakan bahwa rumah ini bukan rumah sembarangan. Setidaknya adalah rumah orang penting atau tempat penting untuk sebuah kepentingan besar.

Ia masuk, lebih tepatnya dihantar masuk, ke dalam ruangan. Ia berbicara dalam keadaan masih ditutup matanya dengan laki-laki berkacamata lebar, berjenggot lebat memutih, bergamis, dan memakai ikat kepala. Keduanya dipisah meja. Tutup matanya dibuka setelah kursi di seberangnya kosong, tanda lelaki tua yang tadi ia ajak bicara telah pergi.

Cerita di atas merupakan bagian awal dari film The Insider (1999) yang disutradarai oleh Michael Mann. Orang yang ditutup matanya adalah Lowell Bergman (Al Pacino) --wartawan sekaligus produser televisi--, ditugaskan untuk meyakinkan Syekh Fadlallah, pemimpin kelompok teroris Hezbullah, agar mau diwawancarai pada acara talk show 60 Minutes yang dipandu oleh Mike Wallace (Christopher Plummer) di stasiun televisi CBS.

Syekh Fadlallah berhasil diwawancarai. Namun inti filmnya tak terletak pada terorisme sebagai tema, sebagaimana film-film lain yang marak akhir-akhir ini. Gambaran tersebut sekadar cuplikan guna menampilkan keberanian dan integritas jurnalistik serta untuk menyelam lebih jauh terkait pokok persoalan dalam jurnalisme: media sebagai idealisme dan media sebagai industri.

Dalam melansir berita atau siaran, media tidak serta merta “polos” dengan menyatakan fact an sich. Ada aktivitas sensor-menyensor di dalamnya. Ada pembingkaian. Ada upaya menggiring opini publik. Media punya andil besar dalam pembentukan opini publik, lantas implikasi hingga mampu mengkonstruksi subjek. Tak berlebihan jika mengatakan: perspektif seseorang tentang suatu hal (peristiwa atau tokoh) berkait-kelindan dengan media “apa” yang ia konsumsi. Tidak sekadar perspektif, malahan menjangkau ke ranah tindakan sosial kemasyarakatan. Sederhananya, dari fakta jurnalistik menjadi fakta sosial yang bersifat kontruktif atas individu-individu di dalamnya.

Jean Baudrillard, seorang filsuf cum sosiolog postmodernisme, memberikan pernyataan yang jelas dan gamblang terkait dengan bagaimana media, terutama lewat televisi, turut serta membentuk ‘identitas diri’ subjek. Menurut Baudrillard, televisi –dengan kemampuan reproduksi dan manipulasinya-- merupakan ruang terjadinya penancapan dan indoktrinasi nilai-nilai, tema, tanda dan cintra terhadap subjek sebagai konsumen media.      

Sehingga, bagi saya, persoalan pokok media yang jawabannya ada dalam film ini adalah: bagaimana media, terutama televisi, bekerja? Apakah produk media, misalnya berita atau siaran, merupakan berita atau siaran an sich? Bagaimana media sebagai idealisasi jurnalisme bernegosiasi dengan media sebagai industri? Semua persoalan tersebut menjadi kompleks karena melibatkan khalayak ramai.

***

Alkisah, ada seorang bernama Dr. Jeffrey Wigand (Russel Crowe) yang baru saja dipecat dari perusahaanya, Brown & Williamson Tobacco Company (selanjutnya disingkat B & W). Di perusahaan rokok ini, ia menjabat sebagai kepala penelitian dan pengembangan. Tak ada alasan jelas dan pasti mengapa ia dipecat. Thomas Sandefur (Michael Gambon), pimpinan perusahaan, memecatnya. Diduga, ia dipecat karena berselisih pendapat dengan Sandefur terkait produksi dan distribusi sebuah barang. Ia, sebagai peneliti, menggunakan logika ilmiah dan pertimbangan kesehatan konsumen, sedangkan Sandefur menggunakan logika bisnis --keuntungan.  

Paska pemecatannya, Wigand --sapaan akrab Jeffrey Wigand-- bingung. Ia harus membiayai kebutuhan rumah tangganya. Sementara di sisi lain, istrinya, Liane (Diane Venora), sebagaimana kebanyakan perempuan di belahan dunia yang lain, mendesaknya: what are we supposed to do? What about our medical coverage? What about our health? What about our car payments? The payments on this house?

Sedangkan di tempat berbeda dan dalam waktu nyaris bersamaan, Lowell Bergman mengalami kesulitan dalam mempelajari laporan ilmiah tentang rokok dari salah satu perusahaan rokok ternama untuk dijadikan berita dan bahan diskusi pada acara talk show 60 Minutes. Kesulitan inilah menghantarkan Lowell berkenalan dengan Wigand yang memang ahli di bidang rokok dan perusahaan rokok.

Pada mulanya sebatas mutual relationship: Lowell mendapatkan tambahan informasi lewat jasa konsultasi yang dilakukan Wigand dan Wigand memperoleh komisi atas jasanya yang sangat ia butuhkan guna menambah pendapatan rumah tangga. Namun, dalam perjalannya, hubungan keduanya tidak sesederhana itu, malah menjadi lebih kompleks. Tidak sekadar hubungan dua orang, tapi melibatkan juga korporasi rokok dan industri media.

Lowell tidak sekadar menginginkan Wigand sebagai konsultan ahli, melainkan lebih dari itu, yakni sebagai narasumber utama talk show 60 Minutes yang akan disiarkan ke publik. Dengan negosiasi cukup alot dan bujuk-rayu yang memikat, Wigand berkenan menjadi narasumber. Dalam percakapannya dengan Mike Wallace di ruang studio, Wigand menyangkal kesaksian para pemimpin perusahaan rokok di depan Kongres yang mengatakan bahwa nikotin tidak lah adiktif. Wigand juga membeberkan kebohongan dan kecurangan perusahaan rokok yang telah memanipulasi kadar nikotin untuk meningkatkan efek adiktifnya.

Masalah kemudian timbul. Ancaman terhadap keluarga Wigand adalah barang tentu, seperti: kotak surat berisi sebutir peluru dan komputer yang tiba-tiba menerima surat elektronik memuat pesan ancaman pembunuhan. Namun, segala permasalahan dalam film ini berhulu pada dua hal, yakni: pertama, Wigand terlibat perjanjian kerahasiaan dengan bekas perusahaannya, B & W; kedua, ada “intervensi” –semacam tuntutan-- dari B & W terhadap dapur redaksi CBS untuk menyunting (baca: meniadakan) segmen wawancara dengan Wigand.

Kedua permasalahan tersebut saling kait-kelindan. Bagi B & W, isi wawancara Wigand berimplikasi pada kerugiaan perusahaan, sehingga menuntut pihak CBS sebagai pihak ketiga yang mendorong Wigand melanggar perjanjian kerahasiaan, sebagaimana juga dinyatakan oleh Eric Kluster (Stephen Tobolowsky), presiden CBS News, sebagai legitimasi atas tindakan “penyuntingan”.

Lowell tetap bersikukuh menayangkannya. Pelbagai usaha dan jalan ditempuhnya. Permasalahan pertama, perjanjian kerahasiaan, diselesaikan secara yuridis juga. Yakni, dengan mengirim Wigand ke Richard Scruggs (Colm Feore) yang sedang menuntut perusahaan rokok atas nama negara bagian Mississippi. Di sana, Wigand memberi kesaksian tertulis yang memberatkan perusahaan rokok. Dengan demikian, kesaksiannya telah sah menjadi milik publik.

Lantas, apakah permasalahannya otomatis selesai? Tidak. Eric, lewat pengacara CBS, Helen Caperelli (Gina Gershon), tetap bersikukuh “menyunting” wawancara Wigand sebelum ditayangkan ke khalayak ramai. Dengan argumentasi seorang jurnalis yang dibumbui juga dengan nada sedikit emosional, Lowell beragumen: This is a news organization. People are always telling us things they shouldn’t. We have to verify if it’s true and in the public interest. And if it is, we air it. Apakah wawancara Wigand lolos tanpa “penyuntingan”? Tidak, sampai The New York Times memuat berita utama tentang kejadian di kantor CBS, tentang keberpihakan CBS terhadap korporasi –sebuah kritik tajam sekaligus hujatan terhadap media. Alhasil, walaupun tanpa persetujuan penuh dari pihak manajemen perusahaan CBS 60 Minutes menayangkan full wawancara dengan Wigand, tanpa penyuntingan, dan publik menontonnya.

***

Di Indonesia, film The Insider (1999) mendapat penjelasan faktual; bagaimana media-media massa di Indonesia, terutama media televisi, secara terang-terang membingkai berita untuk membentuk opini publik hingga membangun karakter seseorang supaya mendukung salah satu calon presiden pada Pilpres 2014.

Tak perlu saya menyebutkan ‘merk’ medianya. Bahkan, paska usainya Pilpres, beberapa media televisi masih menyisakan keberpihakan politiknya. Ada yang pro-pemerintah sehingga tayangan-tayangannya sebisa mungkin mendukung kebijakan pemerintah dan seminimal mungkin mengurangi intensitas kritik dan cercaan. Sebaliknya, ada juga yang beroposisi dan tayangan-tayangannya senantiasa mengandung kritikan, ketidakpuasaan atas segala kebijakan pemerintah.

Lalu, bagaimana seharusnya media bersikap? Apakah harus betul-betul netral? Saya kira tidak. Netralitas hanyalah mitos; sebuah tempat berlindung di bawah naungan jargon ‘we  don't make the news, we only report it’. Media --dengan meminjam istilah Goenawan Mohammad-- harus lah berpihak. Yakni berpihak pada kebenaran. Tentu, berpihak tak berarti menjadi budak korporasi ataupun golongan politik tertentu.


Dalam konteks ini, seorang jurnalis merupakan pewarta kebenaran. Tidak sekadar pewarta, ia harus memposisikan diri juga sebagai konsumen media; sebagai pembaca atau penonton, supaya pesan-pesan kebenaran tak tereduksi oleh kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, jurnalisme tidak hanya bertanggung jawab atas keakuratan dan kebenaran berita, melainkan juga memiliki tanggung jawab sosial sebagai, misalnya, corong orang-orang yang tak punya akses untuk bercerita pada publik. Dan institusi media adalah tempat bernaung, di mana integritas jurnalisme terjamin. []

Dapat dibaca juga di lsfcogito.org       

Comments