“Mendeskripsikan” Tuhan
Dapatkah kita “mendeskripsikan”
Tuhan? atau gampangnya, dapatkah kita “mengenal” Tuhan? Dapat, dengan dan
melalui jalan apa? Jalan pewahyuan. Tuhan “memperkenalkan” diri-Nya pada
makhluk: sebagai Yang Maha Mengasihi, Menyayangi, Mengetahui, dan sebagainya.
Bukankah saat Tuhan
“memperkenalkan” diri-Nya “menggunakan” bahasa makhluk agar dapat dipahami oleh
makhluknya, termasuk oleh kita. Tuhan “tersingkap” lewat pewahyuan. Sehingga
kita tahu bahwa Tuhan tidak sekadar Ada (wujud),
melainkan sebagai Yang Maha, Yang-Melampaui-Makhluknya.
Lalu melalui wahyu
juga, kita berkesimpulan: Tuhan Maha Mengetahui, dsb. Kita membayangkan ke-mahatahu-an
Tuhan. Kita memberi tafsir atas-Nya. Kita memberi “atribut” kepada-Nya, dan
kita “mendeskripsikan”-Nya.
Tidakkah terjadi
reduksi: dari “bahasa” Tuhan ke bahasa makhluk. Tidakkah terjadi penyempitan
ke-mahaluas-an dan ke-takterbatas-an Tuhan jika kita memberi adjektiva atau
atribut kepada-Nya dan mendeskripsikan-Nya.
Bagaimana mungkin kita
yang terbatas mendeskripsikan Dia yang tak terbatas.
“Mendeskripsikan” Tuhan
sebagai Tuhan itu sendiri adalah persoalan yang tak mampu dijawab oleh teologi,
terutama teologi positif. Tuhan qua Tuhan
adalah misteri. Bahkan “penamaan” Tuhan tak mampu menyingkap kemisterian-Nya.
Jalan satu-satunya,
setidaknya bagi saya saat ini, adalah diam dihadapan ke-mahaluas-an dan
ke-takterbatas-an-Nya. Diam dalam arti negativitas, tidak mendeskrisikan-Nya,
tidak pula menamai-Nya, apalagi meng-atributi-Nya. Inilah teologi negatif;
negasi atas teologi positif yang optimis mengenal Tuhan.
Meskipun teologi negatif (masih) terjebak ke dalam usaha “mendeskrisipakan”-Nya, dan ketergantunganya pada teologi positif. Bagi saya, inilah teologi yang tak menyempitkan wujud ilahiah.
Comments
Post a Comment