Reklamasi dan Mental Memunggungi Laut

Film lengkapnya dapat diunduh di Youtube
Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan telut. Kina saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga jalasveva jayamahe, di laut justru kita jaya.

Kalimat di atas dikutip dari pernyataan Jokowi ketika pidato kemenangan Pilpres 2014 di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta.

Betul apa kata Jokowi, kita telah terlalu lama memunggungi laut. Jejak historis “memunggungi laut” dapat dilacak dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahwa, pada suatu waktu kita, yang masih berupa kerajaan-kerajaan, yang masih menamakan diri Nusantara, pernah berjaya di laut dengan kapal yang canggih dan armada perang laut yang tangguh di zamannya. Kita mengenal Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dengan armada lautnya yang tangguh. Kita juga mengenal kehebatan berlayar Pelaut Mandar. Namun, suatu waktu yang lain –saya kira sampai hari ini— kita hidup memunggungi laut, bahkan tak segan-segan memantatinya, men-taik-taik-kannya.

Buktinya adalah reklamasi, memperluas area daratan dengan menutup sebagian area laut. Selama kita masih menganggap laut sebagai batas, selama itu pula kita akan senantiasa berusaha meniadakannya, dengan menjadikannya daratan.

Padahal, bukankah laut adalah bentuk lain dari dataran. Tak ada laut, juga tak akan ada darat, dan sebaliknya. Keduanya berkait-kelindaan. Dari aspek penamaan saja: daratan sebagai identitas mengindentifikasikan diri sebagai hal yang berbeda dengan laut sebagai identitas yang lain.
Reklamasi adalah bukti bahwa kita masih memunggungi laut. Padahal kita mendaku diri sebagai archipelago state, lautan yang ditaburi pulau-pulau.

Di laut, kekayaan alam sangat melimpah. Kita melihat bagaimana laut mampu menghidupi berjuta-ribu orang pesisir di sepanjang garis pantai Indonesia. Belum lagi sektor pariwisata dan minyak bumi yang sangat menjanjikan. Dan reklamasi adalah kemunduran yang sangat merugikan; baik kerugian finasial-material maupun kerugian (baca: kemunduran) kebudayaan.

Kerugian itu terpatri dalam film dokumenter berjudul Rayuan Pulau Palsu garapan Watch Doc. Film ini memotret salah satu titik reklamasi di Teluk Jakarta, yakni Pulau G, dari 17 (tujuh belas) pulau yang direncanakan.

Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Jelas pemilik modal –pengembang, kata nelayan Muara Angke Jakarta. Dan nelayan-nelayan tradisional kecil sangat dirugikan.

Orang seperti Ilyas, nelayan tradisional yang telah lama menjalani profesinya dan menetap di Muara Angke selama 60 tahun, terkena dampaknya. Selain perolehan ikan menurun, ia bersama masyarakat Muara Angke yang lain juga terancam digusur tempat tinggalnya.

Sebelum adanya reklamasi, Ilyas bersama rekan-rekan nelayan tradisional yang lain membawa pulang ikan minimal 20 kilo per malam dengan pemasukan lebih dari 200 ribu rupiah. “Dua ratus ribu itu udah paling minim,” kata Pak Ilyas. Setalah adanya reklamasi, penghasilannya menurun drastis. Sekitar 50 ribu rupiah dan itu pun kadang 50 ribu keseluruhannya, bukan laba bersihnya.

Menurunnya pendapatan nelayan Muara Angke akibat sedikitnya ikan-ikan. Ikan-ikan pada menjauh akibat limbah dan dampak dari reklamasi Pulau G. Air menjadi bau dan keruh berwarna kecoklat-coklatan. Jika dibiarkan berkepanjangan, hal ini dapat mengakibatkan krisis ekologis yang mengkhawatirkan. Mengancam ekosistem laut dan dapat berujung pada perubahan iklim global.

Di Indonesia, ada beberapa titik reklamasi, baik yang sudah, sedang berlangsung, dan dalam tahap perencanaan. Penolakan rakyat yang masif juga terjadi di Bali, pada reklamasi Teluk Benoa. Tentang reklamasi Teluk Benoa juga telah di-film-dokumenter-kan oleh Watch Doc dengan judul Kala Benoa.
Bagaimanapun juga, reklamasi bukanlah jawaban final dan satu-satunya atas persoalan menyempitnya lahan di daratan. Reklamasi tak lain dan tak bukan adalah dehumanisasi; penyingkiran manusia kecil (miskin) secara perlahan-lahan. Karena jalan menuju reklamasi membutuhkan biaya yang teramat mahal, maka tak mungkin lahan akan diberikan percuma atau dengan harga murah kepada masyarakat kecil. Reklamasi hanya untuk yang punya uang (modal), bukan untuk masyarakat kecil dan juga bukan untuk keberlangsungan ekosistem alam meskipun dengan dalih Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).   


Comments