HMI dan Perlunya Otokritik
Pada Kamis, 5 Mei 2016,
di acara Benang Merah, TVOne, yang mengambil tajuk ‘Harga Sebuah Perkara,’ Saut
Situmorang –yang tak lain adalah pimpinan KPK-- menjadi salah satu narasumber.
Di acara ini pula, Saut melontarkan kata-kata yang dinilai tendensius dan
mendiskreditkan salah satu organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia;
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Saut dikecam keras oleh
banyak pihak; Keluarga Besar HMI, termasuk Korps Alumni HMI (KAHMI) dan seluruh
kader HMI se-Indonesia. Beberapa organisasi kepemudaan juga ikut mengecam Saut dan
memberi dukungan moral kepada HMI, seperti: Pelajar Islam Indonesia (PII),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan GMKI. Selain itu, dukungan
moral terhadap HMI dan kecaman terhadap pernyataan Saut datang dari tokoh-tokoh
nasional, antara lain: Din Syamsuddin dan Jendral (Purn.) Moeldoko.
Terkait dengan
pernyataan Saut Situmorang yang menuai kritik dan kecaman, bunyinya begini: “[...] orang yang baik di negara ini mas,
jadi jahat ketika dia sudah menjabat. Iya kan? Lihat aja tokoh-tokoh politik,
itu orang-orang pinter semuanya. Orang itu orang-orang cerdas. Saya selalu
bilang, kalau dia HMI, minimal dia ikut LK 1, dianggap lulus itu, yang anak
mahasiswa itu, pinter, tapi begitu menjadi pejabat, dia jadi jahat, curang,
greedy. Ini karena apa? Karena sistem belum jalan. Artinya apa, adapun
peraturan-peraturan itu tidak pernah kita jalankan. Jadi artinya, kenapa
karakter dan integritas orang itu berobah, ini persoalan bangsa kita. Ini yang
saya bilang, peradaban bangsa kita ini karena apa, karena kita tidak mulai dari
sesuatu yang kecil [...].”
Secara garis besar,
jika berbicara konteks dari perkataan Saut di atas, tidak ada persoalan. Dia
berbicara sistem --dengan pelbagai perangkat peraturan dan undang-undang di
dalamnya—yang tidak berjalan dengan baik dan memungkinkan orang jujur melakukan
tindakan koruptif saat berada dalam sistem. Sistem mengharuskan (dan memaksa)
orang untuk korupsi; orang yang cerdas nan baik, saat sudah masuk ke dalam
sistem, dia akan bertindak curang dan jahat, karena sistem menghendakinya
demikian --kira-kira gampangnya begitu.
Saut hendak mengatakan
kebobrokan sistem dengan mencontohkan HMI, bahwa: kader-kader HMI, saat menjadi
mahasiswa adalah orang pintar, baik, dan cerdas, namun saat menjadi pejabat,
masuk ke dalam sistem, mereka menjadi jahat, curang, dan greedy (rakus).
Yang menjadi persoalan
(dan dipersoalkan oleh keluarga besar HMI) adalah Saut menjadikan HMI sebagai
contoh: Kenapa kok HMI yang dijadikan
contoh? Bukankah organisasi-organisasi kepemudaan lain itu banyak dan alumninya
juga ada yang korupsi?
Alhasil, pernyataan Saut
dinilai dan disinyalir tendensius; mendiskreditkan dan upaya pelemahan HMI. PB
HMI menyatakan sikap; menempuh jalur hukum dengan melaporkan Saut ke Mabes Polri.
Begitupula kader-kader HMI –meskipun tak semua— di Badko dan Cabang; melaporkan
Saut ke Polda dan Polres atau Polrestabes. KAHMI juga tidak ketinggalan; menuntut
Saut menarik ucapannya dan meminta maaf, serta melaporkan Saut ke Majelis Kode
Etik KPK dan Mabes Polri.
Mengecam Saut atas
pernyataannya, bagi saya, adalah wajar saja. Sebagai bentuk kecintaan dan
pembelaan terhadap organisasi, sebagai wujud penegasan bahwa HMI merupakan pencetak
generasi bangsa yang berkarakter dan berintegritas serta bersih dari korupsi.
Namun yang lebih penting daripada ‘mengecam’ adalah refleksi atas pernyataan
Saut sebagai wujud otokritik organisasi.
Tidak dapat dipungkiri,
pernyataan Saut tersebut ‘ada benarnya’ dalam hal bahwa: beberapa alumni HMI
–bahkan belakangan ini ada kader aktif HMI— terkena kasus korupsi. Meskipun masih
lebih banyak lagi alumni dan kader HMI yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki
karakter dan integritas yang baik.
Bagaimana mungkin, HMI
dengan segala nilai-nilai ideal, entah keislaman dan keindonesiaan, melahirkan kader
–yang dalam bahasa Saut— jahat, curang, dan greedy
(rakus)? Bukankah, jika internalisasi nilai-nilai ke-HMI-an itu dilakukan
secara tepat dan benar serta sesuai dengan pedoman organisasi akan mencetak dan
melahirkan generasi yang berkarakter dan berintegritas? Dalam konteks ini,
berarti ada celah-kesalahan dan otokritik diperlukan secara terus menerus untuk
menutupi celah dan menambal kesalahan.
Otokritik memungkinkan
perubahan ke arah yang lebih baik. Otokritik senantiasa mempertanyakan ‘kebesaran’
dan ‘kemapanan’ diri: jangan-jangan ‘kebesaran’ organisasi yang selama ini kita
agung-agungkan hanyalah kebesaran semu; jangan-jangan ‘kemapanan’ organisasi
yang selama ini kita lihat hanya sebatas permukaan saja, tidak melihat sampai
ke ceruk terdalam; jangan-jangan di balik ‘kebesaran’ dan ‘kemapanan’
organisasi, terdapat zona nyaman yang meninabobokkan kita, mengkerdilkan akal
dan memperkeras hati; jangan-jangan yang besar dan mapan hanya organisasinya
saja –dengan nilai-nilai dan doktrin perjuangan-- sementara orang-orang di
dalamnya sebatas berlindung di balik kebesaran organisasi.
Dengan demikian,
otokritik sangat diperlukan untuk mengantisipasi stagnansi. Dalam konteks HMI
saat ini dan ke depannya –saya kira ini juga menjadi tantangan-- adalah membuktikan
bahwa pernyataan Saut itu salah. Dengan apa? Dengan bukti bahwa alumni dan
kader HMI itu berkarakter dan berintegritas. Tentu, hal ini dapat menjadi
kenyataan jika dinamika ber-HMI dijalankan sesuai dengan nilai-nilai,
aturan-aturan, dan pedoman organisasi yang ada.
Dapat dibaca juga di berhimpun.com
Comments
Post a Comment