Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina
Judul ini saya ambil
dari Rumah Kaca-nya Pramoedya Ananta
Toer –selanjutnya disebut Pram saja. Diterjemahkan dari bahasa Prancis:
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles. Karena memang orang yang mengucapkannya
dibesarkan dalam budaya dan pendidikan Prancis. Namanya Jacques Pangemanann,
pribumi asal Menado yang dijadikan anak angkat oleh orang Prancis.
Dalam Rumah Kaca, yang merupakan bagian
terkahir dari tetralogi pulau buru karya Pram, Pangemanann adalah tokoh
utamanya. Berbeda dari ketiga novel sebelumnya –Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah yang bertutur-bercerita dari sudut pandang pribumi di
tengah kolonialisme Eropa, Rumah Kaca mengambil
sudut pandang Gubermen, pemerintah Hindia Belanda (kolonial).
Laiknya sebuah rumah
dengan kaca di berbagai sisi, pemerintah kolonial –si “empunya” rumah—
memperhatikan gerak-gerik dan lalu-lalang orang di luar, dalam hal ini pribumi
“progresif” –jika saya dapat menyebutnya demikian.
Atau Rumah Kaca dapat pula ditafsirkan
begini: ibarat sebuah maket, pribumi ada dan beraktivitas di dalamnya, dan
pemerintah kolonial asyik memandang dari luar sembari menunjuk sana-sini.
Pangemanann adalah
tangan kanan kolonial --saya lebih senang menyebutnya ‘antek kolonial’— untuk
memata-matai pribumi progresif seperti (terutama) Raden Mas Minke, walaupun tak
terbatas pada Minke saja. Ada Marco, Siti Soendari, Tjokro, dsb.
Atas rekomendasi
Pangemanann, Gubenur Jendral Hindia Belanda bersikap dan bertindak atas
organisasi modern pribumi, seperti Syarikat Islam dan Boedi Moelyo. Pangemanann
merupakan dalang dibalik pengasingan Minke selama 5 tahun-an dan kematian Minke
setelah sakit keras paska pengasingan serta pembekuan aset-aset Medan Priyayi –surat kabar yang menjadi
corong Syarikat.
Selama menjadi ‘antek
kolonial’, Pangemanann dihinggapi perasaan bersalah sekaligus obsesi jabatan: antara
bersimpati pada pribumi dan menjadi loyalis Gubermen; antara megikuti kata hati
nurani dan hasrat atau nafsu untuk berkuasa. Pilihan terjatuh pada obsesi
jabatan –ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain karena kedudukannya.
Namun di ujung lorong,
di saat rona merah senja, dalam kondisi rambut memutih dan kulit mengendor, Pangemanann
“insyaf” –merasa bersalah dan menyesali kesalahannya. Di saat itu pula, Nyai
Ontosoroh, mertua sekaligus ibu ideologis Minke datang dengan nama Madamme Sanikem Le Boucq. Ketadangannya
adalah penghakiman dalam pengadilan kehidupan terhadap Pangemanann. Saya tak
dapat membayangkan bagaimana kondisi pertemuan tersebut: antara “pembunuh” dan
keluarga korban –jika saya dapat mengistilahkannya demikian.
Pangemanan tak dapat
memberi “kesaksian” kehidupan Minke
dengan bertatap-muka, bertemu langsung dengan Madamme Sanikem Le Boucq. Hanya
melalui sepucuk surat ia dapat “bersaksi”, dengan lampiran-lampiran
menyertainya: naskah-naskah Minke dan catatan-catatan Pangemanann atas naskah
tersebut dan ‘bagian akhir’ kehidupan Minke, Rumah Kaca.
Di akhir suratnya,
Pangemanann menulis: Deposit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles (Dia
Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina).
Comments
Post a Comment