Humanisme ‘Lentur’ dan Masa Depan Kemanusiaan
Data
Buku
Judul:
Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan
Besar tentang Manusia
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Juni 2012
Jumlah Halaman: xi + 90 halaman
ISBN:
978-979-91-0459-5
Sebagai sebuah aliran
filsafat, paham-pemikiran dan gerakan humanisme bertitik tolak pada manusia (human) dan hal-ihwal tentangnya;
tentang kemampuan-kemampuan kodrati, kebebasan, kejiwaan dan rasionalitas
manusia yang berbeda dengan makhluk lain di luarnya. Semua hal-ihwal tentang
manusia terangkum dalam satu kata: kemanusiaan.
Humanisme adalah
‘pembacaan’ dan ‘penelaahan’ manusia atas dirinya. Manusia melihat dirinya,
lalu mengonsepkannya untuk kemudian dijadikan basis gerakan, yakni gerakan
kemanusiaan. Bahwa manusia—dalam rentang ruang dan waktu tertentu—memiliki
kesamaan, yakni kemanusiaan, penjabaran akan kemanusiaan, hakikat dan
sifat-sifat manusia itu masih terjadi perbedaan antara satu tokoh dengan tokoh
lain. Dengan kata lain, kemanusiaan adalah abstraksi atas manusia.
Walaupun bersifat
abstrak, dari rahim humanisme ini, lahir ide-ide dan praksis hak-hak asasi
manusia, civil society, dan negara
hukum demokratis serta mendorong toleransi agama dan aksi-aksi solidaritas
global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dan sebagainya.[1]
Humanisme sebagai
sebuah aliran filsafat, paham-pemikiran, dan gerakan, tidak lahir begitu saja.
Humanisme lahir dalam ruang dan waktu tertentu. Jejak humanisme, dalam sejarah,
dapat dilacak dalam peradaban Yunani dan Romawi Klasik yang dipandang sebagai
peletak dasar humanisme universal.
Di Yunani, sebagaimana
filsafat lahir, manusia melakukan dobrakan atas mitos: demitologisasi. Manusia
tidak puas dengan alasan-alasan mitologis tentang fenomena dan keteraturan
alam. Dengan logos (akal budi,
rasio), manusia melihat kosmos secara berbeda. Mitos tergantikan oleh logos, meskipun tidak sepenuhnya
tergantikan-ditiadakan.
Dari cara melihat alam
(kosmos) secara rasional, filsafat Yunani kemudian bergulir menuju cara melihat
manusia—dari kosmosentris ke antroposentris. Adalah kaum sofis dan Sokrates
yang berjasa besar membumikan filsafat, menurunkan filsafat dari ‘langit’ ke
‘bumi’. Sokrates melemparkan satu pertanyaan besar sekaligus pernyataan penuh
misteri: gnothi seauton, kenalilah
dirimu sendiri—yang sampai saat ini masih penuh teka-teki dan belum ada jawaban
yang memuaskan, meskipun telah banyak filsuf beragumentasi dengan sistem
filsafatnya masing-masing.
Dalam sistem filsafat
yang antroposentris, humanisme pada masa Yunani klasik mewujud dalam paidea; suatu sistem pendidikan Yunani
klasik yang dimaksudkan untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal, yang
bertolak dari pandangan yang semata kodrati tentang manusia.[2]
Manusia ideal sebagai
visi kemanusiaan diterjemahkan secara rasional dengan mengacu pada
kemampuan-kemampuan kodrati manusia. Baru pada abad pertengahan, pandangan atas
manusia mendapat pembaharuan dari paham Kristiani, terutama sejak St.
Agustinus. Manusia bukan sekadar makhluk kodrati, melainkan juga makhluk
adikodrati; manusia pun dipandang tidak sekadar faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), tetapi lebih sebagai
imago dei (the image of God), makhluk
Ilahi atau citra Tuhan.[3]
Pembaharuan pandangan
atas manusia pada abad pertengahan tersebut pada gilirinnya melahirkan
humanisme modern sebagai kritik atas monopoli gereja. Sebagaimana dalam
sejarah, tafsir kebenaran pada abad pertengahan dimonopoli oleh gereja dan
mendapat legitimasi dari negara. Tidak ada keselamatan di luar gereja adalah
doktrin yang ditanamkan pada abad ini. Akibatnya, manusia dan kemanusiaannya
dialienasi dari keduniawiannya yang otentik; doktrin keselamatan berubah
menjadi alat kontrol atas kebebasan individu dan yang penting tidak lagi
manusia nyata, melainkan agama.[4]
Sebagai respons dan
kritik atas humanisme abad pertengahan, humanisme modern mewujud dengan
mempelajari kembali filsafat Yunani Klasik yang memandang manusia sebagai
makhluk kodrati dengan segenap kemampuan alamiahnya. Pada masa ini, bermunculan
humanis ateis yang memandang sinis agama, bahkan tak segan-segan “membunuh”
Tuhan. Apakah humanisme modern berhasil menciptakan tatanan kemanusiaan yang
manusiawi yang tidak tersekat-sekat oleh batas negara, ras, agama, kelas
sosial, dan sebagainya? Ternyata tidak. Yang ada justru kolonialisme dan
sederetan tragedi kemanusiaan di Auschwitz, Hiroshima, Gulag, Killing Fields,
Sebrenica dan puluhan tempat pembunuhan massa lainnya yang mempertontonkan kekejian
tanpa nurani kemanusiaan.
Mengaca kepada
humanisme abad pertengahan dan humanisme modern serta refleksi atas kritikus humanisme
oleh filsuf pascamodern, F. Budi Hardiman melalui buku Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia ini
menawarkan bentuk humanisme yang ia sebut sebagai ‘humanisme lentur’, yakni
humanisme yang mempertahankan aspek kritis-normatif yang mampu menelanjangi
kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya, dan menerima
religiositas sebagai salah satu dimensi hidup tanpa terjerumus ke dalam
fideisme.
Paradoks
Humanisme
Abad pertengahan (medieval age) mewariskan konsepsi
humanisme yang mempertautkan pertalian antara manusia sebagai makhluk
‘dunia-sini’ dengan makhluk ‘dunia-sana’. Manusia sebagai citra Ilahi adalah
makhluk yang dibekali segenap kemampuan-kemampuan kodrati. Kodrat manusia—sejauh
dipahami sebagai kemampuan alami—dipertautkan (dan harus sesuai) dengan doktrin
agama yang menjadi pengemban suci wahyu Ilahi.
Di abad pertengahan,
agama, dalam hal ini gereja, mendominasi dan memonopoli segala lini kehidupan
masyarakat. Filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi budak teologi. Negara sebagai
institusi pemerintahan dan politik memperkuat dan memperkukuh posisi dan ajaran
gereja. Rasio, nalar, dan kemampuan kodrati manusia semacam kebebasan dicurigai
dan dibungkam sejauh membahayakan doktrin gereja. Manusia dibuat (dipaksa)
patuh dan tunduk di hadapan otoritas gereja atas nama Tuhan. Doktrin
keselamatan dijadikan alat untuk meninabobokkan nalar; label kafir dan masuk
neraka menjadi cap untuk para pemberontak. Manusia teralienasi dan
termarjinalisasi dari kemanusiaannya, keduniawiannya, dan keadaan konkretnya.
Abad ini, dalam sejarah filsafat, dikenal sebagai abad kegelapan (the dark age).
Dalam konteks
sosio-kultural abad pertengahan yang demikian, humanisme kritis—dalam pengertian
modern (selanjutnya disebut humanisme modern)—muncul dengan gerakan umanisti pada zaman Renaisans abad ke-14
sampai ke-16 dan memuncak pada humanisme Pencerahan (Aufklarung) Eropa abad ke-18.
Ciri utama atau pokok
humanisme modern adalah kembali kepada filsafat Yunani klasik—dari teosentrisme
abad pertengahan kembali ke antroposentrisme: penghargaan atas ‘dunia-sini’,
penghargaan atas martabat manusia, dan pengakuan atas kemampuan rasio.
Humanisme modern mempersoalkan tafsir kebenaran yang dimonopoli gereja (agama).
Nilai-nilai kepatuhan dan ketundukan yang merupakan doktrin gereja runtuh, dan
digantikan oleh nilai-nilai baru yang berpihak pada kemampuan kodrati manusia.
Dengan sendirinya, humanisme modern adalah humanisme sekuler yang memudarkan
segi spiritual dan mengambil sikap otonom dari simbol-simbol religius; suatu
tatanan yang menghargai kebebasan dan nilai-nilai kodrati manusia.[5]
Dalam radikalitasnya,
humanisme modern mengambil bentuk dalam humanisme ateistis—meskipun tak
seluruhnya—yang tidak sekadar memisahkan agama (perihal ‘dunia-sana’) dan
‘dunia-sini’, tetapi juga menegasikan dan menyingkirkan Tuhan sebagai otoritas
agung dan tertinggi agama. Bahkan Tuhan “dibunuh”—dalam arti penghapusan
kesadaran akan Tuhan[6]—dan
manusia merayakan kematian Tuhan.
Salah satu humanis
ateistis, ‘pembunuh’ Tuhan, adalah Nietzsche dengan ungkapan aforistiknya yang
terkenal: “Gott ist tot! (Tuhan sudah
mati!)”. Kematian Tuhan menandakan tidak adanya pegangan nilai yang dapat
dijadikan pedoman manusia dalam mengarungi kehidupan, karena yang
supra-manusiawi dan yang-adikodrati yang selama ini menjadi tumpuan nilai telah
tiada. Dalam keadaan ketiadaan nilai (nihilisme), manusia harus mencipta nilai
yang otentik bagi dan untuk dirinya dengan Amor
fati; menerima realitas ‘dunia-sini’ apa adanya. Otentisitas kehidupan
manusia, bagi Nietzsche, tidak didapat lewat bersimpuh lutut dan bersembah
sujud dalam ketundukan terhadap roh (atau Tuhan), tetapi diperoleh dengan
menjadi tuan bagi dirinya sendiri dengan menerima energi kreatif yang memancar
dari kehendak dan keduniawian hidupnya.[7]
Humanis ateistis yang
lain adalah Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang hendak membebaskan manusia dari
jeratan teologis. Adanya Tuhan dan kepercayaan akan-Nya hanya akan membatasi
kebebasan manusia dalam merealisasikan dirinya. Manusia menentukan hidupnya
sendiri lewat kebebasan dan realisasi bakat-bakat besarnya, dan hal ini dapat
nyata sejauh Tuhan disingkirkan. Penyingkiran Tuhan berarti juga penyangkalan
akan tujuan atau takdir (destiny) yang
ditetapkan Tuhan sejak sebermula. Dengan kebebasan dan realisasi bakat-bakat,
manusia mencipta takdir dan tujuannya sendiri dalam kehidupan. Dengan demikian,
humanisme ateistis yang dimajukan Sartre hendak mempertegas bahwa tidak ada
‘dunia-sana’—sebagai dunia di luar manusia—yang memengaruhi, apalagi ikut
campur dalam, kehidupan manusia di ‘dunia-sini’.
Kritik humanis ateistis
terhadap konsepsi kemanusiaan ala doktrin
agama tidak serta-merta melenyapkan agama dari muka bumi, dari ‘dunia-sini’.
Agama, sampai kapan pun, tetap ada dan berkembang. Saling curiga antara
humanisme modern yang sekular dan ateistis terhadap agama dan sebaliknya sudah
saatnya untuk dihentikan. Sikap saling curiga—apalagi dibangun di atas sinisme—justru
menyempitkan pengertian humanisme itu sendiri[8],
dan pada nantinya berujung pada pengasingan manusia dari kemanusiaan dan
‘dunia’-nya.
Humanisme ateistis,
dengan aspek-aspek ilmiah dan metologisnya, berkontribusi besar bagi pemahaman
tentang manusia dan kemanusiaannya, yakni sumbangan atas radikalisasi moral
rasional (Vernunftsmoral) dan kritik
agama (Religionskritik).[9]
Yang pertama mendorong penggunaan nalar (rasio, akal) untuk menemukan asas-asas
kebaikan yang murni manusia, tanpa baju agama, tanpa cengkeraman doktrin wahyu Tuhan
yang transenden. Sedangkan yang kedua (meng)kritik agama secara rasional untuk
memurnikan iman; mengapa dan bagaimana kita, manusia, beriman. Kritik agama,
bagi penghayat agama, dapat dijadikan jembatan memahami: apakah selama ini
menyembah the conception of God (gambaran
tentang Tuhan) yang merupakan hasil pikiran ataukah God (Tuhan itu sendiri).
Humanisme
dan Kolonialisme
Bagaimanapun juga,
humanisme sebagai aliran filsafat, paham-pemikiran, dan gerakan lahir dari
rahim peradaban Barat, terutama Eropa. Demikian juga dengan kemanusiaan
universal yang dimajukan humanisme modern merupakan sudut pandang dari
peradaban Eropa. Humanisme modern terbatas-eksklusif hanya pada manusia-manusia
Eropa. Dalam arti ini, antroposentrisme peradaban humanis bergantung pada suatu
pengertian antrophos (manusia) yang eurocentric (berpusat pada pengertian
orang-orang Eropa).[10]
Sehingga, tidak hanya ‘kehadiran’ Tuhan dalam doktrin-doktrin yang membawa
pandangan humanisme yang eksklusif, gambaran tentang manusia juga mempersempit
makna dan tafsir kemanusiaan universal serta menggiringnya ke arah humanisme
eksklusivistis.
Kemanusiaan universal
tidak lagi universal, hanya berlaku bagi manusia Eropa. Sedangkan di luar Eropa
tak lain adalah manusia ‘bar-bar’. Pandangan kemanusiaan ala humanisme modern ini mengantarkan pada suatu dikotomi dan
oposisi biner kemanusiaan: manusia Eropa dan non-Eropa; manusia rasional dan
tidak rasional; manusia sadar dan tidak sadar, dan ujungnya berupa: manusia dan
bukan manusia. Implikasi dari pandangan ini adalah jalan pemberadaban—yang sebenarnya
adalah bentuk eufemisme dari kolonialisme—yang ditempuh Eropa terhadap di luar
Eropa. Jalan pemberadaban adalah bentuk lain dari homogenisasi, penyeragaman,
dan penindasan atas kemajemukan.
Pada tataran empirik,
hubungan humanisme dan kolonialisme yang dipraktikkan Eropa dapat dilacak sejak
abad ke-15 sampai ke-18 dan hubungan humanisme dengan totalitarianisme pada
abad ke-18 di Eropa.[11]
Pejajahan Eropa
terhadap non-Eropa tidak sekadar motif ekonomi belaka, mencari bahan baku
misalnya, tetapi ada hal lain yang menopang mengapa penjajahan tersebut
dibenarkan, yakni: pembenaran-pembenaran moral tentang perlunya memberadabkan
bangsa-bangsa di luar Eropa.[12]
Kemanusiaan universal yang digaung-gaungkan oleh humanisme modern adalah
kolonialisasi, marjinalisasi, represi, dan diskriminasi, yang berujung pada
alienasi manusia dari kemanusiaannya. Dengan demikian, humanisme modern tidak
ada bedanya dengan humanisme abad pertengahan yang menggunakan otoritas agama
(Tuhan) dan legitimasi negara untuk mengalienasi manusia dari kemanusiaannya.
Bedanya, humanisme modern menggunakan gambaran tentang manusia ideal dengan
segenap kemanusiaannya untuk menelanjangi manusia dari kemanusiaannya. F. Budi
Hardiman dalam buku ini menyebut humanisme modern adalah kemanusiaan tanpa
manusia.
Di Indonesia sendiri, bangsa
Eropa menjajah selama bertahun-tahun, tidak sekadar mengeruk kekayaan alam
untuk kepentingan mereka, tetapi juga melakukan pemberadaban sosial-kebudayaan
terhadap bangsa terjajah (Indonesia). Lewat praktik pemberadaban, penjajah
semakin di atas angin; bahwa keyakinan mereka akan nilai-nilai universalitas
kemanusiaan semakin superior dan percaya diri.
Terkait humanisme dan
totalitarianisme di Eropa pada abad ke-18, F. Budi Hardiman dalam buku ini mengutip
Hannah Arendt untuk menjelaskan keterkaitan keduanya. Di Eropa, sebagaimana direkam
oleh Hannah Arendt lewat bukunya The
Origin of Totalitarianism, terjadi pembersihan etnis Yahudi besar-besaran
oleh Nazi Jerman dan pembantaian yang dilakukan rezim komunis Soviet terhadap
lawan politiknya.[13]
Di samping itu, Perang
Dunia I dan II serta tragedi kemanusiaan di Auschwitz, Hiroshima, Gulag,
Killing Fields, merupakan isyarat humanisme modern berada pada titik nadir dan
perlunya untuk meninjau ulang gagasan kemanusiaan universal yang diagung-agungkannya.
Humanisme
‘Lentur’ dan Masa Depan Kemanusiaan
Kritik atas humanisme
modern datang dari filsuf pascamodern. Kritikus humanisme ini ingin membebaskan
manusia dari metafisika kemanusiaan yang memahami manusia sebagai pusat
realitas (antroposentrisme).[14]
Metafisika kemanusiaan mengunggulkan universalitas kemanusiaan dengan
meminggirkan, antara lain, kebudayaan, agama, dan gender.
Salah satu kritikus
humanisme adalah Martin Heidegger, filsuf besar abad ke-20. Menurut Heidegger,
kenyataan (Seiende) telah ada lebih
dahulu, dan manusia ‘dipanggil’ oleh Ada (Sein)
kenyataan itu untuk memelihara kebenaran Ada. Lebih lanjut, Heidegger menyebut
manusia sebagai “tetangga Ada” (Nachbar
des Seins), yang bermukim dan hidup berdampingan dengan Ada.[15]
Kritik Heidegger ini merupakan kritik radikal atas humanisme yang
antroposentris dan menandai diskursus decentering
of subject (peminggiran subjek).
Richard Rorty memberi
pemaknaan berbeda terkait decentering of
subject. Bagi Rorty, humanisme berkaitan dengan solidaritas sosial. Selama
humanisme modern meyakini antroposentrisme, selama itu pula solidaritas sosial
mengalami kendala. Dengan kata lain, penjajah yang meyakini kemanusiaan
universal akan tetap melakukan tindakan dehumanisasi, karena mereka tidak
menemukan ‘kemanusiaan bersama’ di orang-orang terjajah. Oleh karena itu, dalam
rangka membangkitkan solidaritas sosial, Rorty mengajukan—apa yang oleh F. Budi
Hardiman disebut—kemanusiaan sentimental.
Sentimentalitas merujuk kepada suatu kemampuan untuk mengabaikan
perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat, dan lainnya karena mampu melihat
dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang
dialami orang lain.[16]
Dengan kata lain, saat orang lain mengalami tragedi kemanusiaan, kita ikut
merasakan, karena mereka adalah “termasuk kita.”
Berangkat dari
humanisme eksklusivistis pada abad pertengahan dan modern, serta refleksi
kritis atas beberapa kritik terhadap humanisme oleh filsuf-fisuf pascamodern,
F. Budi Hardiman melalui bukunya menawarkan bentuk humanisme yang ia sebut
sebagai ‘humanisme lentur’. Di pundak ‘humanisme lentur’ ini, masa depan
kemanusiaan dipertaruhkan.
‘Humanisme lentur’
ditandai oleh dua hal: pertama, kelenturannya
menyatakan bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin sebagai suatu visi yang
diperjuangkan secara dialogal; dan kedua,
kelenturannya mewujud dalam respeknya pada batas-batas antara iman religius dan
rasionalitas.[17]
Dua hal yang menandai ‘humanisme lentur’ tersebut berdiri di atas fondasi
kritis-normatif dalam humanisme. Artinya, humanisme lentur menolak
homogenisasi, eksklusivisme, dan metafisika kemanusiaan serta segala bentuk hal
yang menindas manusia dan kemanusiaannya.
Terkait dengan konsepsi
universalitas kemanusiaan, menurut F. Budi Hardiman, apa yang perlu dipertanyakan
bukanlah ukuran-ukuran seperti apa yang harus ditetapkan supaya seseorang atau
kelompok tergolong ke dalam ‘manusia’, melainkan bagaimana mencapai titik temu
berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok yang memiliki
perbedaan dan ciri khas masing-masing.
Dalam setiap hal yang
berhubungan dengan kemanusiawian, humanisme lentur bersikap moderat terhadap
akal, kebebasan, dan iman supaya tidak terjatuh ke dalam fideisme dan
metafisika kemanusiaan. Secara teoretis, humanisme lentur sebagai sebuah
refleksi dan sintesis pemikiran berhasil dalam mempelajari kesalahan-kekeliruan
konsepsi kemanusiaan masa lalu, dan harapannya, di pundak ‘humanisme lentur’
manusia dan kemanusiaannya menemui nilai yang lebih manusiawi.
Tantangan ‘humanisme
lentur’ selanjutnya, dalam hal ini F. Budi Hardiman sebagai penggagas, adalah
memastikan kelenturannya, terutama pada tataran praksis, dan tidak terperosok
ke dalam jurang ketidakjelasan, ketidakpastian dan relativisme. Jika hal
tersebut terjadi, implikasinya, humanisme lentur akan lebih berbahaya dari
humanisme abad pertengahan dan modern, karena akan melibatkan banyak pihak atau
golongan dengan membawa klaim universalitas kemanusiaan masing-masing yang
hendak ‘dipertarungkan’ dengan klaim-klaim dari pihak lain.
Catatan
Akhir
[1]
Lih. F. Budi Hardiman, Humanisme dan
Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia (Jakarta:
Kepustakaan Gramedia Populer), hal. 3.
[2]
Lih. Alfathri Adlin, Humanisme dan
Transhumanisme: Tantangannya bagi Islam, makalah diskusi ‘Ngaji Filsafat’
di Masjid Jendral Soedirman Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2016., hal. 20.
[3]
Lih. Ibid., hal. 20.
[4]
Lih. F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 8.
[5]
Lih. Ibid., hal. 12.
[6]
Lih. Ibid., hal. 17.
[7]
Lih. Ibid., hal. 22.
[8]
Lih. Ibid., hal. 25.
[9]
Lih. Ibid., hal. 26-30.
[10]
Lih. Ibid., hal. 35.
[11]
Lih. Ibid., hal. 33.
[12]
Lih. Ibid., hal. 34.
[13]
Lih. Ibid., hal. 40.
[14]
Lih. Ibid., hal. 48.
[15]
Lih. Ibid., hal. 52.
[16]
Lih. Ibid., hal. 57.
[17]
Lih. Ibid., hal. 66-67.
Versi cetak tulisan ini dapat dijumpai di Jurnal Mahasiswa Filsafat Cogito Volume 3 No. 1 Mei 2016
Comments
Post a Comment