Pengantar yang Mengantarkan
Wajah-wajah hantu marxisme bergentayangan di lembaran buku dan otak para intelektual |
Membaca buku pengantar
kadang membuat harap-harap cemas. Dan rasa cemas seringkali menghampiriku
ketimbang perasaan harap. Sebuah buku pengantar, apakah ia betul-betul
mengantarkan pembaca untuk mendalami lebih lanjut soal yang diwacanakan ataukah
ia justru berbelit-belit; hendak mengantarkan malah justru terjabak pada
kebertele-telean. Terkait yang kedua, ibarat naik taksi berargo, ia mengambil
jalan melingkar, memutar, supaya terkesan lama dan jauh, supaya duitnya juga
bertambah.
Tidak seperti buku
tematik-bertopik lainnya, buku yang mendakwa diri sebagai ‘pengantar’ haruslah
mengantarkan. Pengantar tak selalu identik dengan kedangkalan. Buku pengantar
justru harus digali dari kedalaman, dari pelbagai literatur yang senada
sekaligus kontra. Untuk apa? Untuk mengantarkan; agar pembaca memiliki
pemahaman awal yang meyeluruh, dari berbagai sudut-pandang dan bukan malah
mempersempit, apalagi bikin pembaca sembelit.
Dalam hidup, saya
berjumpa dengan buku pengantar model pertama dan kedua; yang mengantarkan dan
yang membelit-belitkan. Yang jenis pertama baru saja saya rampung membacanya. Marxisme Untuk Pemula judulnya. Buku
pengantar ber-komik lebih tepatnya; dengan Rupert Woodfin sebagai penulis dan
Oscar Zarate sebagai ilustratornya serta penerbit Resist Book yang
mengalihbahasakannya ke Indonesia. Sedangkan yang jenis kedua adalah buku Pengantar Filsafat karya Louis O.
Kattsoff. Buku terjemahan juga. Saya membacanya di akhir semester satu, dan
sampai hari ini tak memahami isi kandungan buku itu –sebagian ataupun
keseluruhan. Meskipun, beberapa dosen sangat sering mengutipnya di ruang
kuliah. Dari saking seringnya, saya menduga Kattsoff ini adalah juga dosen di
Fakultas Filsafat UGM yang ditua(h)kan. Kosakatanya rumit, penuh dengan
kosakata filsafat yang tak ramah sekali bagi pemula, kalimatnya sok terlalu
ilmiah, dan pelbagai sifat ‘ribet’ yang dapat dilekatkan ke buku itu. Atau
memang penerjemah(an)nya yang (me)ribet(kan).
Selain disertai
ilustrasi, selaiknya komik, dalam Marxisme
Untuk Pemula, kata-kata yang digunakan mudah dicerna, kalimat-kalimatnya
pun tersusun secara sistematis. Kosakata marxis pun dijelaskan secara
perlahan-lahan, singkat, pada dan jelas –ibarat mendidik anak TK merapal huruf
demi huruf alphabet. Seperti penjelasan konsep ‘Alienasi’ --yang tak lain
merupakan topik sentral dalam marxisme: “Teralienasi adalah dibuat terpisah
atau tidak layak, dijauhkan atau diasingkan hubungannya dengan yang lain (hlm
61).”
Lebih lanjut tentang
alienasi dalam kapitalisme, buku ini (hlm. 62) menjelaskannya dengan ilustrasi
gambar tiga orang lengkap dengan pakaian kerjanya, mereka adalah kaum proletar,
tangannya ke atas hendak menggapai barang-barang produksi –seperti: sepatu,
mobil, rumah, dan pakaian-- yang berterbangan.
Orang pertama berkata:
“Kapitalisme memisahkan kita dari produk kerja kita, dari segala sesuatu yang
kita buat, karena semua produk bukan milik kita.”
Orang kedua
melanjutkan: “Produk-produk milik para kapitalis dijual demi memperoleh
keuntungan untuk mereka sendiri.”
Lalu, orang ketiga
menyimpulkan teralienasinya mereka: “Kita dialienasi dari kerja yang utamanya
kita kerjakan untuk orang lain.”
Tidak sekadar dengan
ilustrasi, Marx seakan hidup kembali (reinkarnasi) dalam setiap lembar halaman
buku ini. Dengan fotonya yang khas dan beberapa jumput kata, aku membayangkan
sedang berada dalam forum diskusi Marx dan beberapa tokoh marxis yang saling
menimpali satu sama lain –lebih tepatnya koreksi Marx terhadap marxisme yang
berkembang amat begitu jauh.
Semisal, pada bagian
‘Marxisme Dunia Ketiga’ (hlm. 116-117), ada beberapa tokoh lengkap dengan foto
serta ucapannya. Mao Tse-tung (1893-1976) berkata: “Teori revolusioner saya
bergantung pada kesuksesan dalam merangkul massa petani –karena di China hanya
sedikit terdapat buruh industri.”
Senada dengan Mao, Ho
Chi Minh (1890-1969) memberi warna baru marxisme: “Kami dipengaruhi oleh
situasi lokal kami sendiri yang sifatnya spesifik”. Lain lagi dengan Fidel
Castro –seorang revolusioner Kuba-- berucap: “Revolusi kami lebih berwatak
nasionalis.”
Pernyataan-pernyataan
tersebut lalu ditimpali oleh Marx dan Engels. Tentu saat semua tokoh di atas
melontarkan pandangan marxisnya, Marx sudah tiada, namun ide-idenya menguap ke
pelbagai penjuru. Kata Marx: “Hal ini berseberangan dengan teori klasik saya
yang bergantung pada proletar industri”. Begitu pula kata Engels: “Teori
semacam ini sudah bukan lagi teori Marxis dan sekadar bersifat “revolusioner”
dengan polesan Marxis.”
Lantas, apa itu Marxisme? Buku ‘kecil’ berhalaman 174 ini merekam perjalanan marxisme sejak benih-benih kelahirannya --dari mana Marx memperoleh ‘inspirasi’ dan dari mana saja ia terpengaruh— sampai paska-marxisme yang digawangi oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Tidak mendetail, buku ini sangat memadai bagi pembaca pemula marxisme seperti saya.
Comments
Post a Comment