Ahmad Wahib, Islam Kontekstual dan Kebebasan Berpikir
Data Buku
Judul: Pergolakan Pemikiran
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib
Penyunting: Djohan Effendi dan
Ismed Natsir
Penerbit: Yayasan Abad
Demokrasi [Edisi Digital)
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: xxvi + 430
halaman
Bernama lengkap Ahmad
Wahib. Teman-temannya memanggilnya Wahib. Pria kelahiran Sampang Madura ini
bukanlah nama yang asing di kalangan gerakan mahasiswa, terutama gerakan
mahasiswa Islam. Ketokohannya diperoleh beberapa tahun setelah kematiannya
lantaran gagasan-gagasannya yang segar nan progresif di masanya –dan (mungkin)
sampai saat ini. Semua gagasannya tidak tercecer kemana-mana. Tersusun rapi
dalam catatan hariannya yang ditemukan di kamar kosnya oleh sahabat karibnya,
Djohan Effendi –yang juga penyunting buku ini. Buku berjudul “Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib” ini adalah kumpulan catatan
hariannya yang telah disistematiskan secara tematik-periodik.
Wahib adalah aktivis
mahasiswa idealis yang rajin menulis catatan harian dan mati muda. Lahir pada 9
November 1942 di Sampang dan meninggal pada 31 Maret 1973 di Jakarta lantaran
ditabrak pengemudi sepeda motor tak dikenal dan ditolong oleh gelandangan yang
juga tak diketahui siapa (hlm. xi).
Catatan harian Wahib ini
adalah kegelisahan akan permasalahan di zamannya, respon terhadap
lingkungannya. Ada yang bertemakan keagamaan, kebudayaan, dinamika politik, dan
seputar kemahasiswaan. Tema-tema terkait Islam, terutama keharusan pembaharuan
pemikiran Islam, dalam catatan harian ini sangat mendominasi. Dan gagasan
keislamaan Wahib ini pula –jika tidak berlebihan-- yang menjadi salah satu
stimulus kelahiran wacana Islam liberal di Indonesia.
Pemikiran keislaman
yang segar dalam catatan harian Wahib tidak terlepas dari background kehidupanya. Lahir dan besar di lingkungan Islam:
ayahnya adalah kiai kampung di Madura dan Wahib sendiri pada saat mahasiswa
berproses di Himpunan Mahasiswa Islam, meskipun kemudian memutuskan keluar dari
HMI (hlm. 31-32).
Islam
Kontekstual dan Kebebasan Berpikir
Islam kontekstual
adalah Islam yang dinamis, yang mengatasi formalisasi dan institusionalisasi
Islam sebagai agama. Kata yang pas untuk merujuk Islam “jenis” ini adalah Islam
substantif, yakni Islam yang mengedepankan nilai-nilai keislaman ketimbang
atribut yang ‘kebetulan’ melekat pada agama Islam.
Islam kontekstual merupakan
bentuk lain –jika enggan mengatakan ‘produk’— dari upaya pembaharuan pemikiran
Islam. Pembaharuan beroperasi di atas usaha terus-menerus, berkelanjutan, dan
tiada henti. Jika pembaharuan mencapai ujung, yang artinya mengalami kebuntuan,
stagnansi, dan berhenti, maka ia tak lagi pantas disebut pembaharuan. Pembaharuan
mensyaratkan pertanyaan bertubi-tubi akan fiksasi suatu hal. Pembaharuan adalah
kehausan-keingintahuan akan segala hal.
Terkait pengertian
pembaharuan, Wahib dalam catatan hariannya tertanggal 6 Maret 1970
membahasakannya dengan sangat eksplisit: “suatu gerakan pembaharuan adalah
gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan
bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, yang lebih baik dari
yang sudah baik (hlm. 68).”
Pembaharuan adalah proses
dialog-dialektis yang terus-menerus mencari dan tak berkesudahan. Lalu
persoalannya: bagaimana pembaharuan pemikiran Islam, mengingat Islam sebagai
keyakinan keagamaan mengandaikan adanya fiksasi? Untuk menjawab persoalan ini
dalam kerangka pemikiran Ahmad Wahib, kita terlebih dahulu harus mengetahui
posisi Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber dari Islam dan akal sebagai alat
interpretasi. Hal ini dipertegas oleh Wahib dalam catatannya yang berjudul Pemahaman Islam yang Dinamis (hlm. 4):
[....] Saya pikir hanya ada dua (sumber dari Islam), yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah. [...] Akal di sini bukan sebagai sumber, tapi sebagai alat untuk
menggali kedua sumber tadi.”
Jika
demikian, apakah akal sekadar ‘budak’ dari sumber Agama Islam yang-telah-ada?
Akal tidak berkutik sama sekali di hadapan kedua sumber tersebut. Jika posisi
akal –sebagaimana mengacu pada pemikiran Wahib— ditafsiri seperti itu (sebagai
‘budak’), maka kita, umat Islam, akan mengalami kemuduran yang teramat jauh.
Dalam
sejarah filsafat barat, kita mengenal periode Abad Kegelapan (the dark age) yang terjadi pada abad
pertengahan (the mediaval age). Dalam
periode ini, filsafat dan ilmu pengetahuan, termasuk akal sebagai komponen
utamanya, hanya sebatas ‘budak’ teologi Kristen dengan seperangkat
aturan-aturan dari gereja sebagai otoritas tertinggi keagaamaan yang mengekang
kebebasan berpikir. Gereja dengan didukung negara mendefinisikan mereka yang
keluar dari doktrin dan ajaran resminya sebagai bid’ah dan kafir, dan pantas
diganjar hukuman, termasuk mereka yang mengglorikan kebebesan berpikirnya. Padahal,
ketika Barat mengalami Abad Kegelapan, dunia Islam sedang bersinar dan
mengalami perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Kita mengenal Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain sebagainya.
Lalu
di mana posisi akal (baca: kebebasan berpikir) dalam pemikiran Ahmad Wahib? Wahib
memang menegaskan bahwa akal merupakan alat untuk menginterpretasi dan menggali
Al-Qur’an dan Sunah. Bagi Wahib, kemampuan berpikir manusia itu memang
terbatas, tapi batas itu sendiri kita tidak tahu (hlm. 34). Lebih lanjut, Wahib
melontarkan pernyataan untuk memaknai sekaligus memberi dasar onto-teologis sejauh
mana kebebasan berpikir (hlm. 7): “Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang
diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah
daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan
“adanya”. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya
orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak untuk berpikir bebas berarti
menolak rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena
kepercayaannya hanya sekadar kepura-puraan yang tersembunyi.”
Dari
pernyataan Wahib di atas, kiranya jelas pentingnya kebebasan berpikir dalam grand design pembaharuan pemikiran Islam
untuk mengkontekstualkan Islam atau membumikan Islam Kontekstual. Islam sebagai
agama melindungi kebebasan berpikir (hifdzul
‘aql) untuk merespon dinamika sekitar; baik sekitar persoalan sosial,
politik, budaya, dan keagamaan itu sendiri. Kiranya, jika tidak berlebihan,
dari Wahib inilah benih-benih liberal dalam Islam lahir.
Bersama
dengan keterbukaan (inklusivitas) dan idea
of progress, kebebasan berpikir menjadi ruh pembaharuan pemikiran Islam
(hlm. 87). ‘Hasilnya’ berupa ijtihad pemikiran Islam, misalnya: penerimaan
sosialisme, demokrasi, hak asasi manusia dan yang lainnya.
Melanjutkan Wahib
Ahmad
Wahib adalah anak zaman. Dalam catatan hariannya ini, Wahib merespon persoalan
yang terjadi di zamannya. Bagaimana dengan kita saat ini yang terlampau jauh
dengan Wahib? Mari kita bersama-sama merespon zaman yang kita alami sendiri;
tentang khilafah, kekerasan antar umat beragama, neo-liberalisme, ketidakadilan,
penindasan, kesewenang-wenangan penguasa, dan lain sebagainya.
Tentu, merespon persolan tersebut dengan kearifan-kebijaksanaan dan akal sehat. Wahib mewariskan kepada kita pendasaran keharusan pembaharuan pemikiran Islam secara terus-menerus, tanpa henti. Melanjutkan Wahib tidak lantas menirunya. Tetapi, melakukan usaha atau kerja kreatif dengan berpedoman pada inklusivitas, kebebasan berpikir, dan progresivitas untuk mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Dapat dibaca juga di berhimpun.com
Comments
Post a Comment