Suara Pinggiran

Adegan awal saat Surti mengkafani suaminya.
Masih membekas dalam ingatan kita perihal makam fiktif (palsu) di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Makam yang tak berisi namun tertandai; dalam satu kompleks ada yang double bahkan lebih. Diduga, makam fiktif merupakan arena subur bisnis makam di Jakarta. Ada –meminjam istilah media mainstream Indonesia yang memberitakannya— mafia makam dibalik tersingkapnya kasus makam fiktif ke publik.

Di Jakarta, segala sesuatu dapat menjadi komoditas komersial. Tak terkecuali makam; tempat manusia yang seharusnya tak perlu lagi ‘dibebankan’ pada persoalan duniawi, beli-membayar makam sekaligus pajaknya. Tak ayal, orang yang tak punya modal untuk meng-kapling tanah kuburan, jangan berharap dapat dikuburkan di bumi ibu kota. Sebagaimana termaktub dalam film pendek besutan sutradara Ray Farady Pakpahan berjudul Garis Bawah (Below The Line).

Film yang memang didedikasikan untuk kaum marjinal ibu kota ini bercerita tentang seorang pemulung-gelandangan bernama Surti (Ratna Sarumpaet) yang bingung hendak dimakamkan di mana suaminya, Parto (Airul). Berbekal gerobak satu-satunya (sekaligus rumahnya), dibawanya suaminya kemanapun ia pergi.

Mula-mula Surti mendatangi taman pemakaman umum. Di sana sedang ada pemakaman. Dengan wajah melas dan sorot mata penuh harap, ia memandang kerumunan di tengah makam. Ia melamun, mengandai-andai; andai aku dapat menguburkan suamiku di sana. Jika ia masih punya cita-cita, barangkali cita-citanya adalah mengebumikan jasad suaminya.

Di tengah lamunan, ia tersentak oleh gertakan laki-laki-berseragam-coklat-sedang-merokok di dalam mobil. Rupanya, laki-laki itu adalah pejabat, lebih tepatnya pejabat penjaga kuburan. Di kantor, ia diinterogasi, bukan ditolong. Ditanyai soal administrasi; kartu identitas yang lusuh dan tak dapat dibaca serta surat kematian yang tak ia kantongi.

“Tolonglah, pak!,” Surti memelas pada laki-laki berseragam itu dengan tangan menyodorkan sejumlah kecil uang. Tapi tetap, tak ada upacara pemakaman.

Lalu, ia pergi ke gereja. Bertemu pemuka agama di sana. Dengan tujuan tetap sama; memohon otoritas agama untuk mengebumikan jasad suaminya di pemakaman gereja. Lagi, ditolak. Tapi kali ini penolakan bergaya eufimistis dan legitimasi agama –hanya orang yang berada di bawah kasih Kristus yang dapat dimakamkan di tempat ini. Kemanusiaan tak lagi diperhitungkan.

Tak ada harapan lagi. Tak ada pikiran lagi. Surti memutuskan untuk menggali tanah di tengah taman kota. Penggaliannya tak sampai selesai ketika aparat kepolisian datang dan menangkapnya. Alih-alih mendapat bantuan dari aparat perihal penguburan jasad suaminya, ia dicurigai hendak menanam bom di taman kota. Ia, lagi, diinterogasi, bukan ditolong.

Di penghujung cerita, kondisi tetap sama seperti awal cerita: tak ada upacara pemakaman.

Melihat film pendek produksi Triangle Picture dan Add Word ini adalah melihat sisi lain ibu kota. Kiranya benar plesetan satiris “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri”. Di tengah megahnya bangunan, glamournya gaya hidup, hilir-mudik modal besar, ada potret lain kehidupan pinggiran. Sebagaimana kaum pinggiran, ia tidak diuntungkan secara struktural. Kesempatan yang sama antar warga negara tidak secara niscaya memutus kesenjangan, malah memperlebar kesenjangan.  

Comments