Memaknai Puasa Kita
Cak Nur –sapaan akrab
Nurcholish Madjid— menegaskan: puasa adalah ibadah yang paling bersifat pribadi
di antara ibadah-ibadah yang lain. Perkataan Cak Nur ini saya kutip dari buku Membaca
Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme karya Budhy Munawar-Rachman.
Sebagai ibadah yang
bersifat pribadi, puasa menitikberatkan pada penghayatan dan hubungan subjektif
manusia dengan Tuhan; hanya manusia (secara personal) dan Tuhan yang
mengetahui.
Sebagai contoh, orang
lain tak bakalan tahu persis apakah kamu berpuasa atau tidak hanya dengan
melihat: kamu sahur dan berbuka puasa, bibir kering, atau tampak lemas dalam
aktivitas. Bisa saja, dalam rentang waktu antara sahur dan buka puasa, kita
mengendap-endap ke dapur, membuka kulkas, lalu melepas dahaga dengan sebotol
air dingin. Sangat bisa dan mungkin, bukan?
Berbeda dengan puasa, ibadah-ibadah
lain menuntut go public (saya
menyebutnya ‘ibadah publik’) –setidaknya ibadah dalam rukun Islam, yaitu:
shalat, haji, dan zakat. Menyadur dari Cak Nur, shalat sebaiknya dilakukan
secara berjamaah; haji juga dilaksanakan bersama banyak orang; dan apalagi
zakat yang mengharuskan kehadiran orang lain, terutama dan terkhusus untuk
membantu ekonomi golongan mustadl'afin.
Koridor pribadi dalam
ibadah puasa inilah yang tak bisa dirasuki dan diintervensi, apalagi
diatur-atur, oleh orang lain. Pribadi di sini harus dipahami sebagai laku
ibadah yang melibatkan kesadaran dan kejujuran diri serta keikhlasan.
Pengendalian diri yang merupakan ‘ruh’ puasa menuntut kesadaran dan kejujuran
serta ketanpapamrihan kita sebagai bagian dari laku spritual. Mengendalikan
diri tidak sekadar menahan lapar dan dahaga. Mengendalikan diri dari hal-hal
yang berlebih-lebihan, misalnya: belanja yang berlebih-lebihan (konsumerisme)
dan akumulasi harta-benda yang serakah dan tamak (kapitalisme).
Sebagai ibadah yang
berdimensi pribadi, aneh sekali, bagi saya, jika ada orang berpuasa minta
dihormati, misalnya: meminta dan mendesak warung-warung harus tutup di siang
hari selama bulan Ramadhan untuk menghormati bulan Ramadhan dan orang yang
berpuasa. Bukankah bulan Ramadhan sudah terhormat tanpa dihormati? Mengutip
pernyataan Edward S. Kennedy di Mojok.co: situ manusia atau bendera, kok mintak
dihormati segala? Seharusnya –sebagaimana disampaikan Gus Mus dengan nada
humoristis pada tausiyah peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur— warung-warung
harus tetap buka semua selama bulan Ramadhan, supaya ketahuan orang-orang itu
kuat puasa apa enggak.
Selain laku spritual,
puasa merupakan laku kemanusiaan; mengandung pesan-pesan kemanusiaan. Dengan
berpuasa, kita merasakan lapar dan dahaga; kita diingatkan kembali (mungkin
karena kita sudah lupa karena kehidupan nyaman kita) bahwa di tempat lain,
daerah lain, dan di belahan bumi lain, banyak orang mengalami penderitaan-kelaparan
setiap hari sepanjang waktu. Puasa adalah cultivating
humanity; pembudayaan-penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang tidak
diteorikan atau diwacanakan, melainkan dirasakan dan dialami. Kita mengalami
dan merasakan sendiri dengan sadar, lalu ujung dari puasa adalah gerakan peduli
terhadap orang lain, (paling tidak) dengan mengeluarkan zakat.
Memaknai puasa berarti
menanyakan kembali secara terus-menerus komitmen kemanusiaan kita: kesadaran,
kejujuran, dan keikhlasan kita. Semacam solilokui, bercakap-cakap dengan diri
sendiri, merenung, berkontemplasi, untuk kehidupan yang lebih baik.
Comments
Post a Comment