Tanya Pangeran Cilik

Aku ingin merangkulmu, Pangeran.
Orang tua selalu sibuk dengan angka-angka. Ucap Pangeran Cilik, tokoh dalam Le Petit Prince (Pangeran Cilik) karya Antonie De Saint-Exupèry.

Orang tua selalu tertarik dengan hal-ihwal ke-angka-an. Pertanyaan yang beraroma angka. Deskripsi yang memuat angka di dalamnya. Berapa harga telur lebih menarik daripada kualitas telur. Jumlah gaji per bulan lebih “me-aku” ketimbang kenyamanan dan progresivitas pekerjaan.

Apakah pernyataan (sekaligus pertanyaan) Pangeran Cilik itu benar? Bisa iya, bisa tidak. Dan saya kira ‘iya’-nya lebih besar in potensia and realita: orang tua senantiasa sibuk dengan angka. Juga persoalannya bukan benar dan salah.

Kita lihat bagaimana orang tua senangnya mintak ampun dengan angka ‘besar’ yang tertera pada rapot. Dan amat-sangat marah dengan nilai merah. Sementara, potensi anak, termasuk minat-bakat, tak dapat diukur dengan angka. Angka sangat semena-mena. Ia adalah selubung yang manipulatif. Saat angka (di)keluar(kan), ia akan menyembunyikan substansi.

Hidup dan kehidupan terlalu  berharga jika sekadar di-angka-kan. Angka itu arbitrer. Kejam. Layaknya definisi. Tapi, kita tak dapat mengelak dari angka (dan definisi). Bukankah kita lebih suka kepastian daripada keterobang-ambingan?

Dan Pangeran Cilik menjelajah dari satu planet ke planet yang lain dalam ketidakmenentuan. Yang tentu hanyalah kekhawatirannya akan mawar merahnya dengan empat duri untuk berlindungan dari terkaman macam. Bukankah macan tak makan bunga mawar? Ia tetap melindungi mawarnya dengan sukup dan penyekat.

Pangeran Cilik bertemu dengan: Raja di planet pertama; orang sombong di planet kedua; pemabuk di planet ketiga; pengusaha-sok-sibuk di planet keempat; seorang penyulut lentera di planet kelima; ilmuwan-cum-penulis di planet keenam; dan atas saran ilmuwan-cum-penulis tersebut, ia ke planet ketujuh, Bumi, bertemu dengan pilot yang pesawatnya mogok di tengah sahara.

Kepada mereka, Pangeran Cilik mengajukan pertanyaan yang amat-begitu menjengkelkan (mungkin menyulitkan) orang tua. Pertanyaannya sederhana, tapi kepolosannya adalah kerumitan lain di balik kesederhanaan itu. Kepolosan adalah senjata sekaligus mantra anak-anak. Tak ada yang bisa mengalahkan kepolosan mereka.

Kepada pilot di Bumi, ia minta digambarkan domba. Tak ada gambar domba yang cocok di benak Pangeran Cilik. Kecuali gambar terakhir berbentuk balok dengan tiga lubang disamping. Sebuah peti.
“Ini yang aku inginkan,” kata Pangeran Cilik. Rupanya, dombanya ada di dalam peti dengan sedikit rumput sebagai makanannya.


Ia kembali ke bintangnya, dan bumi adalah akhir penjelajahannya.   

Comments