Yang Mati Berbicara Hidup
Apa yang dirasakan manusia
setelah mati bertahun yang lalu? Mati saat masih kecil, “bangkit” pada suatu
masa di mana ia sudah dewasa, lalu menengok kehidupan orang-orang hidup. Tak
pelak, ia beruntung mati lebih dulu, ketimbang hidup lama dengan kesumpekan,
kemacetan, pekerjaan yang membosankan, desakan untuk mengkonsumsi, dan
kematiannya tidak sia-sia, dan kematiannya menyisakan tanda tanya: apakah ia
benar-benar, sebenar-benarnya mati?
Kiranya begitu yang
saya tangkap dari tokoh utama ‘Aku’ dalam novel Mati, Bertahun yang Lalu karya Soe Tjen Marching. Jika hendak
berpendapat, novel ini adalah teks filsafat, namun disampaikan dengan bertutur
cerita. Fiktif memang, tapi syarat akan pemikiran filsafat: tentang bagaimana
sikap ‘Aku’ terhadap hidup dan berujung pada pertanyaan ‘Siapa Aku?’
Kiranya jelas, di
bagian awal novel ini, Soe membubuhkan kalimat Nietzsche: Hiduplah sebagaimana kamu selalu berhasrat untuk dapat hidup kembali
–itulah tugasmu! Karena mungkin di suatu masa, kamu sungguh-sungguh akan hidup
kembali.
Dan benar, ‘Aku’ hidup
kembali pada suatu masa, di masa dewasaku. Sebagaimana ‘hantu’ dalam
sinetron-sinetron, ‘Aku’ dapat melihat mereka berkeliaran di trotoar jalan,
duduk manis di dalam angkot, bekerja seharian di depan komputer, memasak di
dapur, dan tidak sebaliknya: mereka menganggap ‘Aku’ kosong, sebuah kehampaan
yang tak benar-benar hampa, karena ada ‘Aku’ bertengger di situ.
Siapa Aku? Kenapa Aku
dipanggil Aku? Aku adalah mayat. Oh bukan, mayat kaku, tak bergerak, dan
orang-orang dapat melihatnya sebagai seonggok daging. Aku dapat berkeliaran
tanpa peduli pada kematian, toh Aku
sudah mati bertahun yang lalu.
Mungkin, tak ada
kematian sesungguhnya. Kematian semacam tempat transit menuju kehidupan yang
lain: karena ‘Aku’ menemukan dirinya hidup dalam sekeliling orang-orang
terdekatnya, dan Siapa orang-orang ini? Di manakah aku? Siapakah aku?
Comments
Post a Comment